Wahai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabb-mu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (Al-Hajj/22: 77)
--------------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 28 Oktober 2020
Al-Qur’an Menyapa Orang-orang Beriman (56):
Perintah Ruku’, Sujud, Menyembah Tuhan,
dan Berbuat Kebajikan
Oleh: Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil Sekretaris
Muhammadiyah Sulsel)
Wahai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu,
sujudlah kamu, sembahlah Rabb-mu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan. (Al-Hajj/22:
77)
Secara fitrah, manusia memiliki hati yang selalu
membutuhkan ritual untuk mencapai suatu kedudukan hati yang tenang dan tenteram. Puncak hati yang
tenang dan tenteram bila diterjemahkan ke dalam perasaan disebut bahagia.
Bahagia yang dicapai melalui jalan ketenangan dan
ketenteraman
menghasilkan kondisi psikologis yang mapan sehingga jiwanya benar-benar bahagia,
itulah jiwa yang diliputi rasa tenang, tenteram dan bahagia (nafsul muthmainnah).
Manusia yang ingin bahagia tidak melalui jalur
ketenangan dan ketenteraman itu berarti dia berjalan di luar fitrahnya, maka pasti
kebahagiaan yang dirasakannya adalah kebahagiaan semu.
Prosesi ritual yang dapat mengantar untuk mencapai nafsul muthmainnah adalah
ritual yang diarahkan menuju kepada Tuhan. Sementara untuk mendapatkan jalan menuju
Tuhan, maka
seseorang itu harus melatih dirinya untuk tunduk kepada-Nya.
Ruku’ dan sujud adalah kegiatan ritual untuk melatih
diri tunduk kepada Tuhan, yang secara hakiki manusia memang hanya boleh ruku’
dan sujud kepada Tuhan Penciptanya yaitu Allah SWT. Ruku’ dan sujud yang
dimuati makna ketundukan yang sebenar-benarnya kepada sang Penciptanya itulah
yang disebut sembahyang yang dalam bahasa al-Qur’an disebut shalat.
Allah SWT mengingatkan kepada orang-orang yang sudah
mengaku beriman agar mereka ruku’ dan sujud menyembah hanya kepada Allah
Tuhannya, tidak kepada yang lain. Adapun tata cara penyembahan tersebut sesuai
dengan yang diajarkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya berupa ibadah khusus (khas) yakni shalat (QS Al Baqarah/2: 239) yang
wajib dikerjakan sesuai dengan waktu-waktu yang telah ditentukan. (QS An-Nisa/4: 103)
Shalat adalah proses untuk melatih, merasakan hingga
mampu ikhlash menyembah Allah tanpa pamrih yang pada akhirnya setelah
terbiasa, maka akan menjadi sebuah kebutuhan bahkan menjadi kerinduan bagi
seorang hamba untuk bertemu dengan Tuhannya. Inilah shalat yang diperintahkan
untuk melaksanakannya.
Selanjutnya setelah shalat ditunaikan, maka perintah selanjutnya
yang harus disambut adalah; ‘wa’budu rabbakum, sembahlah Tuhanmu,’yakni mengabdi kepada Allah
dengan menjalankan seluruh perintah berupa ibadah khusus lainnya seperti puasa,
membayar zakat dan berinfak, melaksanakan haji, serta melaksanakan ibadah yang
bersifat umum (‘âm) yang mencakup banyak hal –misalnya menuntut ilmu, menjaga
kesehatan rohani dan jasmani, memelihara hak-hak diri dan lain-lain-- yang
motivasinya untuk mencapai ridha Allah.
Dua perintah ini –yakni shalat dan ibadah umum
lainnya-- adalah proses pematangan diri agar dapat ‘merasa siap’ untuk
memelihara hubungan vertikal kepada Allah SWT, dan menjadi bekal untuk
membingkai hubunganhorizontal kepada sesama manusia ke dalam batasan atau
‘koridor’ keridhaanAllah.
Setelah hubungan vertikal terpelihara secara
berkelanjutan (istiqamah) maka perintah Allah selanjutnya adalah; “Dan
perbuatlah kebajikan.”
Buya Hamka menuliskan, “Shalat dan ibadah umum yang lain
menghubungkan diri dengan Tuhan, sedangkan berbuat kebajikan akan
meneguhkan hubungan dengan sesama manusia dengan menyambungkan silaturrahim dan
menegakkan budi pekerti yang mulia.”
Sementara Quraish Shihab menjelaskan bahwa perbuatan
kebajikan menampung seluruh kebaikan duniawi dan ukhrawi, baik yang berdasar
wahyu maupun nilai-nilai yang sejalan dengan tujuan syariat, baik ia berupa hukum
dan undang-undang maupun tradisi dan adat-istiadat.
Kemudian ayat ini ditutup dengan janji Allah: “Supaya
kamu mendapat kemenangan.” Syaikh As-Sa’di menjelaskan yakni, “meraih harapan
yang diinginkan dan selamat dari keburukan yang dikhawatirkan. Tidak ada jalan
apapun untuk menggapai keberuntungan selain bersikap ikhlas dalam menjalankan ibadah
kepada al-Khaliq dan mengusahakan diri dapat bermanfaat bagi sesama.
Siapa saja yang mendapatkan taufik untuk melaksanakan
itu –lanjut beliau, maka dia mendapatkan porsi yang besar dari nikmat
kebahagiaan, keselamatan dan keberuntungan.”
***