Kamis, 05 Agustus 2021
Patung-patung
di Kota Makassar, Seni Kota atau Politik Ruang Publik
Oleh:
Goenawan Monoharto
(Penulis Senirupa)
Pagi-pagi benar, udara sejuk di Anjungan Losari. Masih sepi. Angin laut hampir tidak bertiup namun terasa sangat segar. Dari anjungan bagian selatan hanya dua orang perempuan setengah baya, petugas kebersihan menyapu halamannya. Tiga atau empat orang gadis sedikit “genit” ber-tiktok di depan patung torso (patung “dada”) warna putih lecet beberapa pahlawan di Sulawesi Selatan.
Hampir tiga puluh patung
torso berjejer, tak heran bila pendapat bijak mengatakan, bangsa yang besar
adalah bangsa yang menghargai. Yakni mengenang para pahlawan dengan membuatkan
torso.
Apakah wajahnya secara
anatomi katakanlah mirip atau tidak, itu bukan soal. Menurut cerita, Anjungan
Losari digagas dan dikerjakan pada masa Walikota Makassar, Ilham Arief
Sirajuddin, kemudian dilanjutkan oleh Walikota Makassar, Danny Pomanto, yang
seorang arsitek.
Melihat satu persatu
patung pahlawan tersebut, tandanya hanya nama pahlawan misalnya Andi Pangerang
Petta Rani dengan tahun kelahiran dan wafatnya. Data bersambung tidak ada lagi,
tahun berapa pembuatannya dan siapa yang membuat tidak diketahui, sehingga
banyak masyarakat bertanya-tanya apakah pembuatan torso itu cetakan atau bukan?
Apakah dibuat oleh seniman patung yang di ada Makassar atau hanya tukang. Tak
jelas, tidak terdeteksi datanya.
Di antara patung torso di
Anjugan Losari, ada patung tiga sosok tokoh dunia, masing-masing Mahathma
Gandhi, Syekh Jusuf, dan Nelson Mandela. Patung ini diketahui pembuatnya
Amirullah Syam dan timnya pada masa Walikota Danny Pomanto (Ahmad Fausi dan
Achmad Anzul). Pembuatannya tahun 2016, setelah kegiatan seni F8 di Pantai Losari.
Kemudian ada patung Gadis
Toraja menari Panggellu, Patung Becak, Patung seorang wanita menenun. Sekitar
itu juga ada prasasti. Arsitektur pada bagian depannya sejumlah nama tertulis.
Beberapa bongkahan seperti tembok runtuh ada di sekitarnya. Apakah ini karya
arsitek yang sengaja dipasang? Entah. Hanya Walikota Danny yang tahu.
Dalam Kota Makassar,
beberapa patung yang “pantas” disebut patung entah tahun berapa, patung torso
Sultan Hasanuddin di depan Markas Kodim 1408/BS, di Jalan Lanto Dg. Pasewang,
masih ada dan sangat terawat.
Tahun berapa pembuatannya
oleh siapa pembuatnya, dipastikan tercatat data pada buku sejarah Markas Kodim 1408/BS
Kota Makassar. Jelas patung sudah ada ketika penulis masih anak-anak.
Kemudian yang cukup tua
patung itu, Patung Sultan Hasanuddin, naik kuda menunjuk ke laut di depan
Benteng Pannyua (Fort Rotterdam). Patung ini dibuat pada masa Walikota
Makassar, HM Dg. Patompo (tahun 1970-an), oleh seniman yang pernah mengecap
pendidikan di Italia, MN Syam.
Sebuah patung semasanya
ada di gerbang Lapangan Karebosi, beberapa laki-laki memikul balok, namun
patung itu sudah tak ada. Menurut Jendri Pasassang, seorang seniman pematung,
kemungkinan patung tersebut sudah dihancurkan.
“Mungkin senasib dengan
patung Ramang, karya SA Yatimayu (Sakka Ali), juga sudah tak ada dan
dihancurkan ketika Karebosi dijadikan lahan bisnis. Patung tersebut dibuat pada
masa Walikota Malik B. Masri,” kata Jendri Pasassang.
Ia menambahkan, “Kalau
melihat perkembangan patung di masa H. M. Dg, Patompo adalah seorang visioner dalam memperhatikan
SENI KOTA di Makassar.”
Setelah era itu, lokasi
patung keberadaannya menggusur atau patung dihancurkan oleh karena pengembangan
kota disebabkan lokasi patung terlalu dipaksakan atau karena kepentingan
pendapatan seperti patung yang ada di gerbang Lapangan Karebosi jaman dulu.
Satu hal yang juga perlu
disoroti pengerjaan patung kelak, bisa jadi jebakan bagi seniman patung,
terkait dengan hukum.
”Sepanjang yang saya tahu,
seniman patung lemah di manajemen dan pengetahuan tentang hukum, sehingga
terkesan hanya menjadi tukang saja bagi kontraktor. Ini fakta seperti yang saya alami. Nilainya tidak
sebanding yang diterima oleh kontraktor, pengerjaan patung proyek pemerintah itu
ngeri ngeri sedap, sama peristiwanya yang menjerat seorang kawan yang harus
menghabiskan beberapa tahun di Lembaga Pemasyarakatan,” ungkap Jendri.
Ada Patung Pajonga Dg.
Ngalle di Taman Segitiga Jl. Kakatua dengan Ujung Jalan Ratulangi Makassar. Patung
yang sama masanya dibuat, ada juga di jalan Gunung Bawakaraeng (Pompa Bensin)
dan Patung Ayam di Daya. Konon, patung tersebut mendatangkan konflik bahwa
patung tersebut dibuat dengan menggusur para pedagang di Daya. Patung-Patung
tersebut cukup baik keadaannya dibuat oleh Jakob Pagorai, seorang seniman
patung di Makassar.
Hampir dilupakan, sebab
patung pejuang yang ukurannya 1 X 1 terletak di sebuah taman di pengkolang Jl.
Slamet Riyadi Makassar. Patung dibuat oleh seniman Ali Walangadi. Hanya sayang,
nasibnya kurang menguntungkan.
Ketika pembuatan patung
tersebut, perancang dan pemilik proyek tidak memperhitungkan kemajuan Kota
Makassar, baik pertumbuhan pohon maupun gedung-gedung di sekitarnya, sehingga
patung tersebut kelihatan “imut” sangat kecil sekarang. Apalagi tidak
terpelihara, ditumbuhi rumput. Nasibmu. Kodong.
Sekitar ruang publik
tersebut, ada patung Macan di lapangan segitiga, dan di depannya Jl. Sultan Hasanuddin,
ada patung torso Sultan Hasanuddin ukuran tidak besar, sehingga diabaikan untuk
dipandang, Bahkan patung tersebut yang dibuat di Yogyakarta oleh pematung/perupa
Dicky Tjandra, mantan dosen UNM.
Lulusan S 1 sampai S 3 di
ISI Yogyakarta, dikritisi bahwa patung tersebut tidak cocok penempatannya,
sebab bisa mendatangkan kecelakaan lalulintas. Memang benar sudah ada korban.
Tak pelak ketika melihat
patung Gajah eks Taman Safari di ujung Jl. Penghibur, sekarang jalan masuk ke Jl.
Tanjung Bunga Makassar, tersisa dari kumpulannya. Patung itu dibuatnya pada
masa 1980-an, karya Amirullah Syam.
Apakah masih cocok
tempatnya dan dipertahankan tempatnya sekarang, atau dicarikan tempat yang pas
misalnya lapangan segitiga bertetangga dengan patung Macan?
Siapakah penguasa
patung-patung sekarang di Pemda kota Makassar, apakah Dinas Pertamanan Kota
Makassar atau Dinas Kebudayaan Kota Makassar?
Sebaiknya instansi yang
bertanggungjawab tentang taman dan isinya dipikirkan kembali penempatan
patung-patung tersebut, sebab ada yang mempertanyakan apakah patung-patung di Kota
Makassar sebagai SENI KOTA, murni gagasannya pembuatan patung-patung tersebut,
seperti di kota-kota besar lainnya. Atau hanya sebatas politik ruang publik
pada setiap walikota yang membangun kota Makassar.
Menjelang 17 Agustus
2021, Hari Kemerdekaan ke-76 Bangsa Indonesia. Patung-patung yang berkaitan
dengan kebangsaan-hampir semuanya patung-patung di Makassar berkaitan dengan kebangsaan,
sangat perlu dicat ulang atau direstorasi kembali.
Semuanya patung yang ada
tidak terurus dimakan usia. Tentu restorasi tersebut memerlukan biaya bisar.
Tetapi apa boleh buat demikian adanya, memelihara SENI KOTA memang mahal. Jangan
hanya bisa dibuat, tetapi mengabaikan pemeliharaannya. Miris jadinya.
Di masa pendemik ini,
Walikota Danny Pomanto dapat memikirkan membuat patung yang bagus, untuk
menjadi penanda bahwa Makassar pernah terkena Pandemik yang memakan cukup
banyak korban dan dapat dibendung dengan program Danny Pomanto dengan recovery
COVID- 19. Mungkin masukan ini penting.
Borong Raya Makassar