“Kalian tau? Ibu bahkan memintaku untuk memakaikannya baju baru agar kalian tak malu memiliki ibu sepertinya. Ibu bahkan rela hidup susah asal kalian bahagia,” ucapku kali ini dengan suara yang sudah parau. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)
-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 08 September
2020
CERPEN
Bahagia
Ibu Meninggal
Karya: Chie Amoy
“Tih,
kamu sudah siapkan makanan?” tanya ibu kepadaku saat aku ingin memandikannya.
“Sudah
bu. Ibu mau Utih ambilkan?” tanyaku.
“Nggak
usah Tih. Kita nunggu kakak-kakakmu datang,” ucapnya dengan suara yang lemah.
“Hemm.
Kita mandi yah bu,” kataku lalu membopong tubuh ibu.
“Tih,
ibu mau pakai baju yang baru kamu belikan itu yah Tih. Biar kakak-kakakmu tidak
malu sama penampilan ibu,” ucap ibu yang saat itu sedang aku mandikan.
“Iya
bu, nanti Utih pakaikan baju itu,” ujarku lalu memakaikan baju keinginan ibu
setelah selesai memandikannya.
Aku
membawa ibu untuk duduk di ruang tamu yang juga sekalian menjadi tempat nonton
televisi.
“Bu,
Utih suapin yah?” tanyaku.
“Tapi
Nduk, kalau kakak-kakakmu datang gimana?” ibu balik bertanya.
“Kalau
mereka datang, nanti Utih suapin ibu lagi,” ucapku membujuk ibu agar mau makan.
“Ya
sudah Tih, ibu mau,” jawabnya dan langsung saja aku menyuapinya sampai
makanannya habis.
“Bu,
istrahat yah,” kataku setelah selesai menyuapinya.
“Iya
sedikit lagi Tih, ibu mau menunggu kakak-kakakmu datang dulu,” kata ibu.
Aku
yang mendengarnya sekali lagi tak mampu menahan bulir bening yang mengalir
dengan derasnya.
*
“Bu,
kita istirahat di kamar yah?” kataku kepada ibu yang seharian duduk di samping
jendela rumah kami.
“Tapi
Nduk, kalau mereka datang gimana? Ibu sudah sangat rindu,” kata ibu.
“Kalau
mereka datang nanti Utih bangunin ibu lagi,” kataku.
“Tapi
Tih .....” kata Ibu yang segera aku potong.
“Bu,
ibu disini sudah dari siang bu. Ini sudah sangat larut, sudah pukul dua belas
malam bu. Nanti dada ibu sakit lagi bu,” kataku lalu membopong tubuh ringkih
itu ke kamar.
Semenjak
bapak meninggal dan ibu sakit, aku selalu tidur bersama ibu, karena biasanya
ibu langsung drop.
*
“Tih,
kamu sudah membelikan jajan untuk Adi dan Dio?” tanya Ibu pagi ini.
“Belum
bu, nanti Utih belikan yah,” kataku sambil menyuapi ibu.
“Kenapa
belum dibelikan Tih? Uangmu habis? Pakai uang ibu Tih, nggak apa-apa kita susah,
asal Adi dan Dio senang di rumah ibu Tih,” kata ibu.
“Iya
Bu, nanti selesai menyuapi ibu, Utih pergi ke warung yah bu,” kataku yang dibalas
oleh anggukan ibu.
Ada
sesak yang tak mampu aku jelaskan yang sedang berdesakan. Aku adalah Mutia
Riska. Anak bungsu di keluargaku.
Aku
memiliki tiga orang kakak-kakak. Kak Abdi, kak Sinta dan kak Rifan, dan
memiliki keponakan anak dari kak Abdi yaitu Adi dan Dio.
Ketiga
kakak-kakakku memilih tinggal di kota bersama pasangan mereka. Sudah dua tahun
mereka tidak pernah pulang ke rumah hanya janji yang mereka berikan. Selama dua
tahun pun, ibu selalu menanti kepulangan mereka sampai waktu larut.
Bukan
aku tidak pernah menghubungi mereka. Sering aku menghubungi mereka, namun
alasan sibuklah yang selalu aku terima. Mereka memang akan mengirimi ibu uang
jika aku meminta, namun jika aku tidak meminta mereka pun akan melupakannya.
Aku
bekerja sebagai tenaga honorer di kantor kecamatan disini, gaji itulah yang aku
pakai untuk kehidupanku dan ibu, namun tak akan cukup jika ibu Drop dan harus
dirawat.
Sakit
rasanya ketika melihat ibu yang bertaruh nyawa namun terus memanggil nama
kakak-kakakku. sebuah kata rindu itu sangat menyiksanya.
“Bu,
ayoo kita istrahat di kamar bu, ini sudah jauh malam bu,” kataku.
Namun
kali ini aku tak mendapatkan jawaban. Aku langsung berlari mendekati ibu yang
sudah bermandikan keringat.
“Ya
Allah bu, ini kenapa bu?” teriakku histeris.
Ibu
tak menjawab hanya wajahnya terlihat menahan sakit. Ibu tak pernah sesakit ini
sebelumnya. Aku langsung memanggil tetangga dan membawa ibu ke rumah sakit. Ibu
langsung diberi tindakan dan dimasukan ke ruang ICU.
“Tih,
kamu sudah menghubungi kakak-kakakmu?” tanya pamanku.
“Astaghfirullah,
Utih lupa paman,” jawabku lalu berusaha menghubungi mereka.
Namun
nihil, tak ada satupun dari mereka yang bisa kuhubungi. Aku juga mencoba
menghubungi kakak iparku namun tetap saja tak ada hasil.
“Nggak
bisa dihubungi” ucapku dengan suara yang parau.
“Ya
sudah, mungkin mereka sedang istrahat,” kata pamanku.
“Istrahat
apanya? Ini mereka baru saja apload foto sedang liburan,” Asih sepupuku menyela.
“Apa?
Coba aku lihat Sih,” kataku lalu mengambil ponsel Asih.
Aku
yang tadinya tak punya tenaga seakan langsung terisi full karena amarahku. Aku
langsung mengirimi mereka pesan mengabarkan keadaan ibu yang sedang kritis. Sesaat
kemudian dokter memanggilku.
“Ada
apa dok?” tanyaku.
“Bu,
kondisinya sangat kritis, dari tadi beliau terus memanggil nama-nama anaknya.
Sebaiknya ibu langsung menghubungi saudara ibu,” kata dokter.
“Iya
dok, terima kasih” ucapku pelan.
Rasanya
lemas, lututku seakan tak mampu menopang tubuhku. Air mataku mengalir dengan
derasnya.
Malam
ini terasa sangat panjang, aku tak bisa beristirahat sedikitpun. Aku tak ingin
pergi dari samping ibu sedetik pun. Aku terus mengelus rambut ibu dan
membacakan ayat suci Al-Qur’an.
Pukul
03.20 dini hari tiba-tiba ibu kejang dan sesak. Aku langsung berlari memanggil
dokter. Dengan cepat dokter berlari ke ruang ibu. Pamanku ikut ke ruangan ibu,
aku mencoba berdiri di samping ibu dan berbisik
“Bu,
Utih ikhlas,” ucapku.
Lalu
aku berjalan keluar dan menunggu di luar bersama asih, sedang pamanku
mendampingi dokter, aku terus bershalawat namun air mataku seakan tak bisa
untuk keluar.
Selang
berapa menit dokter keluar bersama paman.
“Tih,
sabar yah, ibumu sudah tidak ada,” kata paman sambil memelukku.
“Alhamdulilah,”
ucapku setelahnya aku barucap “Innalillahi wainna ilaihi raji’un.”
Aku
membawa jenazah ibu kembali ke rumah. Kabar meninggalnya ibuku diketahui oleh
kakak-kakakku melalui tetanggaku, karena aku memang tak ingin mengabari mereka.
Aku
mengurus semua setiap prosesnya. Entah kenapa air mataku tak ada yang mengalir.
“Ibuuuuuu!”
teriak Kak Abdi lalu berlari ke samping jenazah ibu.
Kakakku
yang lain pun terdengar histeris.
“Ibu
maafkan aku Bu!”
“Ibu
ampuni aku buuuu!”
“Ibuuuuuu!”
Teriak mereka bersahutan.
Mereka
terus memeluk jenazah ibu. Aku hanya terdiam melihat mereka sampai jenazah ibu
dikuburkan. Saat pulang terlihat kakak-kakakku masih menampakkan penyesalan
“Tih,”
ucap Kak Abdi ingin memelukku.
“Jangan
menyentuhku!” bentakku.
“Apa
maksudmu?” tanya kakak iparku.
“Aku
tak ingin tangan durhaka menyentuhku!” ucapku sinis.
“Apa
maksudmu Tih? Aku tak melihatmu bersedih, aku tak melihatmu sakit, aku tak
melihatmu kehilangan,” kata Kak Sinta.
Aku
mencoba tak memperdulikan mereka, namun Mas Abdi masih terus mencoba
membujukku.
“Kalian
tahu apa tentang sedih hah?” teriaku histeris.
“Kalian
tahu apa tentang sakit? Kalian tahu apa soal kehilangan?” kali ini air mataku
seakan memaksa untuk keluar.
“Kalian
mau tau apa itu sedih? Sedih itu ketika melihat ibu yang terus duduk di kursi
itu, menunggu kedatangan kalian dari siang sampai larut. Kalian tau apa itu
sakit? Sakit itu ketika melihat ibu yang bertaruh nyawa namun tak melupakan
nama kalian,” aku berhenti sejenak.
“Kalian
tau apa itu kehilangan? Kehilangan itu ketika melihat tatapan sendu itu terus
memandangi jalan berharap kalian muncul dan memeluknya,” teriakku yang terus
meraung.
“Kalian
tau? Ibu bahkan memintaku untuk memakaikannya baju baru agar kalian tak malu
memiliki ibu sepertinya. Ibu bahkan rela hidup susah asal kalian bahagia,” ucapku
kali ini dengan suara yang sudah parau.
“Kalian
durhaka. Kalian durhaka membiarkan ibu menanggung rindu. Aku bahkan tak ingin
mengakui kalian sebagai kakak,” kataku.
“Kalian
tau kenapa aku tak menangis? Karena aku bahagia, Ibu tak lagi menahan sakit
ketika tubuhnya harus ditusuk dengan jarum. Aku bahagia karena ibu tak lagi
sakit, dan yang paling membuatku bahagia karena ibu tak lagi menderita
menanggung rindu,” kataku yang sudah terduduk karena badanku terasa sangat
lemas.
Kakak-kakakku
hanya mampu menangis mendengarkanku.
“Satu
lagi,” kataku.
“Mulai
sekarang aku akan mengambil mobilmu Kak Abdi, yang dibeli memakai uang ibu.
Segera kembalikan uang yang ibu modali untuk usahamu Kak Rifan. Dan segera
tinggalkan rumah yang ibu belikan untukmu Kak Sinta. Kalian sungguh tak pantas
menerima kemurahan ibu. Aku ingin membangunkan ibu sebuah panti asuhan agar
banyak anak yang mengelilinginya,” ucapku datar tanpa menoleh ke arah mereka.
Mereka
tak ada yang mampu menjawabku karena terus meraung karena penyesalan.
“Kalian tau? Ada satu
tempat yang bahkan kalian berkeliling dunia pun tak akan kalian temukan. Yaitu
rahim ibu. Rahim yang telah kalian tempati saat Allah memberimu kehidupan. Dan
kalian justru memilih pergi ke tempat lain saat orang yang meminjamkan rahimnya
sedang bertaruh nyawa,” kataku.
----------
Keterangan:
-
Cerpen ini beredar di grup WhatsApp (WA)
dan ternyata ceritanya sangat menarik. Sayangnya, tanpa nama penulis. Kami
kemudian berselancar di internet dan menemukan cerpen ini dimuat di grup Facebook
“Komunitas Bisa Menulis”, pada 29 Agustus 2020.
-
Penulisnya Chie Amoy. Kami kemudian
menghubungi penulisnya, dan atas izinnya, Cerpen ini kami muat di laman www.pedomankarya.co.id.
-
Terima kasih Chie Amoy. (red)