Wahai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah!” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. (QS At-Taubah/9: 38)
-------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 11 September 2020
Al-Qur’an Menyapa Orang-orang Beriman (53):
Menggugah Semangat dan Keberanian Menuju Medan Perang
Oleh: Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)
----------
Wahai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah!” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. (QS At-Taubah/9: 38)
Allah SWT memulai firman-Nya dengan pertanyaan yang
menggugah ini, pertanda bahwa Allah
ingin orang-orang beriman itu merasakan betapa Allah dekat kepada mereka.
Seolah-olah Allah ingin mengatakan kepada mereka orang-orang beriman itu; jangan
buang-buang kesempatan yang sangat indah ini! Mengapa kamu bermalasan dan tidak
menyambut seruan Tuhan-mu agar kamu semakin dekat kepada-Nya?
Ketahuilah! Seruan ini hanya kelihatan
menakutkan di permukaan tapi di baliknya, Allah
menyiapkan kehidupan yang indah dan penuh kenikmatan. Apakah kamu membenci
ajakan ini?
Ketahuilah bahwa di balik perang yang kamu
benci itu adalah sejatinya baik bagimu (QS Al BAqarah/2; 216). Apakah kamu
mengira orang yang dibunuh di jalan Allah
benar-benar mati? Tidak! Bahkan mereka hidup, hanya
kamu tidak menyadarinya (QS Al Baqarah/2: 154).
Karena itu, Allah SWT menyeru: “Wahai
orang-orang yang beriman!” Ketahuilah bahwa konsekuensi atau tuntutan iman
itu adalah segera menunaikan perintah Allah
sebagai jalan untuk membuktikan keteguhan iman itu.
Allah SWT tidak hanya memanggil, melainkan di balik
panggilan itu, ada
kemuliaan yang disiapkan oleh-Nya bagi hamba yang menunaikan panggilan itu.
Apakah karena kalian tidak tau itu,
lalu kalian merasa berat memenuhi pangilan-Nya? Atau adakah sesuatu yang sangat
berharga yang kalian tidak ingin meninggalkannya? Atau adakah kekhawatiran
kalian terhadap keluarga yang kalian tinggalkan?
Atau “apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: “Berangkatlah (untuk
berperang) pada jalan Allah!” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu?
Perang Tabuk
Menurut pendapat para ulama, latar
belakang turunnya ayat ini adalah terkait dengan persiapan menuju perang Tabuk,
yakni Allah menegur –sebagian-- orang-orang
beriman --yang ada penyakit dalam hatinya-- yang enggan menuju medan perang
pada saat itu.
Perang Tabuk adalah perang melawan
pasukan Romawi (Bizantium) yang terjadi pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijriyah menurut
Al-Biqa’i yang dinukil oleh Quraish Shihab, atau awal bulan Oktober tahun 603
Miladiyah menurut --seorang sejarawan, cendekiawan, penyair yang sufi-- Martin
Lings atau lebih dikenal dengan Abu Bakar Siraj al-Din.
Menurut Lings alias Abu Bakar Siraj
al-Din dalam bukunya Muhammad; Kisah Hidup Nabi berdasarkan Sumber Klasik, tidak
lama setelah perang Hunayn, Romawi (Bizantium) di bawah kepemimpinan Kaisar Heraklius, menaklukkan Persia, suatu
kemenangan yang telah diprediksikan dalam Al-Qur’an “pada hari itu orang-orang beriman akan bergembira” (QS Ar Rum/30:
4).
Hal ini sangat menggembirakan karena
Persia harus mengevakuasi tentaranya dari Suriah dan Mesir. Namun di Suriah,
menurut pandangan Kaisar Heraklius tampaknya ada suatu bahaya yang muncul
sebagai ancaman, yakni dari Negara Islam.
Tersebarlah desas-desus di Madinah (Yastrib) bahwa Heraklius telah
memajukan bayaran satu tahun untuk pasukannya dalam rangka kampanye jangka
panjang melawan Yastrib. Lebih jauh
diberitakan bahwa Bizantium telah berangkat ke selatan sampai di Balqâ dan mengumpulkan suku-suku Arab Lakhm, Judham, Ghassân, dan ‘Amilah.
Atas pandangan Heraklius itu, dan
juga diyakini dari mimpinya tentang kemenangan kerajaan Rasulullah, maka
sekembalinya ke Konstantinopel, sang Kaisar mengusulkan kepada jenderalnya agar
dibuat suatu perjanjian damai dengan Nabi Muhammad, dan memberikan provinsi Suriah
kepadanya.
Ide Kaisar Heraklius (lanjut Lings),
mengejutkan para jenderal-nya itu dan mereka menolak dengan keras, sehingga
akhirnya ide itu dibatalkan. Namun, Kaisar sendiri tidak mungkin mengubah keyakinannya,
sehingga dalam perjalanan pulang ketika mencapai terusan yang dikenal dengan
gerbang Cilician, ia menengok kembali ke selatan dan berkata, “Wahai tanah
Suriah, kuucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya.”
Pada awal bulan Oktober itu, musim panas sedang berlangsung dan kemarau terasa lebih panas dari biasanya. Saat itu buah-buahan juga sedang matang dan melimpah. Dua keadaan ini agaknya menjadi alasan bagi orang yang lemah imannya untuk tidak ikut dalam ekspedisi ke Tabuk ini.
Lalu ada lagi alasan ketiga yakni
reputasi pasukan kerajaan Romawi yang menakutkan. Orang munafik dan mereka yang
kurang beriman di antara kaum muslimin datang menemui Nabi dengan berbagai
alasan, meminta izin untuk tidak ikut ekspedisi ke medan perang, diikuti oleh
beberapa orang Badui melakukan hal yang sama.
Ada empat orang mukmin –Ka’b ibn
Malik, dua orang dari Khazraj, dan seorang dari suku ‘Aws—yang diam-diam
memutuskan untuk tinggal di rumah mereka dan tidak memberikan alasan. Mereka
tidak bersiap-siap dan menunda-nunda tugas hingga saatnya pasukan Nabi
berangkat.
Demikian disadurkan dari Lings, orang-orang yang seperti inilah agaknya yang mendapat teguran dari Allah dalam permulaan ayat ini.
Berlomba Menyumbang
Namun kebanyakan umat muslim telah
mempersiapkan diri dengan segera. Orang-orang kaya saling berlomba
menyumbangkan harta mereka. Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri dalam Sirah Nabawiyah mencatat sejumlah nama
sahabat yang menyumbangkan harta mereka secara fantastis.
Abu Bakar menyumbangkan seluruh
hartanya, Umar bin Khattab dengan separuh hartanya, Utsman bi Affan dengan unta
beserta harta benda, serta barang yang diangkutnya. Sejarah mencatat sumbangannya mencapai
hingga 900 ekor unta dan 100 ekor kuda ditambah dengan uang kontan.
Sahabat yang lain pun tidak mau ketinggalan.
Abdurrahman bin Auf, Al Abbas, Thalhah, Sa’ad bin Ubadah Muhammad bin Maslamah,
semuanya ikut berlomba bersedekah dengan harta dalam jumlah yang banyak.
Tercatat juga nama Ashim bin Adi,
lalu disusul oleh orang-orang beriman yang menyerahkan apapun yang dimilikinya.
Para wanita juga datang untuk menyerahkan berbagai macam perhiasan milik
mereka.
Hampir tak seorangpun yang menahan
apapun yang dimilikinya dan tidak merasa sayang terhadap hartanya keculi
orang-orang munafik, sebagaimana yang digambarkan oleh Allah SWT dalam
al-Qur’an surah at-Taubah/9: 79.
Setelah pasukan dan segala sesuatunya
telah dipersiapkan, maka pasukan Islam berangkat menuju Tabuk. Jarak Madinah ke
Tabuk sekitar 425
mil atau setara dengan 685 km ke arah utara-barat laut, suatu jarak yang sangat
jauh untuk perjalanan menunggang unta dan kuda apalagi berjalan kaki.
Pasukan ini dipimpin langsung oleh Rasulullah. Perang ini oleh Rasulullah diumumkan secara terbuka sebelum berangkat, berbeda dengan beberapa perang sebelumnya yang umumnya oleh Rasulullah tidak disampaikan secara terbuka.
Ali bin Abi Thalib Minta Ikut Serta
Sebelum berangkat, Rasulullah
menugaskan Muhammad bin Maslamah Al-Anshari, atau menurut pendapat lain Siba’
bin Urfuthah, sebagai wakil beliau di Madinah, dan untuk menjaga keluarga yang
ditinggalkan beliau mewakilkannya kebada Ali bin Abi Thalib.
Ali bin Abi Thalib pun meminta dengan sangat
agar ikut mengambil peran dalam misi jihad ini, akan tetapi Rasulullah
menghiburnya dengan berucap kepadanya, “Apakah engkau tidak ridha jika engkau
di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa? Hanya saja tidak ada Nabi
sesudahku?” Perkataan
Rasulullah tersebut akhirnya membuat Ali kembali ke Madinah.
Pada hari Kamis, Rasulullah s.a.w
mulai bergerak ke arah utara menuju Tabuk dengan membawa jumlah pasukan
sebanyak 30.000 prajurit. Dengan jumlah yang sangat besar, maka persiapan untuk
membekali pasukan ini tidak sempurna walaupun cukup banyak harta yang
disedekahkan orang-orang muslim.
Pasukan Rasulullah kali ini dijuluki
dengan Jaisyul Usrah (pasukan yang
dalam keadaan sulit). Keadaan sulit mereka digambarkan oleh Al-Mubarakfuri
bahwa persediaan bekal mereka untuk satu unta beserta muatannya dijatahkan
untuk delapan belas orang prajurit.
Di perjalanan mereka harus memakan dedaunan sekadar untuk membasahi bibir, dan suatu ketika harus menyembelih unta yang jumlahnya sedikit itu untuk diambil air di badannya di samping dimakan dagingnya.
Rasulullah Jadi Makmum
Satu waktu dalam perjalanan ke utara,
pada waktu subuh, Nabi s.a.w terlambat berwudhu. Para jamaah telah berbaris untuk
shalat. Mereka tetap menunggu sampai khawatir matahari terbit, padahal mereka
belum shalat.
Maka, mereka akhirnya sepakat
menunjuk ‘Abdurrahman bin ‘Auf sebagai imam. Setelah mereka selesai rakaat
pertama, Nabi muncul. ‘Abdurrahman bin ‘Auf bermaksud mundur, tapi beliau
memberi isyarat untuk tetap di tempat –sebagai imam melanjutkan
shalat—sementara Nabi bergabung dengan jamaah.
Setelah mereka mengucapkan salam,
Nabi –langsung—bangkit dan melanjutkan satu rakaat yang ketinggalan.
Selesai shalat Nabi berkata, “Kalian
telah melakukan –hal—yang benar karena kematian seorang Nabi tidak terjadi
sebelum ia shalat diimami oleh orang yang paling shaleh di antara umatnya.”
Dalam perjalanan ke Tabuk, pasukan Rasulullah melewati Al-Hijr, perkampungan orang-orang Tsamud dahulu yang dikenal dengan Wadil Qura. Khusus pada saat melewati tempat ini Rasulullah memberi
aturan tersendiri.
Dalam perjalanan ini semua pasukan
sangat membutuhkan air, hingga mereka mengadu kepada Rasulullah s.a.w, lalu beliau berdoa kepada Allah, dan atas rahmat Allah
turunlah hujan untuk mereka, hingga dapat meminum dan memuaskan kebutuhan
mereka terhadap air.
Saat perjalanan sudah mendekati
Tabuk, Rasulullah bersabda, “Insya
Allah besok kalian akan tiba di mata air Tabuk paling cepat waktu dhuha. Beliau
menitip pesan agar jangan ada seorang pun yang mengambil air barang sedikit
saja hingga beliau tiba di sana.
Namun, dua orang yang tiba lebih dulu
telah melanggarnya yakni telah mengambil air tersebut. Setibanya di mata air
Tabuk, Rasulullah mengucapkan nasehat
kepada keduanya atas petunjuk Allah.
Kemudian beliau mengambil sedikit airnya lalu beliau menggunakan untuk membasuh muka dan tangan. Kemudian Rasulullah mengembalikan air itu ke mata airnya hingga airnya berlimpah ruah.
Menjama’ Shalat
Kemudian beliau bersabda kepada
sahabatnya, Mu’az, ”Wahai Mu’adz, jika umurmu panjang, maka tak seberapa lama,
engkau akan melihat di sini sudah penuh dengan kebun-kebun.
Dalam perjalanan ekspedisi ini Rasulullah s.a.w. senantiasa menjama’ antara shalat dhuhur dan ashar, magrib dan isya’, kadang dengan jama’ taqdim kadang dengan jama’ ta’khir.
Setelah pasukan Rasulullah tiba di Tabuk dan berkubu di sana, mereka siap bertempur
melawan musuh. Rasulullah s.a.w
berdiri di hadapan pasukan dan menyampaikan pidato dengan penuh semangat,
dengan kata-kata yang mengandung makna luas dan dalam.
Rasulullah menganjurkan kepada kebaikan dunia
akhirat, memberi peringatan dan ancaman, memberi kabar gembira dan kabar yang
menyenangkan, hingga mental seluruh perajurit benar-benar siap dengan semangat yang
membara, sekalipun bekal dan perlengkapan mereka sangat minim.
Sebaliknya, ketika pasukan Romawi dan
sekutu-sekutunya sudah mendengar bahwa Rasulullah
s.a.w menggalang pasukan, muncul ketakutan dan kekhawatiran yang merambat
ke dalam hati mereka, sehingga mereka tidak berani maju atau langsung
merencanakan serangan.
Mereka berpencar-pencar di batas wilayah mereka sendiri. Kondisi ini mengangkat pamor militer Islam di dalam Jazirah Arab dan sekaligus mendulang kepentingan politik yang amat besar manfaatnya, yang boleh jadi, tidak akan bisa diperoleh andaikan sampai terjadi pertempuran di antara dua pasukan ini.
Menang Tanpa Perang
Atas ketakutan dan kekhawatiran
pasukan Romawi itu, maka Rasulullah s.a.w
didatangi oleh Yuhannah bin Ru’bah, pemimpin ‘Ailah, menawarkan perjanjian perdamaian dengan beliau dan siap
menyerahkan jizyah kepada beliau.
Begitu pula yang dilakukan penduduk Jarba’
dan Adruj. Beliau menulis selembar
perjanjian yang kemudian mereka pegang.
Sesudah itu, Rasulullah mengutus Khalid bin Walid ke Ukaidir Dumatul Jandal dan Khalid berhasil menjalankan misinya dan menangkap Ukaidir dan dibawa ke hadapan Rasulullah.
Setelah Rasulullah s.a.w menjamin keamanan dirinya, Ukaidir pun menyusul Yuhannah dan
menyetujui perjanjian yang berlaku untuk penduduk Dumah, Tabuk, Ailah, dan Taima’.
Berbagai kabilah yang dulunya tunduk
kepada kekuasaan bangsa Romawi sebagai keputusan yang diambil para pemimpin
mereka sebelum itu, diyakini sebagai langkah yang salah dan kini sudah habis
masanya.
Mereka berbalik mendukung orang-orang
muslim. Dengan begitu wilayah kekuasaan pemerintahan Islam semakin bertambah
luas, hingga langsung berbatasan dengan dengan wilayah kekuasaan bangsa Romawi.
Demikian akhir perjalanan ekspedisi perang
Tabuk. Pasukan Islam meninggalkan
Tabuk kembali ke Madinah dengan membawa kemenangan, tanpa mengalami takanan
sedikitpun. Dengan demikian, Allah telah mencukupkan peperangan bagi orang-orang mukmin.
Demikian kutipan ringkas tentang
ekspedisi perang Tabuk dinukilkan dari Lings dan Al-Mubarakfuri. Bagi pembaca
yang ingin menelaah lebih dalam tentang sejarah perang Tabuk ini dapat mebaca
buku-buku Sirah Nabawiyah.
Itulah perang Tabuk yang dihindari
oleh orang-orang munafik dan orang-orang yang lemah iman, dimana atas idzin Allah justru pasukan orang-orang beriman
di bawah
pimpinan Rasulullah memperoleh kemenangan yang gemilang tanpa pertumpahan
darah.
Lanjutan firman Allah, “apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia
sebagai ganti kehidupan di akhirat?”
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
menjelaskan bahwa pertanyaan Allah
ini menggambarkan keadaan orang-orang beriman yang lemah imannya itu sama saja
dengan orang-orang mengejar dunia tanpa peduli terhadap akhirat, seolah-olah
dia tidak beriman kepadanya.
“Padahal
--Allah SWT menegaskan bahwa—kenikmatan hidup di dunia ini”, yang
orang-orang beriman condong kepadanya dan lebih diutamakan dari pada akhirat “hanyalah sedikit.”
Perintah Allah SWT kepada orang-orang beriman agar tidak berat hati dan langkah bila diajak ke medan jihad bukanlah sebuah pilihan antara ‘mau’ atau ‘tidak mau’ dengan alasan apapun. Bahkan Allah SWT menegaskan peringatan-Nya dengan berfirman: “Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Dia menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan mengganti kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak memberikan kemudharatan kepada-Nya sedikitpun dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS At Taubah/9: 39)
Inilah dua peringatan Allah SWT bagi orang yang enggan menuju
medan jihad, yakni: “Dia –-akan-- menyiksa dengan siksaan yang pedih dan Dia
–akan—menggantikan orang-orang yang
lemah iman itu dengan kaum yang lain.”
Apakah orang-orang beriman bermalasan ataupun segera menyambut seruan Allah itu, “tidak akan memberikan kemudharatan kepada-Nya sedikit pun.” karena “Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” As-Sa’di menegaskan tentang sifat Allah SWT ini bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi-Nya dari apa yang diinginkan-Nya, dan tak ada sesuatu pun yang dapat mengalahkan-Nya. Inilah antara lain makna keberimanan. ***