SASTRA SABTU SORE. Ketua Prodi Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri Makassar (UNM), Kembong Daeng (duduk di lantai) tampil sebagai salah satu pembicara pada acara diskusi santai bertajuk “Sastra Sabtu Sore”, di Taman Baca Lontaraq Masjid Ashabul Jannah, Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Sabtu, 05 September 2020. (Foto: Rusdin Tompo)
-----
Selasa, 08 September
2020
Kita
Butuh Keikhlasan dalam Berkarya
-
Buku
Karya Kembong Daeng yang ke-50 Berjudul “Kelong Pannyaleori”
MAKASSAR,
(PEDOMAN KARYA). Perlu kepedulian dan butuh keikhlasan untuk
bisa secara konsisten menghasilkan karya-karya yang diabdikan untuk masyarakat,
apalagi terhadap sastra daerah yang kurang diminati, bahkan cenderung
terabaikan.
Padahal UU Nomor 24
Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan,
pada intinya menegaskan bahwa utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa
daerah, dan kuasai bahasa asing.
“Mestinya, pembelajaran
bahasa daerah itu dimasifkan dan diintensifkan karena ada dasar hukumnya,” kata
Ketua Prodi Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas
Negeri Makassar (UNM), Dr Hj Kembong Daeng MHum.
Hal itu ia kemukakan di
hadapan sejumlah akademisi, penyair, seniman, dan penggiat literasi, pada acara
diskusi santai bertajuk “Sastra Sabtu Sore”, di Taman Baca Lontaraq Masjid
Ashabul Jannah, Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Sulawesi
Selatan, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Sabtu, 05 September 2020.
“Dalam berkarya itu
kita butuh keikhlasan,” tambah Kembong Daeng, pada diskusi yang diprakarsai
atas Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, Lembaga
Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (LAPAKKSS), dan Komunitas
Puisi (KoPi) Makassar.
Kembong merujuk pada
Pergub Sulsel Nomor 79 Tahun 2018 tentang Pembinaan Bahasa Daerah di Sulawesi
Selatan.
Sayangnya, kata
Kembong, Pergub ini kurang maksimal diimplementasikan. Karena itulah, ia mengajak
semua pihak berkomitmen memajukan bahasa daerah sebagaimana spirit regulasi
yang ada, termasuk kebijakan membantu penerbitan dan pencetakan buku-buku
bertema sastra daerah.
Kembong Daeng sudah
menunjukkan totalitasnya sejak mulai menulis tahun 2004. Buku pertamanya
tentang pembelajaran Basa Mangkasara, dan nanti akan terbit bukunya yang ke-50,
yakni “Kelong Pannyaleori.”
“Buku saya yang sedang
dalam proses penerbitan adalah Kelong Pannyaleori, terdiri atas 33 jilid, di
mana setiap jilid terdiri atas 100 judul puisi. Kelong ini disusun dari ka-ha,”
jelas Kembong.
Terkait buku Antologi
Puisi “Perempuan Makassar”, Kembong Daeng mengatakan, buku tersebut diberi
judul “Perempuan Makassar” karena salah satu puisi dalam buku tersebut berjudul
“Perempuan Makassar.”
Puisi yang berkisah
tentang perempuan sebagai jenis kelamin maupun peran sosial (gender) itu
dianggap bisa mewakili isi bukunya. Selain berkisah tentang perempuan,
puisi-puisinya juga bertema cinta dan kasih sayang kepada Tuhan, orang tua,
keluarga, dan mahasiswa, di samping puisi-puisi bertema alam sekitar dan
kampung halaman.
“Saya tertarik menulis
puisi dalam Bahasa Indonesia, karena saya mau buktikan, saya bisa menulis puisi
dalam Bahasa Indonesia,” kata Kembong.
Selama ini, Kembong
Daeng memang dikenal sebagai sosok yang tekun menulis buku ajar berbahasa
daerah, khususnya Bahasa Makassar.
Buku-buku yang sudah
dihasilkan, baik individu atau tim, antara lain: “Gaya Bahasa Makassar”, “Sintaksis
Bahasa Makassar”, “Pappilajarang Basa Mangkasarak untuk SD kelas I-VI
(Sipakainga)”, “Pappilajarang Basa Mangkasarak untuk SMP kelas VII-IX”, “Kosakata
Tiga Bahasa (Indonesia-Makassar-Bugis), dan “Kelong-kelongna Tau Mangkasaraka.”
Apresiasi
Dr Mayong Maman MPd,
Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNM, yang hadir dalam acara
perdana “Sastra Sabtu Sore” itu, mengapresiasi karya-karya yang sudah
ditelorkan Kembong Daeng.
Yudhistira Sukatanya,
penulis, sutradara teater, dan sastrawan, yang aktif memajukan dunia literasi
di Sulsel, juga memuji pengabdian yang ditunjukkan Kembong Daeng.
‘Tidak banyak pengajar
yang rutin berkarya, termasuk perempuan penyair yang tetap produktif membukukan
pemikiran-pemikirannya,” puji Yudhistira Sukatanya.
Beberapa puisi Kembong
Daeng dibacakan, antara lain oleh Rosita Desriani, yang membaca puisi Rahasia
Ilahi, dan Yudhistira Sukatanya yang membaca puisi Makna Ketulusan.
Diskusi “Sastra Sabtu
Sore” yang diadakan dalam rangka menyambut Hari Aksara Internasional, 08
September 2020, itu dipandu oleh Rusdin Tompo sebagai moderator. Di akhir acara
dilakukan penyerahan buku kepada beberapa orang. (rt)