Terbetik berita bahwa Maggauka di Sumbawa akan mengadakan gelanggang permainan sepakraga. Berita ini disambut gembira oleh penduduk, terutama bagi kaum muda dan gadis-gadis. Betapa tidak, gelanggang semacam itu selalu menjadi pertemuan besar-besaran antara kedua jenis manusia. Ada juga yang menamakannya pertemuan jodoh tidak resmi. Semua gadis bangsawan yang molek dileluasakan datang untuk menonton. (Foto diambil dari kebudayaan.kemdikbud.od.id)
----------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 21 Januari 2021
Datu
Museng dan Maipa Deapati (5):
Maggauka
di Sumbawa Mengadakan Gelanggang Permainan Sepakraga
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Nakhoda berhenti menyanyi, mengalihkan pandangan
dari laut ke cakrawala, kemudian ke wajah Datu Museng. Awak bahtera suruhan
kakek Adearangang, tak pula ketinggalan.
Semua mata menumpuk di satu sasaran, ke wajah pemuda
yang duduk bersila. Hening sejenak, tak ada suara yang mengusik, kecuali
deburan ombak menepis tubuh I Lologading. Suasana demikian sentimentil.
Untunglah Datu Museng cepat sadar. Dengan lemah
lembut ia bertutur. Halus dalam suara tapi tegas dalam makna.
“Saudara-saudaraku..., aku bermenung bersunyi diri
di bawah naungan langit dan bintang temaram serta dihembus angin laut nan dingin
menyejuk kalbu, bukanlah karena bersusah hati. Aku sedang berpinta kepada Yang
Maha Kuasa, agar perjalanan kita ke Jeddah, Mekah, dan Madinah lekas sampai.
Tak ada aral yang melintang, tak ada bahaya yang menghadang. Menyanyilah,
petiklah kecapi itu. Beribu terima kasihku kepada kalian atas segala usaha
menghiburku. Tak sia-sia kalian menjadi pengganti kakek,” tutur Datu Museng.
“Ya, tuanku Datu Museng. Kami ini adalah suruhan
kakek Adearangang, melaksanakan perintah dan amanatnya,” jawab sang nakhoda.
“Itulah watak manusia yang mengerti kewajiban dan
mengetahui tanggung jawab. Aku sangat besyukur bersama nakhoda dan awak bahtera
seperti kalian. Hanya pintaku padamu, biarkanlah aku bertekun bersunyi diri. Jangan
aku diusik lagi,” pintas Datu Museng.
Demikianlah sejak itu, sejak Pulau Sumbawa dibelakangi
dan Pulau Lombok dan Bali tepat di haluan bahtera, Datu Museng tetap tinggal di
geladak di waktu malam untuk bersemedi. Ia baru turun ke ruang bawah untuk
beristirahat di kala fajar akan menyingsing, hingga petang berebut senja. Makan
dan minumnya tak pernah banyak dalam usaha mendekatkan diri sedekat-dekatnya
kepada Sang Maha Pencipta..
Dan dengan demikian, I Lologading terus meluncur
bagaikan burung garuda yang menyambar. Memutih buih di haluan, membelah ombak
menggulung, laksana tiada yang kuasa menahan lajunya. Empat puluh hari empat
puluh malam, maka sampailah bahtera itu di pelabuhan Jeddah.
Datu Museng gembira tak terkira. Ia turun ke darat
mendapatkan syahbandar. Diri diperkenalkan, maksud hati diceritakan, cita-cita
disampaikan. Syahbandar nan arif tak berkeberatan. Datu Museng boleh
mengunjungi Tanah Suci Mekah dan Madinah untuk berguru menuntut ilmu.
Setelah cukup lama menuntut ilmu seperti yang
dipesankan kakeknya, yaitu sesudah “kembang merah Madinah” dapat dipetiknya,
Datu Museng kembali ke negerinya. Jiwanya yang lemah, kini kuat laksana baja. Raganya
yang kekar telah berisi ilmu yang tak ternilai bagi manusia biasa. Pendek kata,
ia kini adalah sosok manusia yang kebal lahir batin.
Beberapa hari setelah tiba dari Tanah Suci, terbetik
berita bahwa Maggauka di Sumbawa akan mengadakan gelanggang permainan sepakraga.
Berita ini disambut gembira oleh penduduk, terutama bagi kaum muda dan gadis-gadis.
Betapa tidak, gelanggang semacam itu selalu menjadi pertemuan
besar-besaran antara kedua jenis manusia. Ada juga yang menamakannya pertemuan
jodoh tidak resmi. Semua gadis bangsawan yang molek dileluasakan datang untuk
menonton.
Tidak heran jika para pemuda dan anak bangsawan
sekeliling Pulau Sumbawa, berduyun-duyun ke tempat gelanggang. Sebagian hanya
menonton sepakraga, sambil memandang sepuas-puasanya dara-dara rupawan di atas
jendela istana. Tapi, sebagian besar datang untuk ambil bagian dalam gelanggang
sepakraga. Siapa tahu, mereka akan mendapat simpati dari salah seorang gadis
molek di jendela.
Dewasa itu, permainan sepakraga (bola terbuat dari
rotan) merupakan permainan yang harus diketahui oleh setiap pemuda. Baik ia
orang biasa, terlebih lagi keurunan bangsawan.
Seorang remaja, betapa pun sempurna hidupnya, baru
akan merasa bahagia jika dapat bersepakraga, apalagi jika termasuk ahli. Ini karena
telah menjadi tradisi dalam setiap puncak keramaian selalu diadakan gelanggang
permainan raga, dimana gadis-gadis terpingit berkesempatan bebas menonton dan
melontar ke pemuda penuju hatinya. Tak ayal, gelanggang semacam ini menjadi
tempat pemuda bersaing keras.
Ketua gelanggang raga yang diadakan Maggauka kali
ini, ialah I Mangngalasa, putra mahkota Sultan Lombok dan tunangan masa kecil putri Maipa Deapati. Ia datang ke Sumbawa, khusus menghadiri gelanggang
itu, karena terkenal pula ahli bersepak-raga.
Ia yang diberi tugas oleh bakal mertuanya untuk
memilih pemuda dan kawan sejawatnya bermain raga dalam pekarangan istana.
Hari yang dinantikan pun tiba. Kakek Adearangang
mengajak cucunya, “Datu, mari ke gelanggang raga yang kabarnya dipimpin I
Mangngalasa. Berpakaianlah cucuku. Kita ke sana menyaksikan keahlian anak-anak
muda Sumbawa ini, istimewa Pangeran Mangngalasa yang kabarnya pemain raga
terahli di daratan Lombok. Akan kulihat nanti, apakah ia dapat menyaingin
keahlianmu dalam bersepak-raga dan merebut hati setiap dara yang menyaksikan gelanggang.”
Mendengar ajakan kakeknya, Datu Museng tersenyum. Ia
memang sangat ingin menyaksikan keramaian itu. Keinginannya seperti tak tertahan
lagi. Rasanya ia ingin secepatnya tiba di tempat keramaian itu. Ia yakin,
inilah kesempatan yang tak boleh diabaikan jika hendak berjumpa dengan jantung
hatinya, meski hanya mata dengan mata belaka.
Rindunya yang lama tak terobati, kian hari kian parah,
membuat Datu Museng serasa ingin terbang ke tempat itu. Bukankah jika menginjak
pekarangan istana, ia sudah dekat dengan kekasihnya yang hampir-hampir
membuatnya gila. Dan pasti Maipa Deapati turut menonton permainan itu, pikir Datu
Museng.
Hati Datu Museng memekar memikirkan hal ini. Ia segera
berpakaian agar lekas berangkat, dan cepat pula tiba di pekarangan istana.
Seusai berpakaian, ia mendekati kakeknya, “Kek, bila
aku masuk gelanggang dan anak-anak muda melontarkan raga padaku, aku pura-pura
menyepaknya salah sampai dua tiga kali. Andaikata mereka menyoraki dan
menertawakan karena ketololan yang kusengaja itu, kuharap kakek jangan peduli. Jangan
membuat kakek marah, supaya segala rencanaku berjalan baik.”
“Baiklah cucuku,” janji kakeknya.
Keduanya pun berangkat. Orang tua itu menyandang pedang lidah buaya. Pedang itulah yang membuatnya tersohor dan sangat disegani kawan dan lawan sejak mudanya. (bersambung)
--------
Kisah sebelumnya:
Datu Museng dan Maipa Deapati (4): Lekas Pulang Menjemput Dindamu Tambatan Hati
Datu Museng dan Maipa Deapati (3): Akan Kurombak dan Kuhancurkan Segala Adat Istiadat
Datu Museng dan Maipa Deapati (2): Maipa Deapati adalah Maipa-ku
Datu Museng dan Maipa Deapati (1): Cincinmu Telah Kucincin Menjadi Penghias Jari Manisku