Program yang dimerger merupakan PTS yang jumlah mahasiswanya di bawah 1000 orang, sebagaimana diungkapkan oleh Sesditjen Dikti Paristiyanti Nurwardani, (29/4/2021). Walaupun, tawaran ini agak terkesan kurang berseri tetapi bersifat liberalisme juga mengancam, dan bukan sebagai solusi yang mencerahkan sebagai jaminan kemajuan pendidikan di masa akan datang.
- Maman A Majid Binfas -
(Dosen Pascasarjana Uhamka Jakarta)
---------
PEDOMAN KARYA
Senin, 03 Mei 2021
Merger Domingo Perguruan
Tinggi Swasta
Oleh:
Maman A Majid Binfas
(Dosen Pascasarjana Uhamka Jakarta)
Kebetulan
saja, bersamaan milad Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), kali ini tanggal 2
Mei, tepat hari Ahad, mungkin juga berbeda hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara.
Hari
Ahad mungkin kurang tepat dikatakan hari Minggu. Menurut Wikipedia (2021), Hari
Minggu adalah hari pertama dalam satu pekan. Kata minggu diambil dari bahasa
Portugis, Domingo. Dalam bahasa Melayu yang lebih awal, kata ini dieja sebagai
Dominggu.
Baru
sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, kata ini dieja sebagai “Minggu”.
Sangat berbeda dengan esensi pemaknaan dari kata Ahad yang berarti satu dan
diambil dari bahasa Arab (bahasa Ibrani: eḥāḏ, bahasa Arab: ahad).
Dalam
bahasa Ibrani, kata Ahad berarti “satu” atau “pertama”. Sementara, kata “minggu”
("m" dalam huruf kecil) berarti pekan, satuan waktu yang berbeda
konteks dalam semiotik pemaknaannya.
Selain
itu, ada unsur sintaksis perbedaan diksi rasa bahasa dan juga unsur simbolik
keagamaan yang mungkin agak terkesan kreatif kontra produktif dimodifikasi.
Mungkin ini hanya soal
nilai rasa terpulang pada penggunaan masing-masing, termasuk konteks dilakonkan
dalam diksi rasa keragaman teristilahkan.
Terlepas
dari istilah demikian, sesungguhnya esensi dari Hari Pendidikan Nasional adalah
momentum utama yang mesti Ahad untuk dikedepankan.
Sesungguhnya
keberadaan hari pendidikan adalah hari nasional yang bukan hari libur yang
ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Namun, untuk memperingati kelahiran Ki
Hadjar Dewantara, tanggal 2 Mei.
Ki
Hadjar adalah tokoh pelopor pendidikan di Indonesia dan pendiri lembaga
pendidikan Taman Siswa. Bertepatan tanggal 2 Mei, maka diperingati Hari
Pendidikan Nasional yang merupakan hari kelahiran beliau, bukan diliburkan dan
hal ini mesti diindahkan oleh pengemudi pendidikan.
Telepas hal di atas, pada buku berjudul Mamonisme;
Doridungga Hingga BJ. Habibie dalam Diksi Bermada Cinta (2021) terbitan Uhamka
Press, kami mengutip pernyataan Werther dan Davis (1996) tentang “the people who are ready, willing and able to
contribute to organizational goals.”
Sesuatu yang paling penting dalam setiap orientasi
pendidikan tinggi (dikti) adalah strategis pengelolaan sumber daya manusia (human resources), yakni menjadikan the
people seperti dinyatakan oleh Werther dan Davis di atas.
Berdasarkan pendapat ini, dapat dinyatakan bahwa Sumber
Daya Manusia (SDM) adalah orang yang siap, mau dan mampu memberi sumbangan
terhadap usaha pencapaian tujuan organisasi perguruaan tinggi, yang dibidangi
oleh Dikti.
Perencanaan sumber daya manusia memungkinkan para
manajer dan departemen sumber daya manusia untuk mengembangkan rencana
pengembangan SDM Perguruan Tinggi (PT) yang mampu mendukung strategi secara
proaktif, terutama dari segi kualifikasi keilmuan.
Karena selama ini kualifikasi SDM yang bersifat
linearilisasi justru mengalami sumbatan kreativitas keilmuan atau tidak dinamik,
terutama dalam melahirkan keilmuan dalam pengajaran berskala keimuan
diperhitungan. Kemultidispliner justru menjadikan SDM yang berilmu dan makin
pontensial dalam ranah pendidikan berstandar, baik secara nasional maupun
internasional.
Oleh karena itu, sebaiknya Dikti segera mengukuhkan
kebijakan pendidikan yang bersifat multidispliner, sehingga ke depan dapat
menjadi masukan bagi kepentingan pengajaran, pengembangan teori dan metodelogi,
serta pemecahan masalah-masalah teknologi keilmuan sosial budaya, baik berskala
nasional maupun secara global.
Di antara, misalnya (a) Kajian bersifat multi
displiner keilmuan; teknologi berintegrasi sosial, begitu pula pendidikan politik,
ekonomi, budaya dan kesenian, kesehatan, ekologi, dan lainnya diintegrasikan.
(b) Kesetaraan otonomi pengelolaan PT, baik negeri
maupun swasta bukan saja hanya pada tata kelola bersifat birokrasi akedemis
saja, namun dalam penyetaraan bantuan dana keuangan pun mesti sama dirasakan,
baik PTN maupun PTS.
(c) Termasuk untuk menghemat biaya negara, maka
perlu pelayanan Dikti disederhanakan dengan cara pemangkasan birokratisasi,
misalnya, bila perlu menghapusan Kopertis atau L2DIKTI, dan pengelolaan pendidikan
kedinasan, sehingga pengelolaan PT satu atap saja oleh kementerian dikti saja.
Bukan
Solusi
Sebaiknya, mungkin tidak perlu Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) terlalu jauh
untuk berencana menjalankan program merger atau penggabungan sekitar 1.600
Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
Program yang dimerger
merupakan PTS yang jumlah mahasiswanya di bawah 1000 orang, sebagaimana diungkapkan
oleh Sesditjen Dikti Paristiyanti Nurwardani, (29/4/2021).
Walaupun, tawaran ini
agak terkesan kurang berseri tetapi bersifat liberalisme juga mengancam, dan
bukan sebagai solusi yang mencerahkan sebagai jaminan kemajuan pendidikan di
masa akan datang.
Di mana kesan ini,
walaupun dikti mungkin seakan pihaknya akan bertanggung jawab, jika PTS mau
ikut dalam program merger. Kesan bukan terlalu retorik, namun bernarasi euforia
provokatif, dengan nada diki, “"Kami siapkan budget untuk fasilitasi
merger mulai dari pertemuan hingga SK merger. Notaris pun dibiayai. Jadi,
tinggal melakukan apply ke Ditjen
Dikti.” (https://mediaindonesia.com.,
2021].
Tawaran ini mungkin program menjadi solusi tetapi
bukan yang terbaik, walaupun terkesan bersifat liberalisme yang sungguh terlalu
berani dilakukan oleh dikti saat ini. Namun, eloknya mesti dikaji lebih tajam
dan dalam lagi, baik dari segi manfaat berkelanjutan maupun menjadi tapak jejak
sejarah
yang berkesan menawan untuk kemajuan Pendidikan yang berkeadaban. Jangan sampai
esensinya niat baik program tersebut, justeru akan menjadi merger domingo yang
disesalkan kemudian hari.
Mungkin hampir sama sebagaimana kesan yang disesali
oleh Fukuyama (1992), dan Allan Bloom (1987) akan output kampus yang menggunakan sistem bersifat Multi Level Marketing (MLM).
Berkaitan hal itu, tiada terlalu keliru mungkin kita
kembali membaca buku The End of
Histroy and The Last Men, karya Fukuyama (1992) secara tersirat menyatakan
bahwa semangat Prostanis Hebrais-lah yang membuat sistem demokrasi
liberal dan kapitalisme di Eropa mencapai hasil yang diinginkanya berupa
kemakmuran ekonomi dan melimpahnya kesejahteraan material.
Menurutnya, keberhasilan itu tidak semata-mata
disebabkan oleh prinsip-prinsip liberalisme itu sendiri, melainkan oleh
kekuatan irasional yang disebut thymos, yaitu semangat kerja penuh
gairah.
Namun demikian, keberhasilan itu juga harus dibayar
dengan mahal berupa munculnya masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan
secara rasional. Misalnya, merajalelanya kecanduan terhadap obat bius,
kegemaran pada pornografi, tingginya tingkat kriminalitas, kegandrungan akan
hidup santai melalui musik rock, dan suburnya prilaku asosial, serta rusaknya
lingkungan hidup sebagai akibat dari konsumerisme yang melampaui batas.
Semua
bentuk perilaku tersebut, menandakan telah terjadi kemerosotan nilai yang
parah dalam kehidupan modern dan memberi petunjuk bahwa nihilisme
menjadi ancaman bagi yang merupakan ancaman bagi masyarakat modern yang
menerapkan sistem liberal dan membiarkan konsumerisme tumbuh tanpa terkendali.
Ancaman
Nihilisme
Maka, bukanlah tanpa alasan apabila Allan Bloom
(1987) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan runtuhnya nilai-nilai
dan meluasnya ancaman nihilisme itu, justru berasal dari prinsip-prinsip
kebebasan yang diterapkan oleh masyarakat Barat itu sendiri.
Dalam bukunya yang menghebohkan pembaca Amerika, The
Closing of the American Mind, Bloom mengatakan bahwa kehidupan kaum muda di
kampus-kampus Amerika dewasa ini sangat kontraproduktif dengan keberhasilan
yang dicapai oleh masyarakat kapitalis yang ditegakkan di atas pondasi semangat
Protestanisme.
Kebanyakan kaum muda, itu tidak memiliki kerinduan
terhadap nilai-nilai yang lebih tinggi. Pikiran mereka hampa, tubuh mereka
telah terpuaskan oleh buaian musik rock dan seks bebas.
Mereka menganggap dirinya terbuka pada puralisme
tetapi hatinya tertutup terhadap kebajikan moral dan spiritual. Lalu terjadi
menjungkirbalikkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan dalam praktik ekonomi orang
Yahudi.
Pengabaian terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan moral
itu diteruskan oleh kapitalisme modern, khususnya dari aliran-aliran materialisme
yang sendi-sendinya diperkuat oleh berbagai pemikiran falsafah.
Misalnya, dengan banjirnya sistem Multi Level
Marketing (MLM) yang seringkali menggoda selera generasi muslim yang belum
punya pekerjaan tetap untuk bergabung dengan sistem tersebut.
Hal di atas ini, juga dikutip di dalam buku Mamonisme,
(2021:779) yang menyarankan sebaiknya dikti mungkin tidak hanya mengurus soal merger
dan kebijakan mengenai pajak pendapatan dosen yang sekadar terasa menggembirakan,
namun akhirnya akan dinilai hanya bersifat politis saja.
Kesan history politikalisme ini mesti dijaga
bersama, demi jejak keadaban dikti hari ini yang bercermin pada kadar nilai kesantunan
dan bermutu di masa akan datang. Di mana, suatu masa Kementerian dan Dikti hari
ini akan dikesankan oleh generasi dengan baik dan cakap, dikenang di dalam
memori pada setiap peringatan Hari Pendidikan
Nasional (Hardiknas) patut dihargai tanpa liburan domingo sekalipun.
Selamat Hardiknas
Semoga makin
Mencerahkan Bangsa
Belajar
Merdeka dari rasa Tertindas__