PEDOMAN KARYA
Ahad, 11 Juli 2021
Humanis dan Human Interest, Belajar dari Kasus Polisi Tahan Paspampres
Oleh: M Dahlan Abubakar
(Tokoh Pers versi Dewan Pers)
Satu dua hari terakhir ini viral beredar video seorang oknum anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) dicegat dan diinterogasi di area penyekatan saat melewati Jalan Dan Mogot Jakarta, Rabu (7/7/2021). Prajurit Kepala (Praka) Izroi Gajah hendak melewati Jalan Dan Mogot menunggang sepeda motor hendak ke kesatuannya untuk apel pagi.
Dia kemudian dihentikan dan digiring oleh beberapa anggota polisi berpakaian preman ke tepi jalan. Rekaman video amatir menunjukkan, Praka Izroi terlihat tenang saat ditanya oleh beberapa oknum polisi yang terlihat arogan.
“Kalau kamu Paspampres memangnya kenapa?,” salah seorang anggota polisi bertanya dengan nada yang kurang nyaman didengar sambil mendorong dan berupaya menggeledah anggota pasukan elite itu.
Praka Izroi yang tenang, tanpa melawan, dan meminta maaf setelah menjawab semua pertanyaan. Seorang anggota polisi ngacir pergi setelah melihat kartu tanda penduduk (KTP) Praka Izroi tertera sebagai anggota TNI dan Paspampres.
Kasus ini terjadi karena pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, yang melarang mereka yang beraktivitas meninggalkan rumah selain sektor esensial dan sektor kritikal.
Yang termasuk sektor esensial (penting) yang boleh tetap melaksanakan aktivitas adalah mereka yang bekerja di sektor keuangan, perbankan, pasar modal, dan sebagainya.
Sementara sektor kritikal mencakup mereka yang bekerja di bidang kesehatan, keamanan dan ketertiban masyarakat, logistik, petrokimia, teknologi informasi, pers, dan sebagainya.
Kasus Praka Izroi ini dari catatan kritis menyangkul banyak hal. Pertama, jika dilihat dari dua sektor tersebut, jelas berada pada sektor kritikal, yakni berkaitan dengan masalah keamanan, dalam hal ini keamanan pejabat kepala negara atau wakil presiden.
Diselisik dari aspek ini, terjadinya perlakuan yang kurang nyaman terhadap Praka Izroi tersebut merupakan bentuk kekurangpahaman oknum petugas di lapangan terhadap sektor kritikal yang melingkupi pekerjaan Praka Izroi.
Ini juga menunjukkan bahwa sosialisasi tentang mereka yang ada di balik sektor yang dikecualikan itu tidak dipahami secara utuh. Terbukti, salah seorang oknum polisi setelah mengetahui bahwa orang yang didorong-dorongnya itu adalah seorang anggota TNI, langsung pergi.
Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi aparat yang bertugas di lapangan untuk memahami benar konteks objek yang mereka periksa dan hadapi. Hendaknya perlakuan seperti harus mengedepankan aspek humanis dan kemanusiaan.
Kedua, pertanyaan seorang oknum polisi yang berbunyi “Kalau kamu Paspampres memangnya kenapa?”, sebagai seorang yang meneliti analisis wacana kritis, kalimat tersebut sangat tidak santun.
Ada nuansa terjadinya marginalisasi untuk tidak mengatakan menganggap remeh lembaga yang lain. Kalimat seperti ini sangat tidak elok dikemukakan oleh seorang anggota suatu lembaga negara kepada anggota lembaga negara yang lainnya. Sejatinya harus ada rasa saling menghargai.
Berkaca dari kasus ini, penting diberikan kepada para petugas akan pentingnya etika dan kesantunan menghadapi masyarakat, siapa pun dia. Aparat tidak boleh mengesankan sikap arogansi yang merupakan karakter petugas di era Orde Baru.
Aparat tidak boleh merasa lebih jago dari yang lain, meskipun kenyataannya untuk hal-hal yang sangat khusus boleh saja. Namun untuk masalah yang cenderung tidak bersifat darurat dan krusial, sikap humanisme sangat dipuji.
Sikap saling “sipakatau” yang dikenal di dalam masyarakat Bugis-Makassar harus ditegakkan benar.
Saya kira kedua instansi tersebut saat ini terus menerus berusaha menjaga kekompakan dan mencegah terjadi gesekan-gesekan sebagaimana terjadi pada dekade yang lalu. Sebagai lembaga negara yang menganut sistem komando, sangat diperlukan satu bahasa secara “top down”. Jangan karena ketidakpahaman aparat di lapangan dan lapisan bawah, apa yang sudah dibangun dan dipupuk bersama dengan susah payah itu dirusak oleh arogansi mereka yang bertugas di lapangan.
Ketiga, dari video yang viral tersebut, upaya kita untuk memiliki aparat yang humanis masih memerlukan perjuangan berat. Aparat kita selalu saja masih lepas kontrol. Oknum-oknum aparat yang tampak di vedio tersebut masih sulit menghilangkan cara-cara lama dalam menghadapi seseorang yang dianggap melakukan kesalahan.
Sejumlah warganet yang mengomentari video tersebut hampir seluruhnya memberi apresiasi terhadap Praka Izroi. Sebaliknya mencemooh tindakan para petugas preman yang terkesan sangat arogan.
“Seorang aparat keamanan saja diperlakukan seperti itu, bagaimana dengan rakyat biasa,” cuit salah seorang warganet.
Keempat, sisi “human interest”. Faktor ini lebih khusus saya ingin tekankan akan peran penting media sosial dan jurnalis warga. Beberapa waktu yang lalu kita mengenal pers itu sebagai pilar keempat demokrasi, selain legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Saat ini ada pilar kelima, yakni media sosial dengan para pendukungnya adalah warganet. Pilar kelima ini lahir selain ditingkahi kemudahan piranti teknologi, juga sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap media arus utama (media mainstream) yang menawarkan konten hanya memuaskan pejabat dan pemilik modal.
Para pendukung media sosial ini menjadi jurnalis warga yang meskipun kadang-kadang lepas kontrol karena abai etika, tetapi kerap menjadi rujukan media arus utama.
Di layar TV pernyiar sering terdengar menyebut “video amatir” yang beredar, demikian juga yang kita temukan di media daring menyebut sumber serupa, yakni “video amatir”. Ini menunjukkan, produk jurnalis warga itu layak tayang.
Kemunculan aspek keempat dari kasus penyekatan anggota Paspampres itu menyimpan pesan yang sangat bermakna bagi masyarakat, sangat terkhusus bagi aparat negara yang bertugas di lapangan.
Realitas dan fenomena “human interest” (yang menarik perhatian manusia) di tengah masyarakat, saat ini sulit lolos dari tangkapan kamera warga yang melek teknologi dan tersebar di mana-mana.
Oleh sebab itu, semua dari kita ini harus berhati-hati dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan pihak lain di dalam masyarakat dan kehidupan sehari-hari.
Sisi lain dari kehadiran jurnalis warga ini adalah kemampuan dan ketajaman akan kesensitifan warga menangkap sesuatu yang dianggap dapat menjadi viral.
Kehadiran “jurnalis warga” ini merupakan mitra fungsional yang sangat positif bagi para insan jurnalis. Sayang mereka ini tidak terhimpun dalam sebuah organisasi yang relevan.
Terhadap kehadiran jurnalis warga ini saya justru melihat sisi yang lain. “Citizen reporter” (jurnalis warga) dapat saja menjadi pesaing dan “memberi ancaman” terhadap eksistensi dan tingkat kualitas keterampilan para jurnalis.
Jurnalis warga itu bagaikan “sosok tanpa status” dan memang seperti itu. Tetapi, aktivitas mereka sering menyumbang sekaligus menggeser kualitas produk yang dihasilkan oleh insan jurnalis itu sendiri.
Mereka berada pada semua lini kehidupan, berbeda dengan para insan jurnalis yang mungkin lebih banyak di warkop. Mencari informasi dan berkomunikasi dengan sumber berita memanfaatkan gawai dan jarang turun ke lapangan.
Mereka hanya turun ke lapangan jika ada peristiwa-peristiwa besar, seperti unjuk rasa, kebakaran, dan lain-lain kegiatan di dalam gedung. Tidak heran banyak berita yang dimuat seragam dan cenderung berita omongan. Sedikit yang merupakan deskripsi situasi di lapangan.
Bill Kovach dan temannya Tom Rosentiel dalam bukunya “The Element of Journalism” menyebutkan salah satu elemen yang berkaitan dengan kasus ini adalah “jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional”. Komprehensif maksudnya luas dan lengkap. Proporsional, berarti sesuai proporsi, sebanding, seimbang, atau berimbang.
Di era digital ini jurnalis hendaknya mampu memilah mana informasi yang benar di antara jutaan informasi yang “berseliweran” di dunia maya. Banyak media daring memanfaatkan percakapan di media sosial untuk konsumsi berita meskipun dengan menyebut sumber “media sosial”. Padahal, berita tersebut belum dan harus diverifikasi lebih dahulu sebelum dipublikasikan.
Elemen ketiga dari sepuluh elemen jurnalisme Kovach ini. “esensi jurnalisme adalah verifikasi”. Elemen inilah yang paling marak diabaikan oleh media daring, juga media cetak. Padahal, elemen ketiga ini tertuang di dalam pasal Kode Etik Jurnalistik (KEJ), rambu-rambu yang mengatur perilaku aktivitas kewartawanan. Pada pasal 1 KEJ,
“Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”. Pasal 3
“Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”.
Riwayat pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang marak justru banyak ditemukan pascareformasi. Sebelum reformasi, mana ada media yang berani melanggar Kode Etik Jurnalistik. Jika dia berani mengabaikan KEJ, bukan hanya disemprot pimpinan media, melainkan juga “diketuk” kepalanya oleh pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan tersebut dalam bentuk ancaman pencemaran nama baik yang berujung pada berurusan dengan Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP).
Sekarang media, terutama media daring, tidak memiliki “bamper” sebagai penyaring informasi apakah bebas etik dimuat atau tidak dari filer KEJ. Sebab, yang menjadi redaktur adalah pembuat berita itu sendiri. Jika yang membuat berita itu sendiri tidak taat asas, ya di sinilah pelanggaran KEJ itu bermula. Terima kasih atas kesediaannya menyimak. Wassalam.