----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 15 April 2021
Pak
Malik B Masry
Oleh: Yasser Latief
(Anggota DPRD Parepare)
Tak ada nada kecewa. Air mukanya tenang. Kalimat itu
terlontar karena menjawab pertanyaan saya,
“Apa yang berbeda setelah tidak lagi menjabat Walikota Makassar?”
Lelaki yang menyopiri saya ini memang baru beberapa
bulan melepaskan jabatan sebagai Walikota Makassar periode 1994-1999. Tak ada sopir dan ajudan yang menemani,
seperti halnya saat ia masih menjadi “orang nomor satu” di Makassar.
Kami hanya berdua. Sekadar keliling kota saja sambil
bercerita dengan berbagai tema, kemudian singgah makan coto atau makan di
restoran favoritnya. Setelah itu, ia mengantar saya pulang...
***
Saya mulai intens bersentuhan dengan Pak Malik saat
teman-teman mengamanahi saya sebagai Ketua PP Ikatan Pelajar Mahasiswa
Indonesia (IPMI) Sidrap di Makassar, periode 1996-1998, dan di saat sama saya
juga menjadi wartawan Harian Fajar.
Di mata kami mahasiswa asal Sidrap, Pak Malik bukan
hanya sebagai walikota, melainkan juga adalah senior yang membanggakan dan
penuh perhatian.
Atas jasa beliaulah sehingga seluruh asrama
mahasiswa Sidrap mendapat sambungan telepon, yang memudahkan kami berkomunikasi
dengan keluarga di kampung. Belakangan, ia juga memfasilitasi sejumlah asrama
mahasiswa dari daerah lain.
Dan di mata jurnalis, ia adalah narasumber yang
menarik, karena memimpin Kota Makassar dengan penuh inovasi, tegas, mengayomi,
juga kadang dinilai kontroversi oleh sebagian orang.
***
Selanjutnya, kebersamaan kami terus terjalin. Hingga Pak Malik ditugaskan sebagai Waka
Kapet Parepare yang berada di bawah Irjen Kementerian PPKTI, pengusaha tambak,
ataupun pemilik pesantren. Pak Malik tetap sering mengajak saya dalam
aktivitasnya.
Menjadi luar biasa bagi saya karena ia selalu
mengenalkan saya dengan penuh sanjungan, “Ini adek kita. Generasi muda
potensial. Bla...bla...bla...”
Kalimat itu ia sampaikan saat mengenalkan saya
dengan sejumlah tokoh. Di antaranya Pak Arnold Baramuli, Menteri PPKTI,
Gubernur Sulsel Pak Amin Syam, maupun di depan para ustadz dan santri pesantren
Rahmatul Asri di Maroanging, Enrekang. Kalimat yang membuat saya langsung
mengkerut dengan lutut yang gemetar.
Hal yang berbeda ketika Pak Malik menyebut dirinya sendiri, “Saya Malik. Bla...bla..bla..” Tak
pernah ia menyebut pak atau embel-embel lain di depan namanya saat mengenalkan
diri.
***
Senin, 12 April 2021, saya membaca kabar duka
tentang berpulangnya ke rahmatullah, Bapak HA Malik B Masry, di RS Siloam, Makassar,
akibat penyakit jantung yang dideritanya.
Innalillahi wainna ilaihi raji'un. Saya kaget sekaligus sedih. Sangat sedih,
karena saya tidak tahu beliau sakit. Bagi saya, Pak Malik adalah orang tua,
kakak, sekaligus guru. Saya menyesal tak pernah menemuinya setahun terakhir
karena merebaknya Covid-19.
Alhamdulillah, saya bisa mengikuti prosesi
pemakamannya di belakang masjid di lokasi Pondok Pesantren Rahmatul Asri, Enrekang,
bersama orang-orang yang mencintainya.
Selamat jalan Pak Malik. Ayahanda, kakanda,
sekaligus guru bagi saya. Banyak pelajaran yang telah engkau torehkan. Insya
Allah itu akan menjadi amal jariyah. Allahummagfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu.
Aamiin Yaa Rabbal Alamiin.***