----------
PEDOMAN KARYA
Senin, 01 Februari 2021
Menyoal
Konferensi PWI Sulsel: Kerusakan Telah Terjadi
Oleh:
M Dahlan Abubakar
(Tokoh Pers Sulsel versi Dewan Pers)
“Damage has been done”. (kerusakan telah terjadi).
Itulah salah satu kalimat tulisan Bung Ilham Bintang yang dimuat, Ahad, 31
Januari 2021, pada “Opini Pelita”, menyongsong Hari Pers Nasional dan Menyoal
Konferensi PWI Sulsel.
Saya tidak menyinggung lirik lagu Iwan Fals yang
juga dikutip Bang Ilham Bintang, tetapi lebih tertarik dengan menganalisis
kalimat dalam bahasa Inggris yang mengawali tulisan ini dan kaitannya dengan
judul lagu “Bongkar.”
Pilihan kalimat yang rasa-rasanya sangat tepat untuk
memotret kondisi PWI Sulawesi Selatan, baik sebelum maupun pasca-konferensi
yang berakhir dengan “selamat” dan secara aklamasi memilih kembali petahana
Agus Salim Alwi Hamu menakhodai PWI Sulawesi Selatan lima tahun ke depan.
Selain berkaitan dengan kalimat dalam bahasa Inggris
dan “Bongkar” tersebut, Bang Ilham Bintang mengakui bahwa “selama memimpin
Dewan Kehormatan (DK) PWI Pusat, PWI Sulsel memang paling sering bergejolak.
Jejak digital PWI Sulsel paling sering memecat anggotanya, bahkan anggota
pengurusnya sendiri. Pernah ada 27 anggota diusulkan dipecat, tetapi saya tolak
karena syaratnya tidak terpenuhi. Yang paling parah, ada anggotanya yang
diadukan ke polisi dan sempat beberapa bulan di penjara.”
“PWI Sulsel merupakan Cabang PWI penting.
Reputasinya di masa lalu membanggakan anak cucu. Memberi kontribusi besar bagi
perkembangan demokrasi di Sulsel. Penghargaan masyarakat kepada wartawan setara
penghormatan kepada perahu Phinisi dan klub sepakbola PSM,” tulis Bang Ilham .
Yang tidak kalah menarik pula disimak adalah era
digitalisasi yang juga mengarus pada organisasi PWI. Media digital, membuat
semua yang tersembunyi akan terungkap. Tidak ada lagi yang dapat disembunyikan.
Dan itu, publik akan tahu tanpa harus meninggalkan tempat tidurnya sekali pun.
Kerusakan
Itu
“Damage has been done”, kerusakan telah terjadi.
Kalimat itu merujuk pada sejumlah pelanggaran yang terjadi sebelum dan pada
saat Konferensi Provinsi PWI Sulsel.
Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat, Zulkifli Gani
Ottoh, mengakui secara jujur pelanggaran demi pelanggaran tersebut. Dia
menyebut setidak-tidaknya 4-5 pelanggaran organisasi terjadi di tubuh PWI
Sulawesi Selatan.
Ketika memberi sambutan pada pembukaan Konferprov
PWI Sulsel, Jumat (29/1/2021) secara virtual melalui zoom, mantan Ketua PWI
Sulsel dua periode itu mengatakan, hanya PWI Kabupaten Wajo yang tidak termasuk
dalam kategori pelanggaran yang dimaksudkan itu.
Pelanggaran tersebut antara lain, ada pengurus yang
tidak memiliki kartu anggota, ada pegawai negeri sipil (PNS), dan malah ada
mantan narapidana (napi). Soal PNS ini
sebenarnya tidak diatur dalam Peraturan Dasar (PD) dan Peraturan Rumah Tangga
(PRT), kecuali mantan napi yang diatur dalam pasal 7 (2e) Peraturan Dasar PWI
yang berbunyi: Syarat-syarat menjadi anggota biasa adalah: Tidak pernah dihukum
oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang bertentangan dengan martabat dan profesi kewartawanan.”
Banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh PWI Sulsel
tersebut merupakan kegagalan dari Bidang Organisasi PWI Pusat dalam mengedukasi
PWI Sulsel agar taat asas.
Banyaknya pelanggaran yang terjadi tersebut sudah terjebak pada terjadinya
proses pembiaran terhadap organisasi agar melanggar PD dan PRT-nya secara
masif.
Pelanggaran tersebut juga mencerminkan tidak
seriusnya sejumlah oknum pengurus melaksanakan tugas organisasi.
Praktik-praktik berorganisasi sama sekali tidak merujuk pada kewenangan masing-masing,
yakni antara kewenangan PWI Pusat dan PWI Provinsi.
Akibatnya, terjadi kekacauan organisasi yang
menjurus kepada muncul “damage” tersebut. Saling pecat di internal di tubuh PWI
Sulsel menggambarkan terjadinya saling sikut dan saling sikat di tubuh
organisasi profesi wartawan tertua ini,
“Jangan lakukan pelanggaran, Main cantik saja sudah
bagus,” kata Zulkifli ketika memberi sambutannya.
Saya kira, harapan positif, tetapi ini sudah
ketinggalan dan sama sekali tidak mencerminkan sikap dan sifat preventif yang
harus dilakukan oleh seorang organisator.
Sejatinya, ketika terjadi pelanggaran pertama, sudah
harus ada upaya untuk menghentikannya. Setidak-tidaknya harus segera
dikembalikan agar organisasi itu berjalan “on the track”. Tetapi ini terjadi
sampai 4-5 kali. Apa kata dunia? (1)
Terus terang, terjadinya segregasi keanggotaan di
PWI Sulsel bermula ketika Zulkifli Gani Ottoh memasuki periode kedua
(2010-2015) sebagai ketua.
Mereka yang berada di kubu yang berseberangan dengan
dirinya menjadi orang yang “tidak disukai” di PWI.
Ketika dalam sambutan pembukaan Konferprov PWI
Sulsel, Jumat silam itu, Zugito mengatakan, “Yang sudah (berlalu, red),
sudahlah. Rangkul semua teman. Beri kesempatan anggota wartawan muda agar bisa
bersatu.”
Saya salut karena setelah membuat PWI Sulsel ini
terjebak dalam fragmentasi keanggotaan yang “like and dislike” dan “berantakan”
seperti ini, Zugito akhirnya sadar. Sayangnya, ungkapan ini terjadi justru
setelah “damage has been done”. Dan, rasanya akan terus berlangsung hingga usai
kepemimpinan rezim ini.
Bung Ilham Bintang mencontohkan, datang pula
pengaduan dari Soppeng. Ketua PWI Kabupaten Soppeng Rachmat memberitahukan, dia
digeser (diksi bahasa digital: “diremoved”) sebagai Ketua PWI Soppeng oleh
Ketua PWI Provinsi Sulsel. Padahal Rachmat dipilih dalam suatu pemilihan yang
berlansung demokratis di Soppeng pada tahun 2017.
Pengangkatan Rahmat sebagai Ketua PWI Soppeng
disahkan oleh SK Pengurus PWI Pusat. Bagaimana bisa sebuah SK PWI Pusat
diabaikan dan dikalahkan begitu saja oleh keputusan PWI Sulsel? Apa kata dunia?
(2).
PWI Sulsel mengganti Rachmat dengan ketua baru, Agus
Wittiri, tanpa menerima SK pemberhentian.
Yang menggantikannya dikenal sebagai pengurus PAN
(Partai Amanat Nasional, red) Soppeng. Belakangan setelah diprotes, PWI Sulsel
meralat keputusannya itu. Tanpa memberhentikan Agus Wiitri, SK PWI Sulsel
kemudian mengangkat seorang pengurus PWI di Sulsel menjadi koordinator di
Soppeng.
“Sekarang, di PWI Soppeng ada tiga ketuanya Pak,“
sindir Rachmat. Apa kata dunia? (3)
Begitulah karut-marut organisasi di PWI Sulsel saat
ini. Pada saat acara pembukaan Konferprov Jumat itu, kok tidak ada protokol
acara (MC). Yang jadi protokol atau MC justru moderator yang memandu acara.
Sambutan atau laporan Ketua PWI Sulsel juga tidak ada. Setidak-tidaknya dia
harus bersuara untuk menyapa peserta Konferprov sebagai penanggung jawab
pemilik hajat lima tahunan itu. Sambutan malah tunggal saja dibawakan oleh
Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat, Zulkifli Gani Ottoh (Zugito).
Lalu pada hari ketiga Konferprov, 31 Januari 2021,
yang saya tidak hadiri karena tidak ingin menjadi bagian dari “damage” ini.
Saya kembali mengikuti secara zoom saja untuk mengetahui seberapa konyolnya
dagelan demokrasi ini akan diputar lagi.
Inilah pertama kali selama 38 tahun menjadi anggota
PWI, saya absen menghadiri yang namanya Konfercab / Konferprov. Saya hanya
takut menjadi bagian dari sejarah kerusakan ini sendiri yang kelak boleh saja
saya yang tulis sendiri.
Begitu Agus Salim Alwi Hamu terpilih secara aklamasi
karena calon lain, Nurhayana Kamar, memilih meninggalkan arena Konferprov,
pimpinan sidang ditangani Ketua SC Faisal Syam.
Saya tidak tahu apakah SC harus memimpin sidang dan
tidak ada lagi orang lain yang mampu melakukan pekerjaan ini? Saya tidak tahu,
tetapi daripada repot-repot, rambu-rambu dan kelaziman berorganisasi dan
bersidang sah-sah saja diabaikan dan dilanggar. Padahal, SC itu tidak terlibat
lagi dalam memimpin sidang pasca-pemilihan, sebab setelah SC menyampaikan tata
tertib Konferprov, urusannya sudah selesai.
Dari awal harus dipilih oleh peserta Konferprov.
Namun harap dimaklumi, peserta Konferprov yang sudah tidak lagi heterogen,
semuanya bisa berjalan dianggap normal-normal saja.
Ketua PWI Pusat Atal S Depari tampil memberi
sambutan. Intinya, Atal bisa tidur nyenyak karena proses berdemokrasi berjalan
lancar. Saya tidak tahu parameter yang digunakan. Apakah ketika ada yang “walk
out” karena menganggap Konferprov tidak taat asas itu juga termasuk indikator
berdemokrasi yang baik.
Apakah pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan
PWI Sulsel seperti diungkapkan Zugito itu merupakan bagian demokrasi yang baik.
Jika ya, demokrasi memang bagaikan dua sisi mata uang. Tergantung siapa yang
menunggangi demokrasi dan siapa yang ditunggangi.
Giliran berikutnya, Ketua PWI Sulsel terpilih. Saya
sudah siap merekam apa yang akan disampaikan petahana ini. Alih-alih memberikan
sambutan, Agus justru mengundang Zugito untuk tampil ke depan di tengah dia
kebingungan mencari kata dan kalimat yang hendak diungkapkan merayakan
kemenangan tanpa tanding itu.
Ya, begitulah potret suasana Konferprov PWI Sulsel
yang saya ikuti melalui pemanfaatan teknologi, yang tentu saja tidak dapat
dimanipulasi terhadap apa yang terjadi sesuai yang kasatmata. Tentu saja yang
tidak kasatmata adalah itu tadi, bagaimana digitalisasi dipolitisasi.
Setiap periode suksesi pemilihan Ketua PWI Sulsel
memiliki dan mewariskan trik tersendiri untuk melanggengkan kekuasaan.
Saya mengikuti dengan cermat tiga kali pemilihan
(termasuk yang sekarang meskipun melalui zoom). Yang paling parah justru yang
terakhir. Pasalnya, pemilihan ini – sebagaimana diakui Zugito terjadinya 4-5
kali pelanggaran -- berlumuran dengan cacat dan luka organisasi yang
menganga. Alamaak... (*)