-------------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 30 Maret 2021
Al-Qur’an
Menyapa Orang-orang Beriman (58):
Larangan Memasuki Rumah Orang Lain Sebelum Izin dan Salam
Oleh: Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil Sekretaris
Muhammadiyah Sulsel)
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah
yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.
Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. (QS An-Nuur/24: 27)
Ahli tafsir menyebut ayat ini sebagai penjelasan tentang adab bertamu, ada yang menyebutnya adat saling kunjung-mengunjungi, dan ada juga yang menyebutnya adab atau etika rumah tangga.
Ayat 27 ini menjelaskan tentang larangan memasuki rumah seseorang tanpa izin tuan rumah dan sebelum memberi salam kepadanya, dan tambahan penjelasannya dilanjutkan dalam ayat 28 dan ayat 29.
Sayyid Quthb dalam tafsir fî
Zhilail Qur’an memberikan pengantar dalam menafsirkan ayat ini bahwa dalam
rangka membangun masyarakat yang bersih, Islam
tidak –langsung—bersandar pada hukuman –bagi orang-orang yang melanggar aturan.
Namun, Islam menyandarkan kepada
upaya pemeliharaan dan pencegahan.
Pada aspek ini, kata beliau: “Pandangan yang berkembang dan
diterima dalam metode (manhaj)
pendidikan Islam adalah menyempitkan
ruang lingkup peluang berbuat kenistaan, membuang jauh-jauh faktor-faktor fitnah, serta mengantisipasi segala
penyebab bergeloranya nafsu dan membangkitkannya. Juga menghilangkan segala
rintangan yang menghalangi pemuasan nafsu secara alami (normal) dengan cara
yang bersih dan sesuai syariat.”
Memang bila dicermati Firman Allah SWT mulai dari ayat 27 hingga ayat 33, Surah An Nur ini, menunjukkan kepada orang-orang beriman cara-cara preventif
tersebut, mulai dari menjaga adab bertamu untuk menjaga kesopanan sang tamu, sekaligus menjaga privasi
tuan rumah (QS An-Nur/24: 27-29),
adab pergaulan pria dan wanita untuk saling menjaga kehormatan masing-masing
(QS An-Nur/24: 30-31), serta anjuran
untuk menikah dan mempermudah proses pernikahan (QS An-Nur/24: 32-33).
Ini menunjukkan bahwa Islam
tidak menghalangi dorongan-dorongan fitrah,
namun mengatur dan menjaminnya agar senatiasa dalam ruang yang bersih dan jauh
dari pengaruh dorongan nafsu yang dibuat-buat.
Kembali ke ayat 27 yang tengah dikaji ini hingga ayat 29. Hal-hal
yang ditunjukkan dalam ayat ini adalah:
Pertama, Allah SWT melarang seseorang memasuki rumah orang lain sebelum melakukan
dua hal, yakni: (1) meminta idzin kepada penghuninya, dan (2) memberi salam
kepadanya.
Pemberlakuan syariat meminta izin ini dalam rangka menegaskan
bahwa fungsi rumah adalah menjadi batas privasi seseorang atau sebuah keluarga
yang harus dihormati, selain menjadi panduan etika bagi seseorang agar tidak
melampaui batas yang etis bila hendak bertamu ke rumah orang lain.
Hal ini dijelaskan melalui sabda Rasulullah s.a.w yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari
Sahl bin Sa’ad dengan ucapan beliau, “innamâ
ju’ilal isti’dzanu min ajlil bashir, sesungguhnya diberlakukannya minta
idzin (bagi kalian) untuk alasan (menjaga) pandangan.”
Hal yang lain juga dimaksudkan agar tidak terjadi hal yang
mencurigakan dan prasangka buruk, karena memasuki rumah orang lain dengan cara
sembunyi-sembunyi menunjukkan kejelekan.
Cara yang diajarkan Rasulullah
s.a.w pada zaman beliau yakni dengan memberi salam terlebih dulu seraya
diiringi ucapan mohon izin untuk masuk, sebagaimana yang dinyatakan dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang bersumber dari Rab’î dan juga
ucapan yang sama dari riwayat Imam Ahmad dan At Tirmidzi.
Yakni dengan ucapan; “assalamu
alaykum, a-adkhul? assalamu ‘alaykum,
apakah saya boleh masuk?” Cara ini dikatakan dalam firman Allah, “dzâlikum khairullakum
la’allakum tadzakkarûn, yang demikian itu lebih baik bagimu untuk selalu
kamu ingat.”
Sayyid Quthb dalam tafsir Fi
Zhilalil Qur’an menuliskan bahwa, “Al-Qur’an menggambarkan tentang minta izin
ini dengan kata isti’nas yang
mengisyaratkan adanya kelembutan dalam meminta izin dan mengetuk pintu,
sehingga perasaan penghuni rumah tenang dan terhibur dengannya, dan mereka
dapat bersiap-siap untuk menyambutnya.
Ia merupakan ungkapan yang sangat sensitif dan halus, untuk
memelihara kondisi jiwa dan menghormati situasi orang-orang yang ada di dalam
rumah.” Demikian dari Sayyid Quthb.
Kedua, pada ayat 28 Allah
SWT berfirman: “Jika kamu tidak
menemui seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat
izin.
Kondisi ini menggambarkan bahwa berucap salam dan minta izin
saja belum cukup untuk membolehkan seseorang masuk ke dalam rumah orang lain
sebelum benar-benar dipersilahkan masuk, karena minta izin baru berupa
permohonan, belumlah dikabulkan.
Apabila seseorang telah memberi salam dan tidak mendengar
jawaban atau tidak ditemui oleh tuan rumah, maka dia harus kembali tanpa harus
membawa rasa kecewa atau merasa harapannya tak terpenuhi, karena boleh jadi
kondisi tuan rumah memang benar-benar tidak bisa bertemu dengan orang di luar
rumahnya.
Kehidupan pada masa ayat
ini baru saja diturunkan oleh Allah,
contoh prakteknya diperlihatkan langsung oleh Rasulluah s.a.w.
Sayyid Quthb melukiskan
dalam tafsirnya yang diringkaskan berikut ini: “Ketika Rasulullah berkunjung ke rumah Qa’is bin Sa’ad yakni putra Sa’ad
bin Ubadah, maka beliau mengucapkan “assalamu
‘alaykum warahmatullah.”
Sa’ad membalasnya dengan
suara yang pelan sekali. Qais berkata kepada Sa’ad, “apakah kamu tidak
mengizinkan Rasulullah?”
Dia menjawab, “biarkan
dulu beliau memperbanyak salam kepada kita.” Maka, Rasulullah pun mengucapkan salam dan
Sa’ad tetap menjawabnya dengan suara pelan hingga sampai beliau mengucapkan
salam yang ketiga kalinya, dan tetap dijawab oleh Sa’ad dengan nada yang sama.
Akhirnya beliau Rasulullah berinisiatif pulang, tetapi
Sa’ad mengejar beliau dan berkata: “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku mendengar salam Anda, dan aku membalasnya dengan suara yang
pelan agar Anda memperbanyak salam kepada kami.”
Rasulullah pun berbalik dan kembali bersama Sa’ad. Seusai Sa’ad
melayani beliau dengan perlakuan yang baik, kemudian Rasulullah mengangkat kedua tangannya dan berdoa, “ya Allah, anugerahkanlah doa salawat dan
rahmat-Mu atas
keluarga Sa’ad.”
Demikianlah Rasulullah
menunjukkan uswatun hasanah dalam
prakteknya, dan pada suasana lain beliau pun mengajarkannya kepada
para sahabatnya dan umat yang hidup sezaman dengan beliau yang dikisahkan dalam
beberapa hadits yang belum sempat diutarakan dalam ruang baca yang terbatas
ini.
Bilamana satu dan lain hal, -baik alasannya disampaikan atau
tidak- lalu yang punya rumah meminta agar sang tamu kembali saja, maka dia
harus kembali tanpa harus ada rasa kesal atau pun kecewa.
Begitulah petunjuk dari Allah, “dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, maka hendaklah
kamu kembali. Itu bersih bagimu…”
Demikianlah perintah Allah
yang harus dipedomani dan dipatuhi, sebagai tanda betapa pentingnya menjaga
kehormatan dan privasi seseorang atau suatu keluarga dalam rumah mereka, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Dalam adat kehidupan sosial di zaman kini, terkadang sikap
tidak menerima tamu dalam kondisi tertentu, sering tidak bisa diterima secara
baik bagi orang yang bertamu, padahal boleh jadi ada banyak alasan yang memang
bisa jadi menimbulkan fitnah bila
sang tuan rumah menerimanya dalam keadaan “tidak siap, ataupun terpaksa.”
Maka memahami perintah Allah
SWT dalam ayat ini sangatlah penting, dan oleh karena di zaman ini telah
ada alat penunjang komunikasi, maka meminta izin pendahuluan atas keinginan
seseorang untuk berkunjung ke rumah orang lain dapat disampaikan melalui alat
komunikasi itu, sehingga masing-masing pihak sudah memiliki kesepakatan sebelum
berkunjung dan menerima kunjungan.
Ketiga, dalam ayat 29 Allah
SWT berfirman, “Tidak ada dosa atasmu
memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada
keperluanmu…,”
Hal ini dapat dipahami bahwa rumah yang tidak
dirancang khusus untuk didiami oleh orang tertentu, melainkan telah disiapkan
untuk menjadi fasilitas kemaslahatan umum, seperti tempat peristrahatan umum,
tempat berteduh, kedai-kedai, super market, rumah ibadah, perpustakaan dan
sebagainya, semua jenis ini tidaklah menjadi larangan agama dan juga tidak
berakibat dosa apabila memasukinya tanpa izin terlebih dulu.
Namun, lanjutan firman Allah,
“…dan Allah mengetahui apa yang kamu
nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.”
Ini dapat dimaknai bahwa walaupun tidak ada dosa memasuki
fasilitas umum sebagaiman uraian tersebut, namun setidaknya ada dua hal yang
harus diperhatikan.
Pertama, batas-batas etika dan kebiasaan umum yang berlaku
tetap harus dijaga, misalnya masuk hotel, losmen dan yang sejenisnya dibolehkan
masuk lebih dulu –misalkan di daerah lobby- tanpa harus meminta izin, nanti
bila ingin berproses selanjutnya, -ingin menginap misalnya- maka seseorang tetap
harus mengikuti adabnya yakni menyampaikan kepada pelayannya, bahwa ia hendak
menginap sehingga masing-masing hak dan kewajiban tertunaikan.
Kedua, walaupun dibolehkan masuk tanpa harus meminta izin lebih dulu,
namun seseorang
harus tetap menanamkan sikap pada dirinya bahwa dia sedang dilihat dan
diketahui oleh Allah, dimana
kebebasannya tetap dibatasi oleh rasa tanggung jawab kepada Allah, sehingga ia hanya benar-benar
melakukan hal-hal yang menjadi kebutuhannya, dan tidak melakukan hal-hal yang
dapat merusak ataupun merugikan orang lain, apatah lagi melakukan hal-hal yang
tidak dibenarkan oleh adat istiadat dan moral, terlebih lagi melakukan
kedurhakaan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa peringatan semacam ini perlu, karena di
tempat-tempat umum sering kali bercampur orang-orang baik dan jahat.
Sering kali juga, kata beliau, kejauhan dari rumah atau
kampung halaman --menjadikan seseorang tidak dikenal oleh lingkungannya, lalu
merasa tidak terawasi-- sehingga dapat terdorong melakukan kedurhakaan –kepada Allah. Demikian uraian Quraish Shihab.
***
Perintah Bertaqwa kepada Allah dan Berteman dengan Orang-orang Benar