Muhammad amat mencintai pamannya, Abu Thalib. Ia tahu pamannya memiliki banyak anak kecil dan hidup dalam kemiskinan. Karena itulah, tanpa ragu, Muhammad ikut bekerja seperti anak-anak Abu Thalib yang lain. Ia ikut membantu pekerjaan keluarga Abu Thalib, menggembalakan kambing, dan mencari rumput. (int)
-----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 17 September 2021
Kisah
Nabi Muhammad SAW (15):
Abdul
Muthalib Wafat, Muhammad Diasuh Abu Thalib
Penulis:
Abdul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi
Abdul Muthalib Wafat
Muhammad dibawa pulang
oleh Ummu Aiman. Ia pulang sambil menangis hatinya pilu karena kini sebatang
kara. Muhammad makin merasa kehilangan. Ia menjalani takdir sebagai seorang
anak yatim-piatu. Terasa olehnya hidup yang makin sunyi dan semakin sedih.
Baru beberapa hari yang
lalu, ia mendengar dari ibunya cerita keluhan duka kehilangan ayahandanya
semasa ia dalam kandungan.
Kini, ia melihat sendiri
di hadapannya, ibunya pergi untuk tidak kembali lagi, sebagaimana ayahnya dulu.
Muhammad yang masih kecil itu kini memikul beban hidup yang berat, sebagai
seorang yatim-piatu.
Ketika tiba di Mekah,
Abdul Muthalib menyambut kedatangan cucunya itu dengan rasa iba yang dalam.
Kecintaan Abdul Muthalib pun semakin bertambah kepada Muhammad.
Rasa duka Muhammad
mungkin agak ringan apabila kakeknya, Abdul Muthalib, dapat hidup lebih lama
lagi. Namun, Allah sudah menentukan lain.
Pada usia 80 tahun, sang
kakek pun meninggal dunia. Saat itu, Muhammad berusia delapan tahun. Ia mengiringi
jenazah kakeknya ke kubur sambil berlinang air mata.
Kenangan sedih sebagai
anak yatim-piatu membekas begitu dalam pada diri Rasulullah, sehingga di dalam
Al-Qur’an pun disebutkan ketika Allah mengingatkan Rasulullah ï·º akan nikmat
yang dianugerahkan kepadanya di tengah kesedihan itu,
“Bukankah Dia mendapatimu
sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai
seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” (Surah ke-93, Ad-Duha,
ayat 6-7)
Keluarga
Umayyah
Kematian Abdul Muthalib
merupakan pukulan yang berat bagi keluarga Hasyim. Tidak ada anak-anak Abdul
Muthalib yang memiliki keteguhan hati, kewibawaan, pandangan tajam, terhormat,
dan berpengaruh di kalangan Arab seperti dirinya.
Kemudian keluarga Umayyah
tampil ke depan mengambil tampuk pimpinan yang memang sejak dulu mereka
idam-idamkan, tanpa menghiraukan ancaman yang datang dari keluarga Hasyim.
Diasuh
Abu Thalib
Sebelum wafat, Abdul
Muthalib menunjuk salah seorang anaknya untuk mengasuh Muhammad. Ia tidak
menunjuk Abbas yang kaya, namun agak kikir. Ia juga tidak menunjuk Harist,
putranya yang tertua karena Harist adalah orang yang tidak mampu.
Abdul Muthalib menunjuk
Abu Thalib untuk mengasuh Muhammad karena sekalipun miskin, Abu Thalib memiliki
perasaan yang halus dan paling terhormat di kalangan Quraisy.
Abu Thalib juga amat
menyayangi kemenakannya itu. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka
berbakti, dan baik hati, sangat menyenangkan Abu Thalib. Ia bahkan lebih
mendahulukan kepentingan Muhammad daripada anak-anaknya sendiri.
Begitu pun sebaliknya,
Muhammad amat mencintai pamannya. Ia tahu pamannya memiliki banyak anak kecil
dan hidup dalam kemiskinan. Namun demikian, pamannya tidak pernah berhutang
kepada orang lain.
Abu Thalib lebih suka
bekerja keras memeras keringat untuk menafkahi keluarganya. Karena itulah,
tanpa ragu, Muhammad ikut bekerja seperti anak-anak Abu Thalib yang lain. Ia
ikut membantu pekerjaan keluarga Abu Thalib, menggembalakan kambing, dan
mencari rumput.
Abu Thalib merasa bahwa
Muhammad kelak akan menjadi orang yang bersih hatinya dan dijauhkan dari dosa.
Ia yakin, jika mengajak Muhammad berdoa, Tuhan akan mengabulkan permohonannya.
Seperti yang dilakukannya ketika orang-orang Quraisy berseru, “Wahai Abu
Thalib, lembah sedang kekeringan dan kemiskinan melanda. Marilah berdoa meminta
hujan.”
Maka, Abu Thalib keluar
bersama Muhammad. Ia menempelkan punggung Muhammad ke dinding Ka’bah dan
berdoa. Kemudian, mendung pun datang dari segala penjuru, lalu menurunkan hujan
yang sangat deras hingga tanah di lembah-lembah dan di ladang menjadi gembur. (bersambung)