Qurban adalah jenis ibadah (pendekatan diri) paling tua di kehidupan dunia ini. Qurban diajarkan pertama kali oleh Nabiullah Adam a.s kepada kedua putranya (Qabil dan Habil) untuk memperoleh jawaban dari perselisihan antara keduanya, yang manakah di antara keinginan mereka yang diridhai oleh Tuhan Allah SWT. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)
---------
Selasa, 20 Juli 2021
Makna
Qurbânan Sebagai Pendekatan Diri Secara Penuh Kepada Allah (1)
Dr
Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Sekretaris Muhammadiyah
Sulsel / Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Makassar)
Hal yang paling
menyedihkan bahwa saudara-saudara kita di negeri ini yang telah mempersiapkan
diri untuk melakukan ibadah haji (rukun Islam yang kelima itu) dengan mengumpul
rezki secara bertahap (sesuai kemampuan masing-masing) atas dorongan iman,
sehingga telah menjadi cita-cita mereka, namun
terpaksa harus tertunda.
Sungguh pun demikian,
tentu saja kita tidak perlu berkecil hati, karena wabah ini hanya merupakan
salah satu ujian dari Allah SWT bagi orang-orang beriman, dan setiap ujian
pasti ada hikmah besar yang terkandung di dalamnya.
Khusus untuk ujian wabah
penyakit ini, Rasulullah s.a.w. menyatakan dalam sabda beliau: “Dari ‘Aisyah RA,
ia berkata; Saya bertanya kepada Rasulullah SAW perihal tha‘un, lalu Rasulullah
SAW memberitahukanku, ‘Zaman dulu tha’un adalah azab yang dikirimkan Allah
kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya, tetapi Allah menjadikannya sebagai
rahmat bagi orang beriman. Tiada seseorang yang sedang tertimpa tha’un,
kemudian menahan diri di rumahnya dengan bersabar, serta mengharapkan ridha Ilahi
seraya menyadari bahwa tha’un tidak akan mengenainya selain karena telah
menjadi ketentuan Allah untuknya, niscaya ia akan memperoleh ganjaran seperti pahala
orang yang mati syahid.” (HR Ahmad).
Hari ‘Iedul Qurban, ‘Iedul
Adha secara etimologi, kata qurban berasal dari bahasa Arab qariba –yaqrabu–
qurban wa qurbanan wa qirbanan, yang berarti dekat (S. Askar, Al Ahzar: 2011:
656), sehingga menurut istilah, qurban berarti mendekatkan diri kepada Allah
melalui ritual penyembelihan hewan ternak.
Adapun kata ‘Idul adha
muncul dari “udhhiyyah” yang merupakan bentuk jamak dari “dhahiyyah” (dari
dhaha) yang artinya ‘naiknya matahari’ waktu dhuha, sedangkan udhhiyyah sendiri
bermakna ‘hewan yang dikurbankan’ (S. Askar, Al Ahzar: 2011: 439).
Ini menununjukkan makna
waktu prosesi penyembelihan qurban yang diselenggarakan seusai shalat ‘Idul Adha
10 Dzulhijjah (hari nahar), ditambah tiga hari pada tanggal 11-13 Dzulhijjah
(hari tasyriq).
Kata qurban yang bermakna
‘dekat’, bila diberi akhiran huruf nun-alif yang bermakna ‘sempurna’, maka kata
qurban menjadi qurbanan yang bermakna ‘pendekatan diri secara sempurna.’
Qurban adalah jenis
ibadah (pendekatan diri) paling tua di kehidupan dunia ini. Qurban diajarkan
pertama kali oleh Nabiullah Adam a.s kepada kedua putranya (Qabil dan Habil)
untuk memperoleh jawaban dari perselisihan antara keduanya, yang manakah di antara
keinginan mereka yang diridhai oleh Tuhan Allah SWT.
Allah SWT berfirman dalam
Al-Qur’an, Surah Al-Maidah/5: 27, yang artinya, “Ceritakanlah kepada mereka
kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika
keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka
(Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia (Qabil) berkata: ‘Aku
pasti membunuhmu!’ Berkata Habil: ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (qurban)
dari orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Maidah/5: 27)
Qabil
dan Habil
Ibnu Katsir dalam
tafsirnya menukil sebuah hadits riwayat As-Su’di yang berasal dari Ibnu Abbas
dan Ibnu Mas’ud yang menggambarkan kehidupan awal dari Adam dan Hawa beserta
anak-anak mereka, mulai dari Hawa setiap melahirkan anak yang selalu kembar,
aturan perkawinan di antara anak-anak mereka.
Qabil yang hidup dengan
berkebun dan Habil yang hidup dengan beternak yang membentuk watak antara
keduanya.
Penyelisihan Qabil
terhadap Habil terkait penetuan calon istri mereka, Adam a.s memerintahkan
mereka untuk berqurban, Qurban Habil diterima sedang qurban Qabil ditolak oleh
Allah, Qabil berkehendak membunuh Habil, Habil (yang perkasa) menghadapi dengan
besar hati, Qabil membunuh Habil dengan nafsunya, akhirnya Habil pun terbunuh
dalam ketaqwaannya.
Ketika Qabil kebingungan
bagaimana cara memperlakukan mayat adiknya, oleh Allah SWT diperintahlah burung
Gagak untuk mengajarinya.
“Kemudian Allah menyuruh
seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepada-nya
(Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: ‘Aduhai
celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku
dapat menguburkan mayat saudaraku ini?’ Karena itu jadilah dia seorang di
antara orang-orang yang menyesal.” (QS Al-Maidah/5: 31)
Demikianlah kisah burung
gagak yang diperintahkan Allah untuk memperlihatkan cara mengubur orang yang
mati kepada Qabil.
Para ahli tasfir ada yang
meyakini bahwa peristiwa pembunuhan oleh Qabil terhadap saudaranya Habil ini
merupakan peristiwa pembunuhan/pertumpahan darah yang pertama kalinya dilakukan
manusia di muka bumi ini.
Qabil melakukannya atas
dorongan kedengkian karena qurbannya yang dilakukan “sekadarnya” itu tidak
diterima oleh Allah, yang sekaligus bermakna bahwa keinginannya --untuk
memperistri kembarannya-- tidak dapat dipenuhi. (bersambung)
-----
Artikel Bagian 2:
Makna Qurbânan Sebagai Pendekatan Diri Secara Penuh Kepada Allah (2)
Artikel Bagian 3-habis:
Makna Qurbânan Sebagai Pendekatan Diri Secara Penuh Kepada Allah (3-habis)