Muhammad Dg Patompo dari tentara menjadi Walikota Makassar, sementra KH Fathul Muin Dg Maggading dari pejuang kemerdekaan menjadi seorang tokoh pergerakan organisasi Muhammadiyah di Makassar.
-----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 21 November 2020
Fathul Muin Dg Maggading dan HM Dg Patompo
Oleh: Syandri Syaban Lc MAg
Mohammad Dg Patompo dan KH Fathul Muin Dg Maggading adalah dua tokoh di Kota Makassar yang sama-sama memiliki peran penting saat proses merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, masing-masing mengambil peran yang berbeda. Muhammad Dg Patompo dari tentara menjadi Walikota Makassar, sementra KH Fathul Muin Dg Maggading dari pejuang kemerdekaan menjadi seorang tokoh pergerakan organisasi Muhammadiyah di Makassar.
Muhammad Dg Patompo sebenarnya bukan kelahiran Makassar, bahkan tidak lahir di Provinsi Sulawesi Selatan. Menurut buku Tokoh-Tokoh di Balik Nama-Nama Jalan Kota Makassar, Patompo lahir pada 17 Agustus 1926 di Polewali Mandar. (Ahyar Anwar & Asjan Abidin, 2018:74).
Banyak kisah di balik perjalanan kehidupan militer Muhammad Dg Patompo. Meski dari hasil penelusuran penulis, Dg Patompo menyimpan rasa hormat kepada KH Fathul Muin.
Di antara sebabnya, selain karena Pak Kiyai lebih senior dalam perjuangan merebut kemerdekaan, juga dilatari oleh perasaan utang budi.
Kisah itu berawal sekitar tahun 1953, ketika pergerakan DI/TII masih merajalela di luar kota Makassar, Patompo nyaris menjadi komandan batalyon Oosterling berkat rekomendasi dari Kapten Andi Abdul Lathif. Namun sebelum mengisi jabatan itu, Patompo diuji dengan cara memimpin pasukan di sekitar Taman Nasional Bantimurung.
Selama dua bulan Patompo dan pasukannya itu bertahan di Camba. Setelah dua bulan berlalu, Patompo dan pasukannya diperintahkan Mayjen Andi Mattalatta memasuki kota Makassar yang berjarak sekitar 70 kilometer dari tempat Patompo dan pasukannya bermarkas.
Ketika Patompo dan pasukannya belum jauh meninggalkan Camba, mereka dicegat serombongan gadis. Gadis-gadis itu menawarkan makan jagung bakar bersama. Ajakan itu tidak ditolak oleh Patompo.
Selanjutnya dia memerintahkan dua peletonnya meneruskan perjalanan. Pasukan yang tersisa di samping Patompo adalah satu peleton dan beberapa staf kompi.
Rupanya di sekitar Bantimurung pasukan DI/TII memasang perangkap. Suara tembakan dari jauh membuat Patompo sadar dan berusaha mengejar dua peleton pasukannya yang sudah terlanjur maju dan terjebak dalam pertempuran.
Setelah melihat anak buahnya dalam posisi sangat buruk, Patompo bersama pasukannya yang tersisa mencari jalan aman untuk menyelamatkan diri.
Bantuan kemudian datang lalu mencari Patompo dan pasukannya yang tercerai berai. Seminggu kemudian barulah Patompo ditemukan. Dia lalu dibawa ke oditur militer untuk diadili. Berungtungnya ia tidak dipecat tapi pangkatnya yang masih letnan dua harus turun satu tingkat.
Dari informasi sejarah yang ditemukan penulis, dapat diketahui bahwa dalam kondisi terdesak inilah KH Fathul Muin yang ketika itu belum menjabat sebagai Ketua Cabang Muhammadiyah Makassar memberikan bantuan penyelamatan kepada Patompo dan pasukannya yang terjebak oleh serangan pasukan DI/TII.
Apatah lagi daerah Camba merupakan daerah yang tidak asing bagi KH Fathul Muin yang juga merupakan salah satu daerah di tanah kelahirannya. Inilah yang melatarbelakangi Patompo sangat hormat kepada KH Fathul Muin Dg Maggading.
Sering kali kebijakan-kebijakan Patompo ketika memimpin Makassar ditentang oleh Kiai Fathul Muin dengan sangat keras. Puncak-puncak pertentangannya adalah sekitar tahun 1968-1970 ketika Patompo membolehkan perjudian dengan nama Lotto sebagai salah satu sumber pendapatan daerah.
Ada satu kisah yang teramat lucu dan diceritakan oleh mantan ajudan Dg. Patompo yang bernama Andi Jamaluddin Santo, tentang keseganan Mohammad Dg Patompo (yang kemudian lebih akrab disebut HM Dg Patompo) kepada KH Fathul Muin Dg Maggading.
Di kala itu, Dg Patompo memerintahkan kepada ajudannya agar segera membuat undangan dalam rangka pertemuan tokoh-tokoh agama dan petinggi Ormas Islam. Ia pun mewanti-wanti kepada ajudannya agar mengundang beberapa orang saja.
Tanpa disangka dan diperkirakan sebelumnya, Andi Jamaluddin Santo turut mengundang “Dg Maggading” sebagai tokoh agama Islam yang diundang dengan hormat oleh Walikota Makassar pada pertemuan tersebut.
KH Fathul Muin Dg Maggading, merupakan ulama kharismatik dan juga selaku salah satu pimpinan persyarikatan Muhammadyah di Kotamadya Tingkat II Ujung Pandang.
Di kala itu, saat tiba dirl ruang kerja walikota, masing-masing para undangan dipersilahkan duduk. Dg Patompo, pada waktu itu masih duduk di belakang meja kerjanya.
Begitu KH Fathul Muin Dg Maggading masuk di ruang kerja sang Walikota, tiba-tiba Daeng Patompo berteriak keras sembari bersembunyi di kolong meja kerjanya lalu berucap “bukan itu” teriaknya sambil menunjuk ke arah tamu dalam hal ini Kiai Haji Daeng Maggading.
Betapa kagetnya Andi Jamaluddin Santo, sekaligus sangat geli melihat Sang Walikota bersembunyi di bawah meja.
Sebenarnya daftar undangan, Kiai Haji Daeng Maggading tidak termasuk dalam daftar. Mengapa demikian? Karena Daeng Patompo tidak berani untuk bertemu dengan KH Daeng Maggading disebabkan sangat segan pada figur dan ulama kharismatik tersebut. (Mattaliu Abdurrazaq “H. M. Daeng Patompo, Biografi Perjuangan, 1997).
Itulah! Daeng Patompo tanpa sadar bersembunyi di bawah kolong meja kerjanya.