MUSIM LAYANG-LAYANG. Belasan anak dan beberapa orang dewasa tampak bermain layang-layang. Mereka bermain di persawahan. Mereka berlari-lari di pematang sawah. (Foto-foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)
--------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 02 Maret 2021
Bermain Layang-layang Bukan Soal Harga
Saat padi sedang tumbuh dan cuaca cukup bagus, anak-anak biasanya memanfaatkan mengisi waktu sekaligus menyalurkan hobi dengan bermain layang-layang.
Dan itulah yang kami saksikan di Dusun Tombolo', Desa Jenetallasa, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa, sejak pekan ketiga Februari 2021, hingga pekan pertama Maret 2021.
Belasan anak dan beberapa orang dewasa tampak bermain layang-layang. Mereka bermain di persawahan. Mereka berlari-lari di pematang sawah.
Mereka saling menyeru, mereka saling bercanda, dengan logat khas Bahasa Makassar.
Mereka saling memberi semangat bila ada yang bertarung kuat-kuatan benang gelasan dan adu strategi. Bila sudah ada layang-layang yang putus, mereka pun bersorak gembira, dan sebagian dari mereka langsung mengejar layang-layang yang putus.
Tentu ada kegembiraan atau kepuasan tersendiri bagi pemenang adu benang gelasan, dan juga bagi anak yang berhasil merebut layang-layang yang putus.
"Berapa harga layang-layang sekarang?" tanya penulis.
"Seribu (rupiah) Om," jawab mereka.
Harga layang-layang hanya Rp1.000, tapi ini bukan soal harga. Ini soal kegembiraan dan kepuasan.
Mereka sebenarnya bisa beli lima layang-layang atau lebih banyak dari itu, tapi mereka tetap mengejar dan berebutan untuk mendapatkan layang-layang yang putus, karena sekali lagi, ini bukan soal harga, melainkan soal kegembiraan dan kepuasan.
Penulis yang kebetulan berada sangat dekat dengan mereka, juga turut gembira menyaksikan kegembiraan mereka. Penulis gembira karena penulis juga pernah mengalami hal yang sama puluhan tahun silam di kampung halaman. (asnawin aminuddin)
Tombolo', 02 Maret 2021