-------
PEDOMAN KARYA
Senin, 04 Januari 2021
Maman
A Majid Binfas dan Karya Multi Berkarakter Pendidikan Mencerahkan
Oleh: Ernawati
(Ketua Prodi PEP SPs Uhamka, Jakarta)
Secara bebas dapat dibahasakan bahwa bedah buku adalah pembicaraan mengenai buku dengan melibatkan beberapa orang atau forum untuk berdiskusi. Ada tokoh atau bahkan pengarangnya sendiri ikut terlibat.
Biasanya, dilakukan dengan membedah, mengomentari,
atau mengkritisi buku tersebut dari aspek tampilan maupun konten materi yang disampaikan oleh penulis di dalam karyanya.
Berdasarkan konteks pengertian tersebut, Prodi
Penelitian dan Evaluasi Pendidikan (PEP) Sekolah Pascasarjana Uhamka
(Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta, red) berkerjasama Uhamka Press
melaksanakan Seninar Internasional dan Bedah Buku Mamonisme Karya Maman A.
Majid Binfas (Dosen Sekolah Pascasarjana).
Seminar ini bertema “Kreativitas Berkarya
Multidisipliner dan Berkarakter Pendidikan yang Berkemajuan”. Tema ini
tetap berikon pada buku Mamonisme sebagai bahasanya, dengan menampilkan
beberapa pakar di bidangnya masing-masing, yakni Prof Abdul Rahman A Ghani (Uhamka),
Prof Mohd Syukri Yeoh Abdullah (Universitas Kebangsaan Malaysia).
Ms Geoff Fox (Budayawan dari Australia), Dr
Andi Sukri Syamsoerie (Unismuuh Makassar), Dr Mohamad Zaelani (Jurnalis, Dosen),
Dr Mustafa Ahmad (Malaysia), Erwin Akib PhD (Unismuh Makassar).
Dr Haidir Fitra Siagian (UIN Alauddin), Dr H
Ernawati (PEP Uhamka), Drs Syafrizal PhD (UMSU), Dr Abu Bakar (UM Kendari),
Arham Selo PhD (UIN Alauddin, penulis artikel sekaligus menjadi
moderator).
Kegiatan ini dilaksanakan pada 09 Januari 2021,
dengan peserta dari berbagai profesi. Seminar internasional dan bedah buku ini
diharapkan dapat menjadi syiar yang menggembirakan dan mencerahkan bagi
upaya membumikan nilai pendidikan berkarakter multidisipliner di dalam melaju
ke taraf global. Dan menjadikan nilai Pendidikan sebagai implementasi
bagi kemaslahatan umat dan bangsa.
Hal ini selaras dengan uraian Dr Haidir Fitrah
Siagian (2021) yang bejudul “Implementasi Aktor Komunikasi Politik dalam
Membentuk Opini Publik dalam Masyarakat yang Berkarakter Insan Demi
Kemaslahatan Agama, Bangsa, dan Negara.”
Dinyatakan dengan cerdas, padat, dan tajam, bahwa; “Tulisan
yang patut dibaca, dapat mengabadikan nama seseorang. Membuat orang lain
mengingat atau mengenangnya. Ulama besar Buya Hamka, Harun Nasution, Nurcholis
Madjid, Lafran Pane, misalnya, hingga saat ini masih dikenal oleh umat Islam.
Selain karena mereka itu adalah ulama yang berceramah di seluruh pelosok
negeri, meeka juga memiliki banyak tulisan yang sudah dibukukan. Melalui
karya-karyanya itu, mereka akan tetap dikenang dan orang lain akan merasakan
manfaatnya.”
Dengan menulis sesuatu informasi, aspirasi, ataupun
ilmu pengetahuan, bermakna bahwa kita telah berkomunikasi dengan orang lain di
berbagai tempat dan berkomunikasi dengan umat manusia di masa yang akan datang.
Selain itu, menulis juga akan menunjukkan komitmen
seorang individu terhadap persoalan yang terjadi di dalam masyarakat. Baik
dalam bidang sosial kemasyarakatan, maupun dalam bidang ekonomi, pendidikan dan
kehidupan politik kenegaraan.
Dalam konteks ini, buku yang ditulis oleh Saudara
Maman A. Majid “Mamonisme: Doridungga Hingga BJ. Habibie Dalam Diksi Bermada
Cinta”, banyak memberikan informasi penting dan kritikan yang mendalam terhadap
persoalan politik.
Sesuatu yang saat ini dapat dikatakan sebagai bagian
penting dari partisipasi politik seorang warga negara yang baik dalam alam
negara yang demokratis.
Kemudian, Dr Syafrizal (2021) pakar dari UMSU juga mempertajam sorotannya, tentang kehadiran sebuah karya buku: pada bagian paling akhir buku ini (Mamonisme, Doridungga Hingga B.j. Habibie, Dalam Diksi Bermada Cinta, oleh Maman A. Majid Binfas), ternyata penulis berupaya merangkai dan menjadikan butiran-butiran jejak diksi kehidupan hingga berwujud goresan cinta sejati dalam pengabdiannya sebagai hamba Allah.
Namun, wujud diksi bersuratan, dibaca tidak semata
dinilai dengan kaca mata formalitas semata. Berdasarkan kalkulasi standarisasi kehidupan
yang materialistis dan hanya dalam dimensi “kaca mata kuda” yang berorientasi
pada kadar karakter hedonism atau bergaya mamonisme dunia indrawi saja, dan
sungguh fatamorgana.
Sikap berkelewatan bila sebagai pembaca tidak
memberikan tahniah atau kutukan terhadap karya ini. (1) Ucapakan tahniah yang
setajam tulus atas karya keramat ini, aplaus yang setinggi-tingginya, meskipun
buku ini dapat dikatakan sebagai reduksi terhadap kejadian masa lampau yang
dideskripsi ulang, penuh sesak tampilan pokeb-pokeb yang merangsang pembaca
untuk menyelami apa sebenar yang ditawarkan penulis.
(2) Pembaca memiliki keyakinan sejasad buku ini
ingin menyajikan pesan nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, dan moralitas yang
telah dipraktekkan dalam bentuk tabiat pribadi dari seseorang penghamba, ahli
ibadah (seperti BJ. Habibie), maupun puak-puak bertaqwa Doridungga, meskipun
kehadiran figur Bj. Habibie dalam buku ini diyakini masih memerlukan penjelasan
lebih digit tentang mengapa beliau bisa melampaui ekspektasi figur para
alimun-alimun lainnya di kawasan yang sama.
(3) Karya ini penuh sesak dengan nilai-nilai, adalah
formulasi yang mungkin sudah terlupakan oleh bangsa ini. Pengajaran ke
nilai-nilai azas sebagai hasil tabiat pendahulu adalah pendidikan sebenarnya.
Namun, dalam waktu yang sama liberalisasi datang tanpa diundang “bak
Jailangkung datang tidak diundang, pulang tidak diantar.”
Liberalisasi tampaknya tersambut baik dan telah ikut
memporak-porandakan bangunan identitas kita. Liberalisasi berkelakuan libasisasi,
kita terhenyak, ucapan kita salah pilih rupanya, kita sudah kehilangan yang kita
punyai, generation loss, masa anak-anak ngak kenal budaya dewey, ayo kembali pulang,
duh duh duh, kadang saling menyalahkan orde, rezim, namun tidak berbekas.
(4) Tulisan berjudul “Jailangkung Pendidikan Kita”
Antara Liberalisasi Dan Libasisasi, Menakar Kemampuan Untuk Bersiap Dibasis
Nilai, sesungguhnya melintasi jalan yang hampir sama dengan buku Mamonisme,
Doridungga Hingga B.j. Habibie.
Dalam Diksi Bermada Cinta, di antaranya: keyakinan
bahwa pendidikan berkarakter akan amat penting di dalam re-konsolidasi, re-definisi,
reaktualisasi cita pendidikan Indonesia. Pendidikan berkarakter dengan basis
nilai budi, daya, rasa, karsa yang telah lulus seleksi alam, dalam istilah
antropologi sosiologi disebut kearifan lokal.
Hal ini juga yang akan ditawarkan oleh Geoff Fox (2021)
untuk disajikan pada seminar Internasional dan bedah buku Mamonisme, di
antaranya ia lebih khusus mengkajinya pada persoalan puisi yang ada di dalam
sub bagian buku tersebut.
Beliau menemukan bahwa; “I feel a great
affinity for the capacity of Indonesian poet Maman Majid Binfas to bring
together different ideas and make them work. In Indonesian language the concept
of Kemerdekaan as freedom in the political context and Kebebasan as freedom in
the personal context are two very different ideas. In his poem “Kebebasan”
Maman unifies the two different ideas. The above art work is a transcreation of
the first lines of the poem where he uses God as the link."
Praise the Lord for the gift of freedom...
dalam penerjemahan bebas lebih kurang artinya, yakni: Saya merasakan
ketertarikan yang besar dengan kemampuan penyair Indonesia Maman Majid Binfas
untuk menyatukan berbagai ide dan membuatnya berhasil. Dalam Bahasa Indonesia,
konsep kemerdekaan sebagai kebebasan dalam konteks politik dan kebebasan sebagai
kebebasan dalam konteks personal adalah dua pemikiran yang sangat berbeda.
Dalam puisinya, “Kebebasan”, Maman menyatukan dua gagasan yang berbeda. Karya
seni di atas adalah transkreasi dari baris pertama puisi di mana ia menggunakan
Tuhan sebagai penghubung. Puji Tuhan atas anugerah kebebasan.”
Berkaitan konteks nilai kebebasan mendasar dari
sebuah ekspresi berkarya, tentu boleh dibaca dengan multidispliner sebagaimana
disajikan dalam buku Mamonisme menjadi dimensi bertautan keilmuan. Sebagaimana
dikutip okeh Sahrul Al Walid (2020) dalam tautan Facebook-nya.
Dimensi ini, boleh jadi menjadi sebuah harapan
berdiksi semoga dalam menulis buku, kiranya beresensi kepada ketulusan membagi
ilmu yang mencerahkan, baik bersifat lokal maupun secara global.
Tentu hasil karya dapat dipertanggungjawabkan secara
akademis tanpa plagiarisme. Hal ini penting disampaikan karena banyak yang
menulis sebuah karya terlalu berani mencuri hasil karya orang lain, demi kredit
poin duniawi semata. Padahal esensi kehadiran sebuah karya, seharusnya mencerahkan
dan jujur apa adanya.
Berprinsip pada dimensi yang berguna mencerahkan,
baik untuk diri dan keluarganya, maupun umat dan bangsanya. Terutama, menjadi
progres pencerahan nilai bermakna syiar keilmuan, termasuk di dalam memotivasi
generasi kini dan masa akan datang.
Di samping, esensi kehadiran sebuah karya berdimensi
sebagai garda terdepan menjadi aset intelektual yang sangat tinggi nilainya
dalam dunia pendidikan. Hal ini, sebagai prinsip utamanya, sebagaimana pada
opini yang ditulis oleh penulis pada Pedoman Karya (2020).
Di mana, esensi menjadi prinsipnya di dalam
menerbitkan karya buku menjadi tapak jejak keilmuan, dan juga merupakan media
promosi yang sangat berkesan dan bertahan guna mencerahkan secara nyata.
Di samping, buku menjadi mata media aset iqra
(membaca) sebagai sumber acuan keilmuan yang mencerahkan dalam memajukan insan
manusia tanpa pudar dan lekang oleh erosi kemajuan zaman.
Bahkan, buku mampu bertahan tanpa iritasi yang
berrotasi karena arus revolusi atau pun evolusi_yang menghambatnya.
Oleh karena itu, dalam kreatif menulis adalah upaya
untuk mendokumentasikan, merekam jejak sejarah dan mewartakan ide dan
hasil-hasil penelitian guna mendukung eksistensi dan perkembangan keilmuan
sebagai salah satu pilar peradaban berkesan yang menjadi aset intelektual untuk
melintasi zaman, di antaranya adalah dengan menerbitkan buku yang berstandar
memadai dan dapat dipertanggung-jawabkan secara akademis.
Dan paling utama perubahan mindset secara kolektif
bahwa karya buku menjadi aset syiar keilmuan yang tiada lekang oleh waktu yang
sungguh berkesan.
Kesan ini, dikaji oleh Prof Ade Hikmat (2018) bahwa
karya Maman A Majid Binfas tidak memiliki pola yang khas. Di sisi lain, Maman
menyampaikan tulisan-tulisannya, terutama pada karya puisi dengan cara yang
berbeda, jika ditinjau dari diksinya.
Ia menyampaikan diksi konotatif jika berkaitan
dengan perenungan hidup, sebaliknya diksinya akan disampaikan dalam bentuk
denotatif ketika menyampaikan tanggapan atau responsnya terhadap persoalan yang
sedang menjadi isu nasional.
Selain berkaitan dengan masalah konotatif dan
denotatif, kekayaan ragam bahasa yang dimilikinya dengan penyimpangan dialek
yang dilakukan dalam kumpulan puisinya ini, yaitu dialek Makassar, Melayu, dan
Jakarta, tidak sepenuhnya dimanfaatkan untuk mengatur pola rima dan irama di
dalam buku puisi ini. Namun demikian, dengan penggunaan dialek tersebut, hal
ini membuat puisi Maman memiliki cita rasa tersendiri.
Religiusitas buku kumpulan puisi Aku dan Engkau,
Siapa? karya Maman A Majid Binfas terdiri dari religious belief, religious
practise, religious feeling, religious knowledge, dan religious effect.
Ekspresi religiusitas Maman merupakan ekspresi
mendasar dalam puisi-puisinya, artinya meski tema yang dibahas adalah masalah
politik, sebetulnya pandangannya adalah pandangan religiusitas.
Demikian kesimpulan pembahasan yang dapat kami
sampaikan, mudah-mudahan dapat bermanfaat, khususnya bagi pembahas dan umumnya
bagi para peminat dan penikmat karya sastra dan keilmuan yang multidisipliner.
Mantap semoga sukses doktor Maman A Majid Binfas
BalasHapussebuah karya yang fenomenal dan monumental, sukses selalu Pak Maman dengan tim
BalasHapus