------------
PEDOMAN KARYA
Senin, 21 Juni 2021
Di
Balik Pers Indonesia Berduka (3-habis)
Catatan
M Dahlan Abubakar
(Tokoh Pers versi Dewan
Pers)
Kematian Udin
Lalu bagaimana pula
dengan Udin? Udin adalah wartawan surat kabar harian asal Yogyakarta, Bernas.
Semasa bekerja sebagai wartawan, Udin sudah banyak menulis laporan yang
membikin telinga penguasa panas.
Sebelum tewas, Udin
disibukkan dengan agenda peliputan pemilihan Bupati Bantul untuk masa jabatan
1996-2001. Ia mengikuti tiap perkembangan informasi dengan seksama. Pemilihan
saat itu dianggap alot dan rumit. Pasalnya, terdapat tiga calon yang maju dan
semuanya berlatar-belakang militer.
Satu calon yang mencolok
ialah sang petahana, Sri Roso Sudarmo. Keikutsertaan Sri Roso dalam kontestasi
pilkada cukup mengejutkan. Pasalnya, menurut pemberitahuan dari Danrem
072/Pamungkas, Kolonel (Inf.) Abdul Rahman Gaffar, Sri Roso bakal
dipindahtugaskan ke daerah lain. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: Sri
Roso turut serta dalam pertarungan menuju kursi kekuasaan.
Masuknya Sri Roso ke
gelanggang membuka jalan bagi Udin untuk membongkar borok-borok
pemerintahannya. Selama memegang kendali pemerintahan, Sri Roso dianggap tidak
kompeten dan penuh praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
Maka, jadilan
laporan-laporan yang sarat kritik macam “Tiga Kolonel Ramaikan Bursa Calon
Bupati Bantul”, “Soal Pencalonan Bupati Bantul: Banyak ‘Invisible Hand’ Pengaruhi
Pencalonan”, “Di Desa Karangtengah Imogiri, Dana IDT Hanya Diberikan Separo”,
hingga “Isak Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis.”
Tak cuma menyerang
Suroso, laporan Udin juga menampar Orde Baru yang kala itu telah berada di
senjakala kuasanya.
Yang paling bikin gempar
tentu laporan Udin soal surat kaleng yang isinya menuturkan ada seorang calon
bupati yang diduga kuat bakal memberikan dana sebesar satu miliar rupiah kepada
Yayasan Dharmais milik Soeharto.
Walaupun tidak dijelaskan
siapa calon yang dimaksud, belakangan jelas bahwa sosok tersebut adalah Sri
Roso. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya “surat pernyataan” bersegel yang
ditulis dan ditandatangani oleh Sri Roso. Surat tersebut menjelaskan bahwa Sri
Roso setuju “membantu” pendanaan Yayasan Dharmais apabila terpilih sebagai
Bupati Bantul periode 1996-2001.
Dengan segala laporan yang
ditulisnya, Udin bukannya tanpa kekhawatiran. Ia sadar sedang melawan tiran.
Berkali-kali ia diikuti orang tak dikenal dan gerak-geriknya sering diawasi.
Namun, rasa takut tak menghentikan niatnya untuk menulis dan menyebarkan
kebenaran.
Keberanian itu pula yang
menuntunnya pada laporan terakhir tentang dugaan kasus korupsi pembangunan
jalan. Tulisan yang kelak diberi judul “Proyek Jalan 2 Km, Hanya Digarap 1,2
Km” tersebut terbit sehari sebelum Udin meninggal.
Beberapa rekan Udin pun
akhirnya membuat tim investigasi pencari fakta. Dari sejumlah penyelidikan, tim
menyimpulkan bahwa tewasnya Udin tak bisa dilepaskan dari berita-berita yang ia
tulis. Laporan Udin dipandang memancing kemarahan penguasa. Dalang di balik
pembunuhan Udin mengerucut pada satu nama: Sri Roso. Tentu Sri Roso menolak
hasil penyelidikan itu.
Seminggu setelah kematian
Udin, Sri Roso menggelar konferensi pers dan menyatakan sama sekali tak
terlibat dalam pembunuhan Udin. Pernyataan Sri Roso juga dipertegas kepolisian.
Diwakili Kapolres Bantul, Letkol Pol Ade Subardan, polisi mengatakan kasus Udin
tak punya dalang dan pembunuhnya akan ditangkap dalam kurun waktu tiga hari.
Polisi memang menangkap
“pelaku” pembunuhan Udin. Ia bernama Dwi Sumaji alias Iwik yang bekerja sebagai
sopir di perusahaan iklan. Masalahnya, Iwik bukanlah pelaku sebenarnya. Ia
hanya tumbal kepolisian.
Dalam persidangan
tertanggal 5 Agustus 1997, Iwik dipaksa mengaku bahwa ia membunuh Udin. Iwik
terpaksa mengaku di bawah ancaman dan pengaruh alkohol yang disuplai Serma Pol
Edy Wuryanto alias Franki, Kanitserse Polres Bantul.
Iwik dijadikan tumbal
untuk melindungi kepentingan bisnis, politik, serta nama baik Sri Roso.
November 1997, pengadilan memvonis bebas Iwik. Majelis hakim berpendapat tidak
ada bukti yang menguatkan bahwa Iwik adalah pelaku pembunuhan Udin.
Penangkapan Iwik adalah
satu dari sekian keganjilan pengusutan kasus Udin. Sebelumnya, muncul pengakuan
Tri Sumaryani yang menyatakan diiming-imingi sejumlah uang oleh “oknum
tertentu” jika bersedia berkata pada publik dan persidangan bahwa ia
berselingkuh dengan Udin. Perselingkuhan tersebut, menurut Tri Sumaryani,
membikin suaminya murka dan akhirnya membunuh Udin.
Belum lagi masalah barang
bukti yang dihilangkan. Lagi-lagi yang bertanggungjawab ialah Edy Wuryanto. Edy
diketahui telah melarung sampel darah serta mengambil buku catatan milik Udin.
Alasannya, kata Edy, demi “kepentingan penyelidikan dan penyidikan.”
Tindakan Edy digugat oleh
Marsiyem, istri Udin. Pada April 1997, Majelis hakim menyatakan Edy bersalah
dan dianggap melakukan tindakan melanggar hukum. Namun, Edy hanya dimutasi ke
Mabes Polri, alih-alih dijerat hukuman.
Belum ada tanda-tanda
kasus Udin bakal diselesaikan secara tuntas kendati telah berlalu dua dekade.
Aparat masih belum bisa mengungkap siapa dalang yang membunuh Udin dan apa
motif yang dibawanya.
Sri Roso memang dicokok
polisi. Namun, bukan karena terlibat dalam pembunuhan Udin melainkan gara-gara
kasus suap kepada Yayasan Dharmais.
Orde Baru sudah tumbang
dan tergantikan oleh reformasi. Sayang, kebebasan pers masih punya pekerjaan
rumah besar yang belum terselesaikan. Dan Udin mengingatkan kita akan hal itu.
Dua peristiwa keji
terhadap wartawan tersebut mewakili dua era yang sangat berbeda. Era Orde Baru
saat kebebasan pers dilumpuhkan dan era reformasi ketika kebebasan pers
kebablasan. Produknya, sama, kekerasan terhadap wartawan tetap terjadi.
Oleh karena itu, kepada
segenap insan pers agar tetap waspada dan lebih taat asas, mematuhi kode etik
jurnalistik yang menjadi rambu-rambu. Jangan terlalu berhatap dengan hak jawab
karena hak itu tidak berlaku kalau wartawan melanggar kode etiknya sendiri. Hak
jawab boleh dilakukan jika ada keterangan yang diberikan perlu diluruskan dari
pemberi hak jawab. Bukan diberikan karena kelalaian wartawan melakukan
konfirmasi lalai menerapkan kode etik jurnalistik. (*)
-------
Artikel sebelumnya:
Di Balik Pers Indonesia Berduka (1)
Di Balik Pers Indonesia Berduka (2)