Wakil Ketua Majelis
Pustaka dan Informasi Muhammadiyah Sulsel, Asnawin Aminuddin (kiri) mendampingi
Dr KH Abdullah Renre saat tampil sebagai pemateri pada Workshop Penulisan
Sejarah & Profil Muhammadiyah se-Sulsel, di Kampus Universitas Muhammadiyah
Parepare (Umpar), November 2014.
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 28 Agustus 2021
In
Memoriam
Abdullah
Renre: Gelar Kiai Tidak Pantas untuk Saya
Oleh: Asnawin Aminuddin
(Wakil Ketua Majelis Pustaka
dan Informasi Muhammadiyah Sulsel)
Gelar akademik doktor, sebutan pakar sejarah Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, serta jabatan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel, sama sekali tidak mengubah gaya dan kesederhanaan Dr KH Abdullah Renre.
Gaya dan penampilannya
selalu sederhana dengan peci hitam yang kadang-kadang dipakai agak miring ke
kiri, sebagaimana gaya kebanyakan kiai dan ulama zaman dulu.
Sebagai seorang
sejarawan, Abdullah Renre cukup sering diundang berbicara pada berbagai
pertemuan seperti seminar, lokakarya, dan pelatihan, tapi gaya dan penampilannya
yang sederhana tidak pernah berubah, meskipun tengah membawakan materi di hadapan
para akademisi dan mahasiswa.
Dengan berbagai kapasitas
keilmuan dan pengalamannya, termasuk dengan jabatan sebagai Direktur Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar,
sesungguhnya beliau sudah sangat pantas diberi gelar kiai.
Kiai dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) Daring Kemdikbud RI, antara lain diartikan sebagai sapaan
kepada alim ulama (cerdik pandai dalam agama Islam).
Diberi
Gelar Kiai
Karena dianggap pantas menyandang
gelar kiai, maka Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel pun memberi gelar kiai
kepada Abdullah Renre, yang pernah mendapat amanah sebagai Ketua Pimpinan
Daerah Muhammadiyah Gowa selama sepuluh tahun (2000-2010).
Gelar kiai itu diberikan
kepada Abdullah Renre dan Abbas Baco Miro (Sekretaris Majelis Tarjih
Muhammadiyah Sulsel / Ketua Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas
Agama Islam, Unismuh Makassar) pada Pengajian Ramadhan Muhammadiyah Sulsel, di
Pondok Pesantren Ummul Mukminin Aisyiyah Sulsel, Makassar, Ahad, 19 Mei 2019.
Ketua Muhammadiyah Sulsel,
Prof Ambo Asse, mengatakan, Abdullah Renre dan Abbas Baco Miro memang sudah
sepantasnya dipanggil kiai, karena telah memenuhi kriteria secara keilmuan
maupun ketawadhuan.
“Melalui pengajian ini
saya tegaskan dua kiai kita. Kiai Abdullah Renre dan Kiai Abbas Baco Miro. Pak
Abdullah Renre sebenarnya sudah lama, tapi selalu menolak untuk dipanggil kiai.
Hari ini tidak boleh menolak lagi,” kata Ambo Asse sambil tersenyum saat
mengumumkan pemberian gelar kiai kepada Abdullah Renre dan Abbas Baco Miro, pada
acara penutupan Pengajian Ramadhan.
Merasa
Tidak Pantas
Beberapa tahun sebelum
diberi gelar kiai, Abdullah Renre kepada penulis dan beberapa pengurus Muhammadiyah
dalam bincang-bincang sebelum dimulainya rapat mingguan Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Sulsel, menyampaikan bahwa ia merasa tidak pantas menyandang gelar
kiai.
“Saya sering dipanggil
kiai, tapi saya menolak gelar itu, karena saya merasa tidak pantas,” ungkap
pria kelahiran Sinjai, 31 Desember 1949.
Beliau mengemukakan tiga
syarat seseorang sehingga pantas diberi gelar kiai, yaitu pertama pandai
berbahasa Arab, kedua pernah belajar langsung kepada ahli agama Islam di Arab
Saudi sebagai tempat kelahiran Rasulullah Muhammad SAW, dan ketiga hafal 30 juz
Al-Qur’an.
“Tidak ada satu pun dari
tiga kriteria ini yang saya miliki. Makanya saya merasa tidak pantas disebut
kiai,” tutur Abdullah Renre.
Sikap dan pandangannya
tentang gelar kiai itu menunjukkan bahwa beliau adalah seorang ulama yang
tawadhu. Beliau tidak sombong dengan berbagai gelar dan jabatan, malah
sebaliknya beliau seperti padi, makin berisi makin tunduk.
Kini, ulama kharismatik
itu telah pergi. Abdullah Renre meninggal dunia di Kabupaten Gowa, Sabtu, 28
Agustus 2021, dalam usia 72 tahun.
Semoga amal ibadahnya
diterima oleh Allah SWT dan dosa-dosanya diampuni, serta kuburnya dilapangkan
dan diterangi, amin.