------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 14 Februari 2021
Obrolan Daeng Tompo’ dan Daeng Nappa’:
Ketika Tubuh Elang Dililit oleh Ular
“Ada ceritaku ini Daeng Nappa’, maujaki dengarki?” tanya Daeng Tompo’ kepada Daeng Nappa’ saat ngopi sore di teras belakang rumah Daeng Nappa’.
“Ceritamaki’ padeng, karena ini juga kebetulan hujanji,” kata Daeng Nappa’.
“Suatu hari, seekor elang bertengger di puncak sebuah pohon. Tak jauh dari tempatnya bertengger, juga ada seekor ular berukuran sedang yang menunggu mangsa. Dengan cepat ular melompat dan melilit tubuh elang. Beruntung, ukurannya tidak cukup besar untuk mematuk kepala elang,” tutur Daeng Tompo’.
“Terus,” potong Daeng Nappa’.
“Tentu saja elang tidak bisa menggerakkan tubuhnya yang terlilit oleh ular, dan bahkan keduanya pun terjatuh ke tanah. Meskipun demikian, elang masih bisa berdiri dan sayapnya ternyata tidak ikut terlilit tubuh si ular,” lanjut Daeng Tompo’.
“Jadi masih bisaji terbang?” tanya Daeng Nappa’.
“Elang kemudian berpikir dengan tenang dan jernih. Kalau saya melawannya saat ini di atas tanah, saya pasti akan kalah, pikir si elang. Setelah berpikir seperti itu, ia pun segera mengepakkan sayapnya dan terbang ke angkasa. Ia terbang tinggi membawa si ular menuju langit,” kata Daeng Tompo’.
“Jadi bagaimana itu ularka?” potong Daeng Nappa’ penasaran.
“Ular yang dibawa terbang ke langit akhirnya ketakutan. Ia tidak memiliki stamina di udara. Ia tidak memiliki kekuatan dan tidak ada keseimbangan di udara. Sangat berbeda jika ia berada di tanah atau di atas pohon. Ia ternyata hanya memiliki kekuatan dan sangat mematikan bila berada di atas tanah atau di atas pohon,” kata Daeng Tompo’.
“Jadi?” tukas Daeng Nappa’.
“Sebelum dibawa terbang lebih tinggi, si ular memutuskan melepaskan lilitannya dan segera membuang dirinya di atas pohon paling tinggi yang kebetulan berada tepat di bawah tempatnya melayang dan jatuh, sehingga ia selamat dari kematian yang mengerikan apabila tubuhnya jatuh langsung ke tanah dari tempat yang tinggi,” tutur Daeng Tompo’.
“Jadi bagaimana endingnya?” tanya Daeng Nappa’.
“Tubuh si ular memang sakit dan luka, tapi itu jauh lebih baik dibanding mati mengenaskan di atas tanah. Dia bersyukur karena selamat dari kematian. Di udara, burung elang juga mengucapkan syukur karena selamat dari lilitan ular yang dapat membuat dirinya mati karena tak bisa bergerak,” kata Daeng Tompo’.
“Pintar tawwa itu burung elang-a,” kata Daeng Nappa’.
“Menurut kita’, pelajaran apa yang bisa kita ambil dari cerita ini?” tanya Daeng Tompo’.
“Ini kan cerita biasaji to? Kenapa kita’ harus ambil pelajaran?” tanya Daeng Nappa’ dengan nada protes.
“Anggapmi ular itu adalah persoalan hidup yang melilit kita, maka bawalah persoalan kita itu ke alam spiritual, bawalah ke langit dengan berdo’a. Kalau kita sudah berada di alam spiritual, maka insya Allah, Tuhan pun akan mengambil alih persoalan yang melilit kita,” tutur Daeng Tompo’.
“Oh, jadi itu maksud ta’ tadi bercerita?” tanya Daeng Nappa’.
Istri Daeng Nappa’ kemudian keluar dari dalam rumah membawa nampan berisi sepiring besar ubi goreng dan sepiring kecil sambel belimbing.
“Saya sengaja bercerita untuk menunggu ubi goreng dan sambal belimbing kesukaanku,” kata Daeng Tompo’ sambil tertawa dan keduanya tertawa-tawa, sementara istri Daeng Nappa’ hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala. (asnawin)
Selamat sore, 14 Februari 2021
-----
Keterangan:
maujaki dengarki? = Anda mau mendengarnya?
Ceritamaki’ padeng = kalau begitu berceritalah
kebetulan hujanji = kebetulan sedang hujan
masih bisaji terbang? = masih bisakah dia terbang?
cerita biasaji to? = hanya cerita biasa to?
Pintar tawwa = Pintar ternyata
Menurut kita’ = Menurut Anda
cerita biasaji to? = hanya cerita biasa kan?
Anggapmi ular itu = Anggap saja ular itu
maksud ta’ = maksud Anda