--------
Selasa, 08 Desember 2020
Polisi Bunuh 6 Anggota FPI, Shamsi Ali: Membunuh Itu Keji!
MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA). Polisi membunuh dengan cara menembak hingga tewas enam anggota kelompok Front Pembela Islam (FPI) pendukung Habib Rizieq Shihab, di Jakarta, Senin dini hari, 07 Desember 2020.
Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Fadil Imran, dalam jumpa wartawan bersama Pangdam Jaya, Senin, 07 Desember 2020, mengatakan, penembakan terhadap enam anggota FPI itu dilakukan oleh anggota tim dai Ditreskrimum Polda Metro Jaya, di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek.
Fadil mengatakan, penembakan tersebut terpaksa dilakukan karena tim dari kepolisian mendapat serangan terlebih dahulu. Dia mengatakan, anggota yang sedang sedang melakukan pengintaian terhadap Habib Rizieq tiba-tiba dipepet oleh sebuah kendaraan yang ditumpangi 10 orang yang melakukan pengawalan terhadap Habib Rizieq.
Sekretaris Umum FPI, Munarman, membantah pernyataan Kapolda Metro Jaya. Dia mengatakan, ke-6 anggota FPI itu sengaja ditangkap, diculik lalu dibawa ke suatu tempat untuk dibantai.
Aksi pembunuhan terhadap enam anggota FPI yang sudah menjadi berita internasional itu langsung mendapat sorotan dan kecaman dari berbagai pihak, termasuk dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Imam dan Diaspora Indonesia di Kota New York, Amerika Serikat, Shamsi Ali, juga mengecam peristiwa pembunuhan terhadap enam anggota FPI tersebut, dengan menulis sebuah artikel berjudul, “Membunuh Itu Keji!”
Artikel itu beredar luas di media sosial, terutama di grup-grup WhatsApp (WA), dan juga dimuat oleh beberapa media massa.
Berikut artikel lengkap yang ditulis Shamsi Ali, pada Selasa, 08 Desember 2020.
Hari-hari ini Indonesia kembali menjadi perhatian dunia. Perhatian yang sayangnya kurang mengenakkan. Bukan perhatian yang saya mimpikan. Bahwa suatu saat Indonesia akan jadi pusat perhatian dunia karena kekuatan, kemajuan, dan tentunya berbagai inovasinya di tengah kehidupan dunia global saat ini.
Justru yang menarik perhatian dunia kali ini adalah peristiwa kekerasan dan pembunuhan kepada 6 rakyat sipil kemarin pagi (Senin, 07 Desember 2020, red). Keenam korban ini diduga sebagai pendukung dan pengawal Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab. Kejadian ini telah banyak mendapat sorotan media internasional, termasuk AP, Reuters, Al-Jazeerah, dan lain-lain.
Di dalam negeri sendiri, hampir semua media mengalihkan perhatian dari isu-isu besar yang dalam dua tiga hari ini menjadi isu panas di Tanah Air. Isu itu adalah tertangkapnya dua Menteri Kabinet Kerja, Menteri Sosial, Juliari Batubara, dari PDIP, dan sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, dari Partai Gerindra.
Yang menarik lagi dengan penangkapan Menteri Sosial yang menyalah-gunakan dana Covid-19 itu terancam oleh pernyataan Ketua KPK dan bahkan oleh Menko Mahfud MD, bahwa korupsi di masa pandemi ini terancam hukuman mati.
Tentu pernyataan ini menjadi tantangan sendiri akan konsistensi pemerintah dalam menegakkan Hukum dan memenuhi janji.
Tapi isu yang tidak kalah pentingnya, bahkan seharusnya menjadi perhatian serius oleh semua pihak, khususnya pemerintah, adalah menggeliatnya seruan gerakan Papua Merdeka, baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Salah satu di antaranya adalah seruan Papua Merdeka di Kongress XXXVII GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia).
Seruan Papua Merdeka ini tentunya menjadi hal besar yang harusnya menarik perhatian dan keprihatinan semua pihak. Karena segala hal yang selama ini didengungkan oleh pemerintah, termasuk upaya meredam gerakan-gerakan radikal, dianggap dapat mengganggu kestabilan nasional dan ancaman terhadap NKRI.
Maka pastinya keterbukaan seruan Papua Merdeka ini dilihat sebagai ancaman yang lebih berbahaya dan nyata.
Akan tetapi dengan penembakan dan pembunuhan 6 orang Muslim pengikut HRS ini, kontan saja semua pemberitaan mengenai kedua hal di atas hilang bagaikan tertelan hantu. Seolah perhatian bangsa, termasuk media massa dan media sosial tergiring untuk melupakan semuanya.
Karenanya wajar jika penembakan anggota FPI dan pengawal HRS itu oleh sebagian dicurigai sebagai, selain memang upaya meredam pergerakan Dakwah HRS yang dianggap kurang nyaman bagi sebagian kalangan, juga sebagai pengalihan perhatian publik.
Pengalihan perhatian ini dianggap penting untuk menyelamatkan muka pihak-pihak yang boleh jadi dengan peristiwa itu menjadi tercoreng. Selain karena pelaku korupsi itu pastinya mencoreng partai afiliasinya, juga karena isu Papua merdeka kini menguji nyali mereka yang selama ini meneriakkan “NKRI harga mati.”
Penembakan Ini Isu HAM
Terlepas dari apa dan bagaimana kejadian yang sesungguhnya terjadi di subuh hari itu, penembakan rakyat sipil tanpa sebuah ancaman nyata yang bisa dibuktikan, tidak bisa dibenarkan oleh hukum dan akal sehat.
Pembunuhan yang terjadi, siapapun pelaku dan korbannya, adalah perbuatan keji yang terkutuk. Dan karenanya pembunuhan itu harus ditolak dan dikecam, bahkan dikutuk oleh semua orang yang sadar hukum dan punya rasa kemanusiaan (sense of humanity).
Kesadaran hukum dan rasa kemanusiaan itulah yang membangkitkan bangsa Amerika mengutuk pembunuhan kepada satu orang Afro Amerika baru-baru ini.
George Floyd yang ditindis oleh polisi hingga kehilangan kehidupannya memicu kemarahan warga Amerika. Bahkan tidak berlebihan jika menjadi bahagian dari penyebab kekalahan seorang Presiden Donald Trump itu.
Dan karenanya apa yang terjadi di Indonesia ini harusnya menjadi isu sensitif dan besar. Tentu tidak harus menimbulkan reaksi destruktif. Tapi perlu secara masif disuarakan resistensi itu. Agar kekejian serupa jangan lagi terulang.
Kejadian yang telah membuka mata dunia internasional ini juga pastinya akan menjadi catatan dunia. Apalagi dalam konteks Amerika, dengan kemenangan Biden dari Partai Demokrat yang punya perhatian serius dengan isu-isu HAM, hal ini jika tidak diselesaikan dengan baik dan adil, maka akan menjadi isu besar bagi Indonesia.
Khawatirnya justru kekerasan seperti ini akan membuka pintu bagi pihak-pihak yang memang punya itikad yang kurang baik untuk merusak Indonesia, termasuk kemungkinan menjadi pintu bagi dunia untuk membuka mata terhadap isu Papua itu sendiri.
Karenanya, harapan kita semua agar peristiwa ini jangan sampai terulang lagi. Polisi itu harusnya hadir memberikan rasa aman dan perlindungan kepada warga. Penggunaan kekerasan, apalagi dengan senjata api oleh pengamanan, hanya diperbolehkan dalam situasi yang ekstra penting dan nyata bahayanya (real threat).
Rasa kemanusiaan saya mengatakan bahwa keadaan yang timbul saat kejar-kejaran di jalan itu bukan sebuah keadaan yang ekstra ordinari (luar biasa). Saya yakin kalau seandainya saja pendukung HRS itu memiliki senjata api, dengan keahlian dan pengalaman, polisi bisa diamankan tanpa penembakan, apalagi pembunuhan.
Karenanya terlepas dari apa yang sesungguhnya terjadi saat itu, dan semoga bisa dibuktikan, membunuh sipil apalagi jamaah yang akan ke ibadah shalat subuh dan acara pengajian adalah sesuatu yang terkutuk.
Mari suarakan resistensi itu dengan cara-cara konstitusional dan konstruktif, agar hal serupa jangan lagi terulang. Pembunuhan sekali lagi, siapapun pelaku dan korbannya harus ditentang dan dikutuk.
Nyawa manusia itu sakral. Biarlah Allah sang
Pencipta mati dan hidup yang mengambilnya. Dan semoga Indonesia, negeriku
tercinta, selalu aman dan damai, makmur dan berkeadilan. Amin! (tom)