Dari dalam istana negara yang megah, presiden tidak melihat tangisan anak-anak bangsa yang telah ‘terbunuh’ oleh sistem yang dibangun para pemimpin perguruan tinggi yang bermental predator. Mereka bukan saja tidak lagi merdeka, melainkan mereka telah ‘mati’. Masa depannya telah dibunuh para kaum cerdik pandai yang diangkat dan bahkan dipilih oleh negara. Semua itu berlangsung tanpa sedikitpun ‘kearifan’.
- Zulkarnain Hamson -
(Wakil Rektor IV Universitas Indonesia Timur, Makassar)
--------------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 20 Juni 2021
Terbunuhnya
Harapan Anak Bangsa
Oleh: Zulkarnain Hamson
(Wakil Rektor IV
Universitas Indonesia Timur, Makassar)
Biro Pers, Media, dan
Informasi Sekretariat Presiden RI mengeluarkan pernyataan pers, sebagai
pernyataan resmi Presiden Joko Widodo, yang menjelaskan perlunya perubahan pola
pikir dalam mendukung transformasi sistem pendidikan tinggi Indonesia.
“Agar dapat melakukan
transformasi untuk menghadapi perubahan global, maka diperlukan cara-cara dan pemahaman
baru yang harus diwujudkan untuk melahirkan sumber daya manusia unggul di masa
mendatang.”
Pernyataan itu sangat
normatif, terlebih Indonesia masih terus bergerak mencari bentuk ideal
pendidikan nasional.
Presiden Joko Widodo
mengemukakan pemikiran itu dalam perbincangan mengenai Kampus Merdeka yang
berlangsung di Istana Negara, Jakarta, di Jakarta, 15 Juni 2021, dihadiri
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim, (Mas
Nadiem), Ketua Forum Rektor Indonesia Profesor Arif Satria, Direktur Utama
Telkom Ririek Adriansyah, Direktur Utama Tokopedia William Tanuwidjaja, dan
sejumlah perwakilan mahasiswa.
Mas Menteri, atau akrab
juga dengan sapaan Mas Nadiem, mendengarkan uraian presiden. Presiden Joko
Widodo antara lain mengatakan, “Ada beberapa hal. Pertama, Iptek terbaru itu
ada di mana-mana. Bukan hanya di kampus, tetapi juga di industri. Kearifan itu
bukan hanya di kampus, tetapi juga ada di masyarakat.”
Kata kearifan, menjadi
sesuatu yang terkesan langka dari substansi, namun melimpah ruah dalam
perbincangan dan percakapan. Saat presiden mengungkapkan ‘kearifan’, isi kepala
sebagian hanya berkutat soal nilai-nilai lama yang relevan dan urgen untuk
terus dipertahankan.
Pertanyaan yang
mengikutinya kemudian dalam bentuk apakah itu, terutama jika menyaksikan tangisan
anak-anak bangsa yang tak berkesempatan menikmati indahnya pendidikan.
Presiden mungkin sadar,
Mas Menteri juga paham, bahwa pendidikan telah menjelma menjadi industri yang ‘menakutkan’,
jauh lebih menakutkan dari zaman kolonial Belanda, dimana hanya anak-anak
priyayi dan anak bangsawan yang bisa memperoleh tiket menuju bangku pendidikan.
Coba cermati kalimat
Presiden Joko Widodo ini, “Maka, mahasiswa harus diberikan kesempatan untuk
berguru kepada siapa saja, bukan hanya kepada dosen, tapi juga dapat dilakukan
di lingkungan industri dan masyarakat.”
Tidak sulit memahami
kalimat presiden, karena itu hanya dalam konteks mereka yang sudah menyandang
status mahasiswa. Pertanyaannya, bagaimana yang hidupnya miskin?.
Saya barusan kembali dari
daerah kabupaten di Sulsel, dan mendapati kenyataan masih ratusan bahkan ribuan
remaja yang tak punya kesempatan meraih kursi di perguruan tinggi. Mereka ini
hanya dipandang sebagai generasi produktif yang harus mengisi lapangan
pekerjaan, yang sejatinya juga tidak mereka lihat sedikit pun.
Sebagian pengamat sosial
hanya sampai pada kesimpulan, bahwa kemiskinan dan wawasan, juga kecilnya
peluang sehingga anak-anak kita di desa tak bisa sampai ke pintu perguruan tinggi.
Juga sedikit yang bisa memberikan solusi agar mereka bisa memperoleh jatah
belajar dari anggaran negara yang triliunan rupiah itu.
Presiden juga mengatakan,
“Karya mahasiswa itu bukan hanya karya akademik, tetapi juga karya-karya berupa
teknologi solutif bagi masyarakat dan karya kewirausahaan sosial yang memecahkan
masalah sosial.”
Presiden mungkin belum
menerima masukan dari pengamat pendidikan bahwa tradisi di kampus-kampus itu
belum sepenuhnya sadar. Bahwa masyarakat menunggu karya ilmuwan, sehingga hari
ini kalkulator buatan narapidana di China masih menjadi alat bantu luas di Tanah
Air.
Hanya yang paling
rasional dan menjadi pemikiran bersama adalah kalimat Presiden Joko Widodo, “Pembentukan
pola pikir tersebut tentunya memerlukan dukungan berbagai pihak. Perguruan
tinggi misalnya, yang harus memberi kesempatan para mahasiswa untuk belajar
dari siapa saja, mengenai apa saja, sehingga diperlukan cukup banyak porsi
pembelajaran yang dilakukan di luar lingkungan kampus.”
Predator
Untuk pernyataan presiden
di paragraf atas, izinkan saya menyampaikan juga bahwa presiden kurang mendapat
laporan bahwa ada banyak pimpinan perguruan tinggi, yang telah menjelma menjadi
‘predator’ dengan mematikan harapan mahasiswa menjadi sarjana dengan ‘senjata’
mematikan bernama “pemutusan masa studi”, drop out (DO), bahkan lebih sadis lagi
dilakukan pada saat pandemi sedang membunuh manusia di berbagai belahan dunia,
dan itu dilakukan dengan sadar oleh rektor perguruan tinggi negeri (PTN) atau
Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH).
Kalimat terakhir
presiden, “Mahasiswa juga harus lebih aktif mencari sumber pembelajaran baru di
luar kampus, belajar apa saja, kepada siapa saja. Dengan perkembangan teknologi
digital sekarang ini, hal tersebut lebih mudah dilakukan.”
Kalimat itu sekaligus
meminta kepada jajaran kabinet dan pemerintah daerah untuk mengembangkan
ekosistem yang kondusif bagi pengembangan program Merdeka Belajar dan Kampus
Merdeka yang diinisiasi oleh pemerintah. Sekali lagi instruksi presiden ini
seperti memukul angin, karena rektor-rektor telah men-DO-kan mahasiswa dengan
alasan uang SPP.
Dari dalam istana negara
yang megah, presiden tidak melihat tangisan anak-anak bangsa yang telah ‘terbunuh’
oleh sistem yang dibangun para pemimpin perguruan tinggi yang bermental
predator.
Mereka bukan saja tidak
lagi merdeka, melainkan mereka telah ‘mati’. Masa depannya telah dibunuh para
kaum cerdik pandai yang diangkat dan bahkan dipilih oleh negara. Semua itu
berlangsung tanpa sedikitpun ‘kearifan’. Wallahu a’lam bissawab.
Sudiang, 20 Juni 2021