----
PEDOMAN KARYA
Senin, 15 Maret 2021’
IMM Bernarasi Darah Biru dalam Merah Maron
Oleh: Maman A Majid Binfas
Pada milad ke-57 Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), saya mengukir kembali kenangan yang telah berlalu. Mengulas kembali narasi yang telah dibaca pada Milad ke-40, ketika diundang oleh adik-adik Dewan Pimpinan Pusat (DPP) IMM tahun 2002 dan 2004.
Jujur, narasi yang saya buat di saat masih belia, baru tamat S1, telah dibacakan dua kali pada acara Milad IMM di Menteng Raya Jakarta, tepatnya pada saat dinda Piet Haidir (2002), dan Ahmad Rofik (2004) menjadi Ketua Umum DPP IMM.
Kemudian narasi ini, juga telah diabdikan di dalam buku “Mamonisme; Doridungga Hingga BJ. Habibie Dalam Diksi Barmada Cinta” (2021).
Sebelum ditampilkan narasi dimaksud, mungkin akan dinarasikan sekelumit tipe karakter para pendiri dan aktivis yang bergabung, baik pada Persyarikatan Muhammadiyah maupun IMM sebagai Ortom-nya.
Tentu, di dalam hal ini tiada mungkin dijelaskan secara menyeluruh dan tuntas mengenai tokoh tersebut, namun sebagai prolog saja tentang Darah Biru Dalam Merah Maron, sebelum masuk pada narasi sebagaimana disinggung pada bagian pengantar, terutama pada pelopor pendiri IMM.
Djazman Al-Kindi sebagai pelopor pendiri IMM, adalah putra penghulu keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Wardan Diponingrat. Namun, beliau tidak pernah mau menunjukkan dirinya sebagai seorang bangsawan, apalagi mau dipangil Romo dan semacamnya.
Terlebih lagi, beliau menjadi anggota DPR dan Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta beberapa periode, beliau juga tidak pernah mau dicium tangan oleh mahasiswanya, juga oleh yuniornya.
Tetap elegan dan biasa-biasa saja tampil apa adanya, tiada perlu menunduk-nunduk atau dipanggil gelaran kepada beliau, seperti romo, ndoro, puang, andi, karaeng, atau juga datu, dan istilah-istilah lain. Berdasar jenis budaya statuta masing-masing, di dalam penggolongan darah biru atau juga yang lainnya.
Panggilan demikian, mungkin tidak begitu diindahkan di kalangan persyarikatan Muhammadiyah, dikarenakan esensi Islam sesungguh yang dicerminkan oleh KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah adalah berakhlak mulia.
Beliau selalu mengajarkan dan bercermin pada akhlak mulia berbudi luhur, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW. Oleh karena itu, keteladanan demikian yang dicontohkan oleh Rasulullah yang menjadi syiar dan mesti dicerahkan, baik di organisasi otonom (Ootom) maupun pada amal usahanya, hal ini sehingga tiada mengenal daulat tuanku, termasuk berlaku di sekolah-sekolah mulai TK hingga perguruan tinggi, juga amal usaha yang lainnya, tetap bermisi utama adalah memanusiakan manusia dan memang kehadirannya untuk melayani sesama serta saling menggembirakan.
Sejak didirikan Muhammadiyah juga Ortomnya, termasuk IMM, manakala dipilih untuk memangku amanah sebagai pimpinan mesti tampil apa adanya. Tiada perlu berlebihan, dan juga wajib menjauhkan sikap arogan tetapi tetap elegan, santun saling menghargai satu sama lainnya.
Walaupun, berasal dari keturunan bangsawan sekalipun, alangkah bagusnya tiada perlu terbawa atau dibawa dan ditunjukkan kepada institusi organisasi maupun amal usaha Muhammadiyah.
Bahkan Buya Ahmad Syafii Maarif (2020) mengatakan, “Bagi saya mendewa-dewakan mereka yang mengaku keturunan Nabi, raja, dan semacamnya adalah bentuk perbudakan spiritual.”
Lebih lanjut, Buya Syafii berkata; Bung Karno puluhan tahun yang lalu sudah mengeritik keras fenomena yang tidak sehat ini. Bila ada yang masih mau juga membawa statuta demikian, baik di Muhammadiyah maupun di amal usahanya, juga ortomnya, itu berarti belum memahami cita-cita luhur yang menjadi misi utama Muhammadiyah dan amal usahanya.
Di mana, misi utama Muhammadiyah, di antaranya adalah berorientasi pada gerakan amaliyah untuk selalu melayani sesama manusia, baik dididiknya maupun sejawatnya yang belum memahaminya.
Radius logika gerakannya, tetap pada akar esensi bahwa sesungguhnya manusia, itu setara di hadapan Tuhan dan hanya membedakannya yakni soal tingkat ketaqwaan pada Tuhan.
Esensi kesetaraan ini sehingga banyak orang yang bergabung, baik pada organisasi maupun amal usaha Muhammadiyah dan Ortomnya tetap merasa elegan dalam kebersamaan, duka dan bahagia pun tetap bersinar.
Bagaikan lambang Matahari Persyarikatan tetap memancari jagat raya ini, termasuk kader IMM sebagai salah satu Ortomnya di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta tanpa terkecuali melakukan misi pencerahan yang memancar kebaikan.
Terpancarnya cita-cita ini, saya juga bersaksi pada sebagian tokoh-tokoh, senior-senior dan teman-teman kader yang bergabung pada Muhammadiyah dan Ortomnya, tidak pernah membawa predikat asalnya.
Bahkan baru ditahu kemudian, itupun setelah diceritakan oleh teman-temannya, bahwa mereka dari keturunan darah biru (Raja). Banyak di antaranya, setelah bergabung di persyarikatan Muhammadiyah dan atau Ortomnya, ternyata beliau-beliau melepas panggilan khas di daerahnya.
Dulu di Sulawesi Selatan, sepengetahuan kami ada di antaranya, KH Iskandar Tompo (keturunan asli RajaTallo), sahabat kami Mukhaer Pakkanna (keturunan Raja Bantaeng), Arsuny Mustari (Gowa), dan banyak lagi, tidak mungkin dapat disebut di sini. Begitu pula pada daerah dan wilayah lain di Indonesia, tentu masih banyak lagi yang demikian pula.
Namun, mereka semua yang bergabung di Muhammadiyah dan IMM tidak pernah menunjukkan jati dirinya, dan atau menceritakan sendiri tentang susurgalurnya. Apalagi mau dipanggil gelaran sesuai dengan panggilan khas bila bertemu, seperti di Sulawesi misalnya dipanggil Puang (Bugis) atau Karaeng (Makassar).
Terlebih-lebih di tempat aktivitas pengkaderan maupun di kampus secara akademis, mereka tak akan mau dipanggil demikian, dan terkadang bila ditanya tentang hal itu, maka mereka selalu mengalihkan pembicaraannya dan lebih memilih menghindar dari si penanya.
Jati diri yang masih senang dipanggil dengan settingan darah biru demikian, sebenarnya tidak terlalu keliru,_mungkin terpulang pada esensi pribadi masing-masing. Termasuk, esensi tentang hakikat diksi pemaknaan dari kontens dirasa tentang kesan yang menjadi domain budaya suatu daerah perkampungan.
Sebagian orang yang masih menyenanginya untuk diviralkan jenis asal susurgalurnya, mungkin boleh didefinisikan ulang sebagai kreativitas dimensi kearifan lokal mesti dilestarikan.
Namun, hal itu boleh dikukuhkan di kampungnya masing-masing yang mungkin masih sangat kental, dan susah dilunturkan oleh rotasi zaman keilmuan berdimensi akademis.
Mungkin tidak elok diberlakukan di areal institusi organisasi dan amal usaha Muhammadiyah, terutama pada perguruan tingginya, di mana dimensi amaliyah adalah berdurasi misi syiar kesetaraan akan nilai-nilai kemanusiaan.
Dimensi amal usaha Muhammadiyah, adalah milik kolegialitas persyarikatan, dan didirikannya memang bukan untuk perusahaan personal dan keluarga yang berdurasi semau gue di dalam rotasinya.
Rotasi zaman mengedepan nilai akademis ini, mungkin sehingga sahabat saya Mukhaer Pakanna (kini menjadi Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta), ia tidak pernah mau menunjukkan jati diri darah birunya. Bahkan tidak pernah, ia menceritakan sedikitpun tentang statusnya pada kami sebagai sahabatnya, padahal Status Kerajaan di Indoneisa, andaikan tidak dihapus oleh Negara, kemungkinan besar beliau akan menjadi pelanjut bapaknya menjadi Raja di wilayahnya.
....
Terlepas dari itu semua, IMM bersyukurlah menjadi kader pelanjut tampuk pimpinan umat melintasi zaman. Di sini, salah satu keunggulan dari pendiri Muhammadiyah yakni KH Ahmad Dahlan, tidak mewariskan Muhammadiyah pada “keluarga dan anak keturunannya sendiri”, tetapi kepada trilogi kader: keagamaan, keumatan, dan kebangsaan. Kemudian, implementasikan trilogi ini, dimaknai dan disesuai konten Ortom masing-masing, termasuk juga kepada IMM pun demikian.
Sejak didirikan IMM hingga hari ini, tiada pernah dinarasikan mesti diwariskan kepada keluarga darah berwarna tertentu, untuk menjadi pengurus dan juga pucuk pimpinannya.
Siapa pun boleh yang diyakini sebagai kader berpotensial untuk tetap berjas merah maron; boleh menjadi pengurus tanpa mesti berkelahi dan berebutan di dalam narasi juga berorasi gerakannya.
Selanjutnya, berikut ini akan ditampilkan narasi Milad IMM ke-40, tujuh belas tahun telah berlalu, yakni sebagai berikut.’
“Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, didirikan pada tanggal 29 Syawal 1384 H, bertepatan dengan tanggal 14 Maret 1964 M di Yogyakarta, oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, atas usulan hasil Kongres Mahasiswa Muhammadiyah yang dilaksanakan oleh Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, dan direstui oleh Bung Karno pada tanggal 16-2-1965.
IMM lahir di waktu gencar-gencarnya organisasi Islam di Indonesia, hendak dibumi-hanguskan oleh PKI, termasuk HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) supaya tidak mempan dengan usaha – usaha PKI yang akan membubarkannya. Bukan berarti IMM lahir karena HMI dibubarkan – itu anggapan yang sangat-sangat keliru.
IMM sudah berumur puluhan tahun – usia sudah matang, siap mekar memancarkan cahaya agama pada umat dan bangsa, yang gelap menjadi terang, yang keruh jadi jernih, yang keranjang sampai jadi permata mutiara, punya harga jati diri di mata dunia manapun, bukan seperti sampah-sampah saat ini hingga bencana banjir berbicara, baru kali ini mencium istana presiden, sebab belum juga sadar rakyat jadi korban. Wujud tak wajar Negara pada anak negeri.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah harus malu kalau sontoloyo,- maka harus menjadikan ilmu amalia – amal Ilmiah yang diabdikannya pada Agama, Nusa, dan Bangsa.
IMM adalah gerakan mahasiswa Islam yang bergerak di bidang keagamaan, kemasyarakatan, dan kemahasiswaan. Bertujuan mengupayakan terbentuknya akademi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencampai tujuan Muhammadiyah.
Yang menjunjung tinggi ajaran Islam guna terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yang sejahtera, aman, damai, makmur, adil, jujur, penuh persaudaraan, dan gotong-royong, bersendikan Al-Qur’an – Sunah Nabi.
IMM bukan berpaham Islam Liberal, Radikal, Demokrat, sensual, fundamentalis, Syi’ah atau Suni, tetapi IMM tetap berpaham Islam Rahmatan lil-alamin bagi seluruh alam semesta, bersendikan Al-Qur’an- Sunnah sebagai patokan juangnya, dalam berdakwah amal ma’ruf nahi munkar, - disudut langit manapun dia berpijak – Allahu Akbar roh akhlak sanubarinya.
IMM adalah organisasi kadernya Muhammadiyah yang menekan pada mutu dan kualitas anggotanya sebagai kader paripurna, yang setia loyal serta punya keyakinan akan kebenaran ideologi dan cita-cita organisasi, yang terus meningkatkan harkat diri, cerdas dalam studi tertib dalam ibadah dan bertauhid sosial sebagai darma baktinya pada masyarakat, nusa, dan bangsa.
Walaupun, IMM sudah berumur empat puluh tahun, akan tetapi dia telah terbukti mampu menelurkan kadernya berdedikasi tinggi, sesuai cita-cita trilogi juangnya, seperti M Djasman Al-Kindi, M Amien Rais, Yahya A Muhaimin, Marzuki Usman, A Rosyad Sholeh, Din Syamsuddin, Slamet Sukirnanto, Abdul Hadi WM, dan masih banyak lagi, bukan berarti disebut kader-kader ikatan tersebut, untuk dibangga-banggakan atau dimitoskan oleh kader ikatan. Apatah lagi dikultuskan menjadikan mereka sebagai wali, sungguh sangat naif penuh bid’ah majnun di era modern masih berlaku hal demikian, tak masuk akal sehat, tak waras lagi.
Akan tetapi sebagai motivasi agar kader Ikatan lebih cerdas, lebih kritis, lebih maju lagi dari mereka dalam segala aspek kehidupan.
Pada umur empat puluh tahun ini, pertanda umur yang telah matang guna mengemban amanat pimpinan umat secara paripurna, kompleks nasional – mendunia, seperti Nabi Muhammad menjadi Rasulullah
– di umur empat puluh tahun, jadi kader Ikatan harus tampil nyata, politik garam harus berwujud nyata, sebagai agenda satu bulan dua - tiga bulan ke depan, menjadi kader sejati nomor satu di Nusantara ini… Insya Allah. amien Ya Rabbul alamien.
Long Fellow bertutur; “The genius are often unattractive and dull in society like a meteor when it falls to the ground it is not more than a stone.” Orang – orang yang jenius pada umumnya tidak menarik hati, bahkan kaku dalam pergaulan, persis kaya meteor yang bersinar-sinar kalau jatuh ke tanah pun tidak lebih dari batu.’ –
kader Ikatan harus lebih menarik hati oleh siapapun yang memandangnya.
Bagaikan, air menetes batu mutiara muncul, - sedikit demi sedikit jadi bukit permata’ –Sejuk dimata – sedap di batin,- segar di jiwa,- jernih di pikiran.”
“Ayo, derap-derupkan langkah, kibar geleparkan panji-panji, umat dan bangsa menuntut bukti,- sebagai cendekiawan berpribadi, berakhlak zaman, penyambung cita-cita luhur generasi, Ikhlas beramal dalam berbakti,
Semoga berkah rahmat Ilahi melimpah ruah dalam perjuanganmu,”
Abadi dan tetap jaya sepanjang bumi masih ada – langit terbentang singgasana.
Newyork-London serta Yerusalem bukan apa –apa, yang punya apa –apa hanya Ilahi Rabbi.
Pantang … jadi kaki tangan Amerika, lebih baik makan singkong goreng di negeri sendiri
Daripada menjadi kuli di negeri orang, Kalau seperti BJ Habibi tidaklah mengapa!
Saat ini, Indonesia, tak ada lagi yang dibanggakan
Semua hancur lebur harapan
Kader terbaik Ikatan harus tampil ke depan, membaca dan renungi diri
....
Engkau telah menempa tiada pernah terlupakan hingga kapanpun__ telah membentuk untuk menggapai tapuk tiada mengenal lapuk sepanjang masa. Dunia kini dan jua 'kan tiba terus berkibar menjadi gelora trilogi; patriot sejati demi cita-cita luhur ikatan batin perjuangan. Abadi nan jaya logika pengabdian, mari derap-derupkan gerak langkah keikhlasan’
“... Ingat ...Niat telah diikrarkan, Kitalah cendekiawan berpribadi, Susila cakap takwa kepada Tuhan ...” (Lirik, Mursyid, 1964)
Selamat MILAD IMM ke_57
Jayalah__
melebur tetap ikatan merah maron
menyala
berani karena kebenaran__