-----------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 14 Juli 2021
Kisah Petani
Miskin dan Pemilik Toko
Di sebuah desa yang jauh dari gemerlap kota, hiduplah seorang petani miskin yang setiap hari pergi ke pasar untuk menjual gula merah buatan istrinya. Sang istri dengan penuh cinta dan ketekunan membuat gula merah berbentuk bulat, yang setiap satuannya ditakar seberat 1 kg. Dalam gula merah yang mereka buat, ada jerih payah dan harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Setiap hari, si petani menjual
gula merah itu ke sebuah toko yang sama, tempat di mana ia juga membeli
kebutuhan sehari-hari untuk keluarganya. Hubungan antara petani dan pemilik
toko itu telah berlangsung lama, terjalin dalam simpul kepercayaan yang tak
pernah dipertanyakan.
Namun, pada suatu hari,
pemilik toko mulai merasakan adanya keraguan. Di sudut hatinya, muncul perasaan
curiga bahwa berat gula merah yang dibeli dari si petani tidaklah sesuai dengan
yang dijanjikan. Dengan rasa penasaran yang membara, ia pun menimbang gula
merah tersebut.
Alangkah terkejutnya sang
pemilik toko ketika mendapati bahwa berat gula merah itu ternyata kurang dari 1
kg. Timbangan menunjukkan angka 900 gram. Ia menimbang ulang, dan hasilnya
tetap sama. Jantungnya berdegup kencang, amarahnya meluap seperti air yang
mendidih.
“Jadi selama ini dia
membohongiku. Berapa banyak kerugian yang aku alami? Dasar penipu!” geramnya
dalam hati.
Tak mampu lagi menahan amarah,
pemilik toko itu memutuskan untuk mendatangi rumah si petani. Dengan membawa
gula merah yang telah dibelinya, ia melangkah dengan amarah yang membara, siap
untuk meluapkan segala kekecewaannya.
Sesampainya di rumah si
petani, ia langsung menghujani lelaki miskin itu dengan kata-kata kasar. “Kamu
telah menipu saya! Kamu bilang gula merah ini beratnya satu kilogram, setelah
saya timbang ulang ternyata beratnya hanya 900 gram!” hardiknya penuh emosi.
Petani miskin itu terkejut
mendengar tuduhan tersebut. Wajahnya pucat pasi, tak menyangka akan mendengar
kata-kata sekeras itu dari pemilik toko langganannya. Dengan suara gemetar, ia
menjawab dengan hati-hati, “Kami orang miskin. Kami tidak punya timbangan di
rumah. Kami sama sekali tidak ada niat menipu Bapak, apalagi Bapak selama ini
selalu baik kepada kami.”
Si petani terdiam sejenak,
mencari keberanian untuk melanjutkan. Sementara itu, si pemilik toko menunggu
dengan tidak sabar, ingin segera mendengar penjelasan lebih lanjut.
“Kami membeli beras di toko
Bapak seberat 1 kg dan itulah yang kami jadikan timbangan untuk menimbang gula
merah,” lanjut si petani dengan jujur.
Mendengar penjelasan si
petani, pemilik toko itu tersentak. Ia terdiam, merasakan tamparan keras dari
kenyataan yang baru saja ia ketahui. Niat awalnya untuk mempermalukan dan
memeras si petani, kini berbalik menjadi rasa malu yang mendalam. Perbuatannya
selama ini, mengurangi takaran beras yang dijualnya, terbongkar dengan cara
yang tak pernah ia bayangkan.
Seperti cermin yang retak, ia
melihat dirinya sendiri dalam keretakan itu. Kesombongannya runtuh, digantikan
oleh penyesalan yang mendalam.
Kisah ini menjadi pengingat baginya dan kita semua, bahwa kejujuran adalah harta yang tak ternilai, dan setiap tindakan akan menuai balasannya sendiri. Seperti halnya matahari yang selalu bersinar setelah malam yang gelap, kebenaran akan selalu muncul mengungkap segala kecurangan.***
Ditulis ulang oleh: Asnawin Aminuddin
----
Keterangan:
Kisah ini kami dapatkan dari
grup WhatsApp (WA), Rabu, 14 Juli 2021. Setelah kami kami berselancar di
internet, ternyata kisah ini sudah banyak dimuat di berbagai media massa dan
media sosial.
Kami tidak menemukan siapa
penulis aslinya. Mudah-mudahan kisah yang telah banyak kali dibagikan ini
menjadi amal jariyah bagi penulisnya. (Redaksi)
----
Kisah lainnya:
Kisah Masuk Islamnya Seorang Perempuan Tua di Amsterdam Belanda