----------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 15 Mei 2021
Menata
Jiwa dan Hati untuk Menuntun Perjalanan Hidup di Atas Ketaqwaan (1)
Oleh:
Dr KH Muhammad Alwi Uddin, dan Dr H Abdul Rakhim Nanda
-----
Dalam rangka menata jiwa dan hati untuk menuntun perjalanan hidup di atas ketaqwaan, ada beberapa hal mendasar yang perlu dipahami. Pertama, mengenali proses penciptaan manusia dan potensi dasarnya.
Manusia diciptakan oleh
Allah SWT atas kehendak (iradah-Nya) melalui beberapa tahapan yakni dari
sulalatin min tin / sari pati dari tanah, kemudian dicipta menjadi nutfah/air
mani, kemudian dicipta menjadi ‘alaqah/segumpal darah.
Setelah itu, dicipta
menjadi mudghah/segumpal daging, kemudian dicipta menjadi ‘izhaman/tulang
belulang, lalu tulang belulang itu dibungkus daging/fa kasawnal izhama lahman,
lalu Allah SWT menjadikannya makhluq yang (berbentuk) lain. (QS Al Mu’minun/23:
12-14).
Kemudian setelah manusia
itu diciptakan dalam bentuk akhir, lalu Dia menyempurnakannya dan meniupkan ke
dalam (ciptaan)-Nya itu ruh (milik)-Nya, kemudian Dia menjadikan pendengaran,
penglihatan dan hati, sebagaimana firma-Nya:
“Kemudian Dia
menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (milik)-Nya dan Dia menjadikan
bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur.” (QS As-Sajadah/32: 9)
Selain ditiupkan ruh, dan
diberi pendengaran, penglihatan dan hati, Allah SWT juga menyempurnakan
penciptaan jiwa, sebagaimana firman-Nya:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaan-Nya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS Asy Syams/91: 7-10)
Kedua, menata jiwa menuju
jiwa yang tenang. Setelah penciptaan jiwa dan penyempurnaanya, maka Allah SWT
mengilhami jiwa itu dua potensi, yaitu (1) potensi untuk mengenal dan berbuat
kefasikan (fujur), yakni mengenal dan cenderung berbuat pelanggaran atau
kedurhakaan, dan (2) potensi untuk mengenal serta berbuat ketaqwaan atau
kemaslahatan dan ketaatan.
Kedua potensi ini melekat
pada jiwa manusia dan dua-duanya dapat menjadi watak atau tabiat.
Dalam Al-Qur’an, Allah
SWT yang Maha Rahman menunjukkan kepada kita tingkatan nafsu menurut
kecenderungannya, yakni (1) jiwa yang selalu mendorong kepada kedurhakaan
(nafsu ammarah bis su’i), (2) jiwa yang selalu menyesali perbuatannya (nafsu
lawwamah), dan (3) jiwa yang sudah mencapai ketenangan (nafsul muthmainnah).
Untuk menata jiwa agar
tidak selalu condong mengikuti potensi kecenderungannya, maka kita harus: 1.
Selalu memohon kepada Allah agar (1) jiwa kita dirahmati-Nya, dan (2) agar jiwa
selalu diberi peringatan (burhan) sehingga jiwa dapat berpaling menghindari
kecenderungannya kepada hal-hal yang buruk.
Hanya dengan rahmat dan
petunjuk/burhan dari Allah maka kita dapat mengendalikan dan berpaling dari
nafsu ammarah bissu’i itu.
Firman Allah SWT:
“Dan aku tidak
membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS Yusuf/12: 53)
“Sesungguhnya wanita itu
telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun tertarik
(melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat ‘burhan’ / tanda
(dari) Tuhan-nya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran
dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.”
(QS Yusuf/12: 24)
Memohon kepada Allah
serta berupaya sekuat tenaga untuk mampu mengendalikan jiwa kita kepada
keinginannya, sehingga dapat istiqamah pada pengendalian jiwa setelah melalui
proses jatuh-bangun dari kecenderungan keburukannya.
“Dan aku bersumpah dengan
jiwa yang amat menyesali.” (QS Al Qiyamah/75: 2)
Berdiri istiqamah setelah
bangun dari kejatuhan jiwa, ini dapat dilakukan dengan memelihara jiwa untuk
senantiasa takut (khauf) kepada (siksa dan murka) Allah sambil mengharap ridha
dan nikmat dari-Nya.
“Dan adapun orang-orang
yang takut kepada kebesaran Tuhan-nya dan menahan jiwa (nafsu) dari
keinginannya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS An Nâziât/79:
40)
Memohon kepada Allah
serta berupaya sekuat tenaga bertahan (istiqamah) ketika sudah mencapai
kemampuan mengendalikan jiwa sehingga jiwa senantiasa stabil dalam ketenangan
dan keteteraman (nafsul muthmainnah).
Rinduilah selalu
panggilan Allah melalui firman-Nya:
“Wahai jiwa yang tenang.
Kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang puas (ridha) lagi diridhai-Nya.”
(QS Al Fajr/89: 27-28).
“Penuhilah panggilan
Allah dengan ridha sehingga Allah pun menerima kita dengan ridha-Nya. Maka
masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS Al
Fajr/89: 29-30).
Sekali lagi, penuhilah
ajakan Allah. Masuklah ke dalam barisan hamba-hamba-Nya di dunia ini. Kelak di
akhirat nanti, Allah SWT akan mengajak kita lagi, untuk masuk bersama dengan
hamba-hamba-Nya dan mengajak kita masuk ke dalam surga-Nya. (bersambung)
--------
Artikel Bagian 2:
Menata Jiwa dan Hati untuk Menuntun Perjalanan Hidup di Atas Ketaqwaan (2)
Artikel Bagian 3 (habis):
Menata Jiwa dan Hati untuk Menuntun Perjalanan Hidup di Atas Ketaqwaan (3-habis)