Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (At-Taubah/9: 23)
-----------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 18 Agustus 2020
Al-Qur’an
Menyapa Orang-orang Beriman (50):
Jangan
Jadikan Pemimpin Bila Mereka Lebih Mengutamakan Kekafiran
Oleh: Abdul
Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil
Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)
Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu
pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan
siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim. (At-Taubah/9: 23)
Ayat ini meneguhkan hati orang-orang
beriman, bahwa
ikatan iman lebih utama dari pada
ikatan kekerabatan, sekaligus menunjukkan bahwa persoalan aqidah Islam tidak bisa bertoleransi dengan kekufuran dan kesyirikan.
Ini adalah konsekuensi keimanan yang harus
dikuatkan. Syekh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menuliskan: “Lakukanlah
tuntutan iman dengan berwala’ (menunjukkan
loyalitas dan kecintaan, pen.) kepada yang menunaikannya dan bermu’adah (membenci
dan menjauh, pen.) kepada yang tidak menunaikannya.”
Sikap ini ditunjukkan dengan tidak menjadikan
bapak ataupun saudara sebagai pemimpin walau sangat dekat. Jangan jadikan
mereka sebagai pemimpin jika mereka lebih mementingkan kekufuran di atas
keimanan.
Quraish Shihab menafsirkan, bahwa terhadap
orang-orang beriman ayat ini berfungsi mengingatkan, sedangkan terhadap orang-orang
munafik, ayat
ini berpesan: “Wahai orang-orang beriman, baik yang tulus maupun yang hanya
beriman dengan lidahnya, jangan kamu memaksakan diri apalagi dengan suka rela
menjadikan bapak kamu maupun saudara kamu menjadi pemimpin, sehingga kamu
menyampaikan kepada mereka rahasia kamu dan atau mencintai mereka lebih dari
cinta kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, jika mereka yakni bapak dan saudara kamu itu lebih
mengutamakan kekufuran atas keimanan.”
Dalam hal menetapkan pilihan atas
kondisi psikologis manusia, antara memilih Allah SWT dari pada kerabatnya,
maka Sayyid Quthb menulislkan dalam tafsirnya Fie Zhilail Qur’an, bahwa: “Aqidah menginginkan agar setiap hati
murni dan sejati untuk Allah dan segala
cintapun murni untuk-Nya, dan agar Dia-lah yang menguasai dan mengatur hati,
yang menggerakkan dan mendorong.
Penengah dan pemisah jalan di sini
adalah apakah aqidah yang menguasai
atau pilihan nafsu yang cenderung diikutinya untuk mencapai kenikmatan. Jika
seorang muslim telah merasa tenteram karena hatinya telah
benar-benar murni dan sejati untuk aqidahnya,
maka tidak ada cela sedikitpun baginya setelah merasakan nikmat Allah –berupa memiliki anak, saudara,
pasangan dan kerabat, ataupun kenikmatan lain berupa harta benda, perhiasan dan
rizki yang baik.
Bahkan, kenikmatan saat itu menjadi
sangat dianjurkan, sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah yang telah menganugreahkannya, agar hamba-hamba-Nya menikmatinya, dengan
terus berdzikir mengingat-Nya, bahwa Dialah Yang Maha pemberi rizki, Maha pemberi nikmat dan Maha menganugerahkan.
Namun, “Wahai orang-orang beriman! janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan
saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran
atas keimanan.”
Demikianlah putusnya hubungan darah
dan nasab, jika hubungan hati dan aqidah
telah terputus. Hubungan kedekatan kerabat di keluarga batal dengan sendirinya
bila kedekatan kerabat dengan agama Allah
telah batal (disebabkan mereka lebih mengutamakan kekufuran atas keimanan,
pen,). Demikian disadurkan dari Sayyid Quthb.
Kemudian lanjutan firman Allah SWT: “Dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka
pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Sayyid Quthb menuliskan: “Kata az-zhâlimun di sini yang dimaksudkan
adalah orang-orang yang musyrik. Maka menjadikan keluarga dan kaum kerabat
sendiri sebagai wali dan pemimpin bila mereka lebih mengutamakan cinta kepada
kekufuran dari pada iman, merupakan
bentuk syirik yang tidak akan pernah bersatu
dengan iman.
Sementara Quraish Shihab menafsirkan:
Dikatakan, “zhalim karena telah
menempatkan sesuatu yang bukan pada tempatnya, yakni memilih pemimpin yang
tidak tepat dan meninggalkan yang seharusnya dipilih, juga dikatakan zhalim dalam arti menganiaya diri
sendiri, karena sikap dan perbuatannya mengundang jatuhnya sanksi Allah atas
mereka.”
Bahkan Syekh As Sa’di mengatakan
mereka zhalim karena mereka berani
bermaksiat kepada Allah dan
menjadikan musuh-musuh Allah sebagai pemimpin. (bersambung)