- Habibi -
(Penyuluh Bangga Kencana Parepare)
-------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 23 Oktober 2020
Program Bangga Kencana BKKBN Ubah Nasib Menjadi Harapan
Oleh: Habibi
(Penyuluh Bangga Kencana Parepare)
Banyak pribahasa dan ungkapan-ungkapan di tengah masyarakat Indonesia yang menunjukkan bahwa keluarga besar adalah hal yang umumnya dianggap sebagai sesuatu yang baik.
Contohnya, masing masing anak membawa rejeki, tidak apa-apa walaupun hanya makan nasi dengan garam selama seluruh keluarga berkumpul, ada hari ada nasi.
Dari ungkapan ini tersirat arti bahwa mempunyai anak adalah sesuatu yang sangat diharapkan. Memiliki anak adalah sesuatu yang akan memberikan kebahagian dan kesenangan, dan akan menimbulkan kehangatan dalam keluarga.
Dikemukakan juga bahwa anak berguna untuk teman dan membantu hari tua pewaris keturunan dan menjaga kelangsungan keluarga ungkapan tentang nilai anak, dikemukakan oleh Hildred Gertz dalam penelitiannya pada tahun 1950/1960 di sebuah pedesaan di Jawa Timur.
Ia menemukakan cara orang mengungkapkan arti dan nilai anak dengan praktis saja, yakni saat Anda tua, anak akan merawat Anda. Walaupun anda memiliki kekayaan, perhatian dari anak Anda tidak dapat dibeli dengan semua itu.
Oleh karena itu, walaupun secara umum menunjukkan bahwa memiliki banyak anak memang sesuatu yang diinginkan, namun berapa sebenarnya yang dikatakan banyak itu? Apakah banyak itu? Apakah banyak itu artinya tanpa batas?
Merencanakan berapa banyak anak yang mereka inginkan. Alat obat kontrasepsi memungkinkan orang mengatur kapan ia hamil. Dulu tidaklah demikian. Anak dianggap sebagai pemberian Yang Maha Kuasa, berapa pun jumlahnya.
Ini sebuah kesaksian orang tua kita dulu yang mengalami perubahan zaman sebuah testimoni cerita orang tua kita dulu;
“Saya tidak sekolah. Ketika saya masih kecil, hanya beberapa orang tua yang sekolahkan anak mereka dan sebagian mereka adalah keluarga orang berada, anak pejabat, kaum bangsawan.
Orang berpikir tidak ada gunanya bagi para gadis untuk sekolah karena mereka seharusnya hanya berada di dapur, sumur, kasur. Dan saya berpikir seharusnya orang tua sekolahkan anak mereka.
Saat ini kita memiliki banyak sekolah dan terbuka bagi siapa saja. Kita berpikir pendidikan itu penting.
Saya berumur 14 tahun saat menikah dan suami saya berumur 18 tahun. Orang tua saya yang menjodohkan saya, sesuai tradisi masa itu. Kami menikah dan setahun kemudian saya melahirkan seorang bayi laki-laki.
Semuanya telah berubah sekarang. Orang tua tidak lagi mencarikan suami untuk anak perempuannya dan mencarikan istri untuk anak laki-laki. Dan saya berpikir sangatlah baik untuk terlebih dahulu saling mengenal antara satu dengan yang lainnya sebelum menikah.
Saya tidak mempunyai perencanaan berapa banyak anak yang kami inginkan. Ternyata kami memiliki 10 anak. Kami kehilangan dua anak laki-laki kami.
Setelah saya memiliki tiga anak, saya merasa bahwa sepertinya terlalu banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Ketika melahirkan anak laki-laki yang keempat, banyak sekali kehilangan darah, selalu pingsan tidak dapat mengatakan pada suami agar berhenti melahirkan anak.
Saya tidak dapat melakukannya karena dia akan meninggalkan saya. Saat pemerintah mencanangkan program Bangga Kencana (Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana), semua itu tidak berpengaruh karena sudah berlanjut.
Sebenarnya saya sudah mencoba berbagai macam buah-buahan dan pengobatan untuk mencegah kehamilan. Sebagian orang berpikir bahwa setiap orang sudah memiliki takdirnya sendiri sebelum melahirkan, ah, itu omong kosong!
Apa yang kita lakukan, itulah yang menentukan apa yang terjadi. Jika kita mempunyai banyak anak, kita pasti sibuk, sehingga kita tidak punya waktu untuk bekerja mencari tambahan nafkah.
Saya berpikir akan lebih baik jika program Bangga Kencana (Pembangunan Keluarga, Kependudukan, Keluarga Berencana) sejak dulu.”
Oleh karena itu testimoni ini menggambarkan perubahan pemahaman dan prilaku seorang perempuan tentang besarnya keluarga atau jumlah anak yang dimiliki dalam sebuah keluarga, dan dapat dikatakan merupakan refleksi dan perubahan sosial yang dialaminya.
Menikah dan mengurus anak rumah tangga adalah salah satu pilihannya. Untuk anak perempuan pada masa itu, tidak ada pilihan selain menerima seorang suami yang menjadi pilihan orang tuanya dan mempunyai anak sebagai nasibnya.
Walaupun itu adalah kisah hidup seoarang perempuan, kisah tersebut tidak terlalu fatal, tetapi berpikir bahwa hidupnya akan lebih baik jika dapat mengatur jarak melahirkan anak.
Bahkan pengakuan bahwa memakan buah dan obat-obatan untuk mencegah kehamilan hasratnya untuk tidak mempunyai anak lagi. Faktanya bahwa dia gagal dalam mencegah kehamilan berikutnya.
Terbukanya pikiran kesempatan bagi perempuan untuk pindah dari dapur, sumur, kasur untuk sekolah adalah tanda adanya kemajuan dalam kedudukan perempuan dalam dunia pendidikan.
Sasarannya bagi kaum anak muda agar tidak beranak banyak, jelas menandakan telah ada kesadaran dalam dirinya bahwa melahirkan anak dapat diatur demi kehidupan yang lebih baik dan bisa menetukan sendiri berapa jumlah anak yang akan dilahirkan. Dan yang terakhir ini sangat terkait dengan pemahaman tentang jumlah anak ideal dan memiliki anak sehat berencana itu keren.