------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 29 Agustus 2020
Al-Qur’an
Menyapa Orang-orang Beriman (51):
Larangan
Bagi Orang Musyrik Mendekati Masjidil Haram
-----
Oleh: Abdul
Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil
Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)
-----
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang
musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun
ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan
kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS At-Taubah/9: 28)
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang
yang musyrik itu najis. Pada pangkal ayat ini, Allah SWT menunjukkan garis pemisah yang jelas antara iman dan syirik, garis pemisahnya adalah suci dan najis. Keimanan adalah
suci sedangkan kemusyrikan adalah najis, sehingga orang yang benar dalam
keimanannya maka dia suci, namun orang yang tenggelam dalam kemusyrikannya
adalah najis.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As
Sa’di dalam Tafsir al-Karim ar-Rahman Fi
Tafsir Kalam al-Mannan mengatakan bahwa
orang-orang musyrik itu dikatakan najis
yakni: “Kotor pada aqidah dan amal
mereka, najis mana yang lebih berat dari pada orang yang menyembah tuhan-tuhan
lain selain Allah, -sembahan- yang
tidak dapat mendatangkan manfaat, menolak mudharat dan tidak berguna apapun.”
Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah mengatakan
bahwa: “Karena najis -dalam ayat ini- dikaitkan dengan kemusyrikan, maka yang
dimaksudkan ayat ini adalah najis immaterial, bukan material. Dalam pandangan al-Qur’an, kenajisan semacam ini
mengakibatkan penyandangnya tidak wajar memperoleh penghormatan walaupun secara
material –kelihatan bahwa- ia bersih dan berpakaian indah.” Hal yang semakna
dengan uraian ini juga dinyatakan oleh Sayyid Quthb dalam tafsir fi zhilâlil Qur’an.
Untuk lebih mempertegas pemisahan
antara iman dan syirik ini maka Allah SWT
menetapkan ketentuan dengan firman-Nya: “maka janganlah mereka –orang musrik itu-mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini.”
Para ahli tafsir dan penulis Sirah Nabawiyah sepakat bahwa ketetapan Allah melarang orang musyrik mendekati masjidilharam ini terjadi/dimulai pada –akhir-
tahun ke 9 Hijriyah.
Syekh As Sa’di menuliskan yakni:
“Ketika orang-orang berhaji dengan amirnya Abu Bakr ash-Shiddiq, dan Nabi s.a.w
mengutus sepupunya, Ali bin Abi Thalib agar mengumumkan pemutusan hubungan dari
Allah kepada orang-orang musyrik pada hari haji akbar, maka dia
mengumumkan bahwa setelah tahun ini orang-orang musyrik tidak boleh berhaji dan
orang-orang telanjang tidak boleh tawaf
di ka’bah.”
Sebagaimana keterangan al-Qur’an
bahwa:“Sembahyang merekadi sekitar
Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan, maka
rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.” (QS AlAnfal/8: 35)
Menurut Shafiyurrahman Al Mubarak
Furi bahwa” “Pengumuman ini menandai berakhirnya era paganism di Jazirah Arab
dan tidak boleh dilakukan setelah tahun tersebut.” Sejak saat itulah ka’bah
sudah bersih kembali dari noda kemusyrikan.
Sayyid Quthb menuliskan dalam tafsirnya fi Zhilalil Qur’an bahwa: “Itulah
puncak larangan dan haramnya mereka untuk berada di tanah Haram. Bahkan, larangan itu berkembang hingga larangan men-dekatinya,
karena mereka najis, sedang tanah haramitu
suci.
Tetapi, -sebagai akibatnya- musim perdagangan
yang dinanti-kan oleh penduduk Makkah, perniagaan yang merupakan sumber pencarian
pokok dari mayoritas penduduk di jazirah Arab, perjalanan ekspor impor di musim
dingin dan musim panas yang merupakan tulang punggung kehidupan semuanya
terancam bangkrut dan hilang dengan –adanya- larangan berhaji atas orang-orang
musyrik dan permakluman perang dan jihad
total terhadap mereka.
Benar! Semua benar, namun itu
ketetapan aqidah, dan Allah menghendaki –pembuktian iman-
setiap hati, murni tunduk kepada aqidah.
Setelah itu Allah tempat bertawakkal
dan bergantung. Dia Maha penjamin atas urusan rezki dari pintu-pintu lain selain dari sarana-sarana yang
biasanya.
Demikian gambaran suasana psikologis
secara sosial sesudah pengumuman pelarangan haji bagi kaum musyrikin, yang
dituliskan Sayyid Quthb.
Suatu riwayat lain yang dikemukakan oleh
Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas berkata: “Orang-orang musyrik
biasa datang ke Makkah dengan membawa bahan makanan untuk dijual disana,maka
ketika mereka dilarang mendatangi baitullah, orang-orang Islam berkata: “Dari
mana kita mendapatkan makanan?”
Maka pertanyaan ini terjawab dengan
turunnya lanjutan ayat ini “wa in khiftum
‘ailatan fasaufa yugnîkumul Lahu min fadlihî in syâ’a,” yang merupakan peringatan bahwa dalam
perjuangan tidak perlu khawatir tidak bisa makan, karena: “Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya.”
Inilah janji Allah, sehingga bagi orang-orang beriman, hal ini harus menjadi
keyakinan yang dipegang teguh.
Syekh As Sa’di menjelaskan penggalan
ayat ini bahwa: “Rizki tidak terbatas
pada satu pintu dan tempat saja, bahkan tidaklah satu pintu tertutup melainkan
pintu-pintu lain yang banyak akan dibukakan, karena karunia Allah sangatlah luas dan kemurahanNya amatlah
besar, khususnya bagai –orang- yang meninggalkan sesuatu karena mengharap
wajahNya yang mulia, karena sesungguhnya Allah
adalah Dzat yang paling Pemurah diantara para pemurah.
Lanjutan firman Allah yakni: “Jika Dia
menghendaki.” Mengaitkan karunia –berupa- kekayaan dengan kehendak-Nya,
karena kekayaan di dunia bukan termasuk konsekuensi iman dan tidak menunjukkan
kecintaan Allah, oleh karenanya Allah menggantungkannya dengan kehendak-Nya, karena Allah –yang Maha Rahman- memberikan dunia -baik- kepada yang Dia cintai dan –juga-
kepada yang Dia tidak cintai, -akan tetapi- Dia tidak menganugerahkan keimanan
dan agama kecuali kepada yang Dia cintai. Demikian penjelasan Syekh As Sa’di.
Kemudian firman Allah ditutup dengan: “Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”Sayyid Quthb menjelaskan bahwa:
“Allah mengatur segala urusan dengan
ilmu dan hikmah-Nya.
Inilah Fathu Makkah, dimana keadaan sebelumnya orang-orang musyrik adalah
pemimpin dan penguasa di Baitul Haram. Namun,
kini kepemimpinan tersebut pindah kepada Rasulullah
dan orang-orang mukmin.
Menurut Sayyid Quthb, puncak target
yang ingin dicapai oleh langkah umat yang merupakan misi yang diinginkan oleh manhajal-Qur’an ada dua, yakni; pertama, puncak pemurnian diri kepada Allah dan mensejatikan diri untuk
agamaNya.
Kedua, puncak pemisahan total atas asas aqidah dengan setiap unsur-unsur kerabat dan kelezatan dunia,
dengan al-Qur’an sebagai garis
pemisah antara manhaj Allah dengan manhaj jahiliah, diman dua manhaj ini tidak akan pernah bertemu dan
hidup berdampingan selamanya.
Itulah sebabnya Rasulullah s.a.wketika menjelang wafatnya, beliau meminta agara
orang-orang musyrik diusir dari Hijaz, sehingga tidak ada dua agama padanya dan
menjauhkan orang kafir dan musyrik dari Masjidil Haram. ***