Bagi seorang wartawan, bahasa adalah senjata dan
kata merupakan pelurunya. Anda bisa bayangkan, jika salah menggunakan senjata
dan peluru, bisa “membunuh” seseorang, atau paling tidak mencederainya. (M Dahlan Abubakar)
--------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 02 Februari 2021
Bagi
Wartawan, Bahasa Itu Senjata, Kata adalah Peluru
Oleh:
M Dahlan Abubakar
(Wartawan Senior / Tokoh Pers Nasional)
Sebuah media daring di Makassar memuat berita yang
sedikit “menghebohkan”. Judulnya, “Andi Pasamangi Wawo: Konferprov PWI Sulsel
Selesai, Ocehan Dahlan yang Benar Terima, yang Salah Abaikan.”
Berita itu dimuat oleh “menitindonesia,.com” dan ditulis oleh Andi Ade Zakaria. Saya
membaca tulisan itu dari awal hingga akhir. Saya tidak menemukan ada kata
“Ocehan” di dalam tubuh berita tersebut.
Saya bertanya dalam hati, diksi yang bermakna
“perkataan yang bukan-bukan” itu lantas ucapan siapa?
Sebagai seorang wartawan dan pengajar jurnalistik,
dan menulis disertasi mengenai bahasa jurnalistik dari catatan wacana kritis,
tidak terlalu sulit menerka siapa “tersangka” yang menjadi “penyelundup” yang
menyusupkan kata tersebut pada judul berita..
Memilih judul berita yang “seksi” memang sebuah
keniscayaan dalam membuat berita. Mendiang LE Manuhua, Pemimpin Redaksi Harian
“Pedoman Rakyat”, Dewan Penasihat PWI Pusat, dan penerima Bintang Mahaputra
Utama Republik Indonesia mengatakan, membuat judul yang menarik itu jauh lebih
sulit dibandingkan menulis batang tubuh dan isi berita itu sendiri.
Mengapa demikian? Ini disebabkan judul berita
merupakan iklan dari berita tersebut. Jika berita bagus, judulnya tidak
menarik, “kasihan” isi beritanya. Jika judul bagus, tetapi isinya
“kaleng-kaleng” (pinjam istilah ustaz Dasaad Latif), itu hanya menimbulkan
kejengkelan pembaca karena mereka merasa tertipu oleh judul. Tidak heran sumpah
serapah muncul dari mulut mereka jika menemukan berita seperti ini.
Aturan sebuah judul berita harus ada dalam teras
berita atau di dalam tubuh berita. Lalu bagaimana dengan berita yang anakda
saya, Andi Ade Zakaria, tulis?
Nah, itu termasuk opini sang penulis sendiri, karena
narasumber (Pak Andi Pasamangi Wawo) tidak ditemukan dalam keterangannya
menyebut diksi “ocehan” tersebut. Dan, juga seperti pengakuannya kepada saya.
Pedoman
Etis
Setelah membaca berita tersebut dan menyimak serta
mencari diksi “ocehan” yang termuat di judul berita, saya pun berniat menelepon
Pak Andi Pasamangi Wawo.
Niat saya ini terhenti karena tiba-tiba saja anak
saya Hery menjemput untuk hadir bersama keluarga dalam suatu acara silaturahim
sambil makan malam di salah satu rumah makan di Jl. Haji Bau.
Sekembali dari rumah makan sekitar pukul 21.30,
gawai saya berdering. Ternyata teman-teman wartawan mengontak saya. Mereka
bertanya bagaimana situasi dan paling menarik juga menyoal berita yang berkaitan
dengan “ocehan” saya itu.
Saya menjelaskan kepada mereka bahwa sebagai
penulis, saya besar dari ‘mumpuni’ menulis berkaitan dengan polemik. Tetapi
saya katakan, saya tidak ingin berpolemik berkaitan “ocehan” saya. Kepada teman-teman di Grup WA
“Pedoman Rakyat” kisah “ocehan” saya itu tak perlu didiskusikan dan
diperpanjang.
Di tengah kami berdiskusi, telepon dari Andi
Pasamangi Wawo berdering. Saya memberitahu teman-teman dan meminta izin
menerima telepon tersebut sambil menyebut nama peneleponnya.
Seperti yang sudah saya tebak, Andi Pasamangi Wawo
langsung mengklarifikasi diksi “ocehan” yang saya maksudkan.
“Saya tidak pernah mengeluarkan kata itu. Saya juga
masih punya nurani sopan santun dalam berbahasa,” katanya sebelum saya
menyinggung kalimat tersebut.
Saya pun mengatakan, saya juga meneliti kata demi
kata, kalimat per kalimat, dan alinea demi alinea, tidak menemukan kata itu di
dalam batang tubuh berita, mulai dari awal hingga akhir. Maka, benar juga
ramalan saya bahwa yang “kreatif” adalah wartawannya.
“Saya kan tidak tahu jika saya ini akan
dikonfrontasikan dengan Pak Dahlan,” kata Andi Pasamangi lagi.
Saya pun menjelaskan, memang bagi pembaca lain,
berpotensi akan menganggap seperti itu, tetapi bagi saya tidak akan pernah.
Saya juga menyampaikan bahwa bagi saya, tidak ada
masalah dengan berita tersebut. Hanya yang perlu adalah bagaimana setiap wartawan
harus pandai-pandai memilih diksi untuk membangun sebuah judul berita agar
tidak berpotensi menimbulkan delik.
Maaf untuk ananda Andi Ade Zakaria, saya tidak
bermaksud memberi Anda kuliah gratis mengenai bahasa jurnalistik. Bahasa yang
menjadi mata kuliah spesialisasi saya di Unhas dan Universitas Muslim Indonesia
(UMI) puluhan tahun dan juga karena meneliti penggunaan ragam bahasa ini, saya
meraih gelar akademik tertinggi di almamater saya.
Bagi seorang wartawan, bahasa adalah senjata dan
kata merupakan pelurunya. Anda bisa bayangkan, jika salah menggunakan senjata
dan peluru, bisa “membunuh” seseorang, atau paling tidak mencederainya.
Bahasa jurnalistik merupakan pedoman etis bagi
seorang wartawan dalam penyajian dan penulisan semua jenis dan bentuk karya
jurnalistik, seperti tajuk rencana, karikatur, pojok, artikel (yang ditulis
oleh wartawan), berita langsung (straight news), dan “feature” (karangan khas).
Etika bahasa jurnalistik termasuk ke dalam etika
sosial. Etika sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap, dan perilaku sebagai
anggota masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai sopan santun, tata krama,
dan saling menghormati. Yaitu, bagaimana saling berinteraksi yang menyangkut
manusia dengan manusia, baik secara perorangan maupun bersama-sama.
Buat ananda Andi Ade Zakaria, ketika akan mengikuti
uji kompetensi wartawan, jelas akan berhadapan dengan aspek kesadaran
(awareness) yang menempatkan “etika dan hukum” sebagai bagian paling atas dari
piramida kompetensi. Kesadaran ini merupakan salah satu dari tiga aspek penting
yang dituntut terhadap seorang wartawan,
di samping aspek pengetahuan dan keterampilan.
Kesadaran akan etika dan hukum sangat penting dalam
profesi kewartawanan, sehingga setiap derap langkah wartawan, termasuk dalam
mengambil keputusan untuk menulis (juga dalam memilih diksi yang tepat) atau
menyiarkan masalah atau peristiwa, akan selalu dilandasi pertimbangan yang
matang. Kesadaran etika juga akan memudahkan wartawan dalam mengetahui dan
menghindari terjadinya kesalahan-kesalahan.
Dampak terhadap seorang wartawan yang melalaikan
etika dan hukum ini bisa mengganggu kenyamanan dalam melaksanakan profesi.
Misalnya saja, terhadap penggunaan opini seperti pada penulisan judul berita
ananda Andi Ade Zakaria yang menambahkan kata “ocehan:” pada judul berita yang
ternyata tidak ada dalam batang tubuh berita dan tidak pernah diungkapkan oleh
narasumber.
Akibatnya, boleh saja orang yang tersentil dengan
judul berita dengan kata “ocehan” yang merupakan opini penulis berita, merasa
tidak nyaman dan menganggap berita tersebut telah membuatnya “tidak nyaman.”
Ketika munculnya rasa “tidak nyaman” dari seseorang
atas pemuatan suatu berita inilah yang kerap menggiring seorang wartawan
dilapor ke polisi dan ditimpakan dengan pasal KUH Pidana. Dan, polisi akan
menerimanya karena deliknya masuk kategori pencemaran nama baik. Apalagi sang
wartawan sendiri tidak berusaha meralat beritanya sesuai tuntutan Kode Etik
Jurnalistik Pasal 5 yang berbunyi “ Wartawan menyajikan berita secara berimbang
dan adil, mengutamakan ketepatan dari kecepatan serta tidak mencampuradukkan fakta
dan opini, dan seterusnya”.
Kemudian pasal 10 berbunyi “Wartawan dengan
kesadaran sendiri berupaya secepatnya memperbaiki, meralat, atau memberi hak
jawab setiap pemberitaan yang tidak akurat dan disertai permintaan maaf”.
Jadi, buat ananda Andi Ade Zakaria, hati-hati
memilih kata (diksi) sebab dia akan menjadi “peluru” bagi seorang wartawan
dalam profesinya. Ketika “peluru” itu menimpa seseorang, Anda dapat bayangkan
seperti apa reaksinya. Ya, macam-macam.
Orang seperti saya yang selalu menempatkan diri
sebagai “pandito” (ahli dalam ilmu) jurnalistik, tentu akan sangat paham dan
memaafkan kesalahan tersebut sebagai
bagian dari proses belajar. Tetapi Anda bisa bayangkan, kalau orang lain yang
tidak seperti saya dan merasa “tidak nyaman”, jelas akan merepotkan dan membuat
Anda sebagai wartawan tidak nyaman. Sebab, “peluru” yang Anda tembakkan sudah
mencederai. (*)
----
(Dr H Muhammad Dahlan Abubakar adalah mantan
Pemimpin Redaksi Harian Pedoman Rakyat,
mantan Sekretaris PWI Sulsel, dan pensiunan dosen Universitas Hasanuddin (Unhas)
Makassar, tapi hingga kini masih mengajar di beberapa perguruan tinggi, dan
juga masih aktif menulis)