----------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 05 September 2021
Kisah Nabi Muhammad SAW (5):
Abdul
Muthalib Bernadzar Menyembelih Anaknya untuk Kurban
Penulis: Abdul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi
Bernadzar
Abdul Muthalib bernadzar,
“Kalau saja aku mempunyai 10 anak laki-laki, kemudian setelah semuanya dewasa,
aku tidak memperoleh anak lagi seperti ketika sedang menggali Sumur Zamzam,
maka salah seorang di antara 10 anak itu akan kusembelih di Ka’bah sebagai
kurban untuk Tuhan.”
Ternyata takdir memang
menentukan demikian. Abdul Muthalib akhirnya mendapat 10 orang anak laki-laki.
Setelah semua anak berangkat dewasa, ia tidak memperoleh anak. Dipanggilnya
kesepuluh orang anak itu, termasuk si bungsu Abdullah yang amat disayangi dan
dicintainya.
“Aku pernah bernadzar
untuk menyembelih salah seorang di antara kalian jika Tuhan memberiku 10 orang
anak laki-laki,” kata Abdul Muthalib.
Kesepuluh anaknya
terdiam. Mereka memahami persoalan itu. Mereka juga melihat kebingungan yang
luar biasa di mata ayah mereka yang berkaca-kaca.
“Namun, aku tidak bisa
menentukan siapa di antara kalian yang harus kusembelih. Oleh karena, aku
berniat memanggil juru qidh untuk menentukannya,” kata Abdul Muthalib.
Di hadapan patung dewa
tertinggi Ka’bah, juru qidh (anak panah) meminta setiap anak menulis namanya
masing-masing di atas qidh. Kemudian, ia mengocok anak panah tersebut di
hadapan berhala Hubal. Nama anak yang keluar adalah Abdullah.
Melihat itu, serentak
orang-orang Quraisy datang dan melarangnya melakukan perbuatan itu.
“Batalkan keinginanmu,
Abdul Muthalib! Mohon ampunlah kepada Hubal supaya kamu bisa membatalkan
nadzarmu!” teriak salah seorang di antara mereka.
Sanggupkah Abdul Muthalib
menyembelih anak kesayangannya, apalagi tidak ada orang yang menyetujui niatnya
itu?
Menemukan
Zamzam
Malam harinya, dengan
tubuh lelah, Abdul Muthalib tertidur. Tiba-tiba, dalam tidur, dia bermimpi
mendengar suara yang bergema berulang-ulang, “Temukan Sumur Zamzam itu, wahai
Abdul Muthalib! Temukan Sumur Zamzam! Temukan!”
Abdul Muthalib terbangun
dengan keyakinan dan semangat baru. Esoknya, dia mengajak Harits menggali dan
menggali lebih giat. Rasa heran orang-orang Quraisy yang melihatnya berubah
menjadi tawa.
“Kasihan Abdul Muthalib,
mungkin dia sudah kehilangan akal sehatnya!” kata mereka satu sama lain.
Suatu saat, ketika mereka
sedang menggali di antara berhala Isaf dan Na’ila, air membersit.
“Air! Harits! Lihat, ada
air!” seru Abdul Muthalib saking kagetnya.
“Ayo kita gali terus,
Ayah! Ayo gali terus!” kata Harits.
Ketika mereka menggali
lebih dalam, tampaklah pedang-pedang dan pelana emas yang pernah ditaruh oleh
Mudzaz bin Amr dahulu. Melihat penemuan itu, orang-orang Quraisy datang
berbondong-bondong.
“Abdul Muthalib, mari
kita berbagi air dan harta emas itu!” pinta mereka.
“Tidak! Tetapi, marilah kita
mengadu nasib di antara aku dan kamu sekalian dengan permainan qidh (anak
panah). Dua anak panah buat Ka’bah, dua buat aku, dan dua buat kamu. Kalau anak
panah itu keluar, dia mendapat bagian. Kalau tidak, dia tidak mendapat apa-apa,”
kata Abdul Muthalib.
Usul ini disetujui. Juru
qidh mengundinya di tengah-tengah berhala di depan Ka’bah. Ternyata, anak panah
Quraisy tidak ada yang keluar. Pemenangnya adalah Abdul Muthalib dan Ka’bah.
Oleh karena itu, Abdul
Muthalib dapat meneruskan tugasnya mengurus air dan keperluan para tamu Mekah
setelah Sumur Zamzam memancar kembali.
Mengingat beratnya tugas
itu. Abdul Muthalib sangat ingin agar dia mempunyai banyak anak laki-laki yang
dapat membantunya.
Pedang
dan Pelana Emas
Abdul Muthalib memasang
pedang-pedang itu di pintu Ka’bah, sedangkan pelana-pelana emas ditaruh di
dalam rumah suci itu sebagai perhiasan. (Bersambung)
Artikel Bagian 6: Abrahah Dirikan Gereja Besar nan Indah di Yaman untuk Tandingi Ka’bah
Artikel Bagian 4: Abdul Muthalib Mencari Mata Air Sumur Zamzam