Kondisi Masyarakat Mekah dan Lahirnya Abdul Muthalib di Madinah

Mencuri dan merampok saat itu adalah hal yang biasa. Hanya sebagian kecil saja orang yang tidak pernah melakukannya. Perampok pun bukan cuma mengincar harta dan benda, tetapi juga orang yang dirampok. Perampok biasa menjadikan orang-orang yang telah dirampoknya menjadi tawanan dan budak belian.




---------- 

PEDOMAN KARYA

Jumat, 03 September 2021

 

Kisah Nabi Muhammad SAW (3): 

 

Kondisi Masyarakat Mekah dan Lahirnya Abdul Muthalib di Madinah

 

Penulis: Abdul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi

 

Perampok Kejam dan Tidak Sopan

 

Mencuri dan merampok saat itu adalah hal yang biasa. Hanya sebagian kecil saja orang yang tidak pernah melakukannya. Perampok pun bukan cuma mengincar harta dan benda, tetapi juga orang yang dirampok. Perampok biasa menjadikan orang-orang yang telah dirampoknya menjadi tawanan dan budak belian.

Saat itu, perilaku bangsa Arab amat kejam, sampai melewati batas perikemanusiaan. Anak-anak perempuannya sendiri mereka bunuh. Ada yang dikubur hidup-hidup ke dalam tanah, ada pula yang ditaruh dalam tong dan diluncurkan dari tempat yang tinggi. Mereka malu jika mempunyai anak perempuan.

Mereka juga suka menyiksa binatang. Jika seseorang mati, keluarganya mengikat unta di atas kuburan dan tidak memberikan makan serta minum sampai si unta mati. Mereka beranggapan unta itu kelak akan menjadi tunggangan si mati.

Musuh yang tertangkap diperlakukan sangat kejam. Mereka biasa mengikat musuh pada seekor kuda dan membiarkan kuda tersebut berlari sehingga orang yang diikat itu mati terseret-seret. Telinga atau hidung musuh yang kalah dijadikan kalung, serta tengkoraknya dijadikan tempat minum arak.

Orang jahiliyah juga tidak mengenal sopan santun. Mereka biasa berkeliling Ka’bah tanpa memakai pakaian. Begitulah kebiasaan Orang-orang Arab saat itu.

Mereka adalah bangsa yang maju perdagangannya, pandai membuat perkakas, membuat obat, ahli astronomi, serta mahir bersyair. Namun mereka juga mempunyai kebiasaan buruk.

 

Memakan Bangkai Binatang

 

Dalam urusan makan dan minum pun, tidak ada yang dilarang. Segala macam binatang boleh dimakan. Binatang yang sudah mati pun disayat dagingnya, dibakar, dan dimakan. Mereka juga suka meminum darah, binatang, dan makanan darah yang dibekukan.

 

 Muthalib

 

Suatu hari, Hasyim pergi berdagang menuju Syam. Ketika melewati Yatsrib, (di kemudian hari disebut Madinah), Hasyim melihat seorang wanita baik-baik dan terpandang.

“Siapakah wanita itu?” tanya Hasyim kepada orang-orang Yatsrib.

“Dia adalah Salma binti Amr.”

“Suaminya telah tiada. Kini dia seorang janda.”

Mendengar itu, Hasyim melamar Salma dan Salma pun menerimanya. Mereka lalu menikah. Hasyim tinggal di Yatsrib beberapa lama. Ketika Salma mengandung, Hasyim melanjutkan perniagaannya. Namun, itulah kali terakhir Salma melihat suaminya karena Hasyim tidak pernah kembali lagi. Ia meninggal dunia di Palestina.

Salma melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Syaibah. Sementara itu, sepeninggal Hasyim, kedudukannya sebagai pemuka masyarakat Mekah dipegang oleh adik Hasyim yang bernama Al Muthalib.

Al Muthalib juga seorang laki-laki terpandang yang dicintai penduduk Mekah. Orang-orang Quraisy menjulukinya dengan sebutan Al Fayyadh yang berarti Sang Dermawan.

Suatu hari, dia mendengar bahwa Syaibah, keponakannya yang tinggal di Yatsrib, sedang tumbuh remaja.

“Aku harus menemuinya,” pikir Al Muthalib,

“Dia adalah anak kakakku. Dulu ayahnya adalah pemuka Mekah, maka dia harus pulang untuk melanjutkan kekuasaan ayahnya menggantikan aku.”

Ketika Al Muthalib bertemu Syaibah di Yatsrib, dia tersentak, “Anak ini benar-benar mirip Hasyim.”

“Mari Nak, ikut Paman ke Mekah,” peluk Al Muthalib.

“Tetapi, jika ibu tidak mengizinkan pergi, aku akan tetap tinggal di sini,” jawab Syaibah

 

Syaibah

 

Nama Syaibah diberikan karena ada rambut putih (uban) di kepalanya sejak dia kecil. Selain Syaibah, Hasyim telah memiliki empat putra dan lima putri yang tinggal di Mekah.

 

Abdul Muthalib

 

“Tidak. Aku tidak akan membiarkannya pergi,” jawab Salma.

“Dia buah hatiku satu-satunya. Wajahnyalah yang senantiasa mengingatkan aku akan wajah ayahnya,” lanjut Salma.

“Aku juga menyayangi Hasyim,” kata Al Muthalib,

“Bukan cuma aku, tetapi penduduk kota Mekah juga menyayanginya. Mereka pasti akan senang sekali menyambut kedatangan putra Hasyim. Begitu melihat wajah anak ini, rasa sayangku timbul kepadanya. Seolah-olah aku melihat Hasyim hidup kembali dan berdiri di hadapanku,” ungkap Al Muthalib.

Dia kemudian melanjutkan, “Izinkan aku membawanya pergi. Sesungguhnya Mekah adalah kerajaan ayahnya dan Mekah adalah tanah suci yang dicintai oleh seluruh bangsa Arab. Tidakkah pantas putramu pergi ke sana dan melanjutkan pemerintahan ayahnya?”

Salma memandang Syaibah dengan mata berkaca-kaca. Hatinya ingin agar putra satu-satunya itu tetap tinggal di sisinya. Namun, ia tahu masa depan Syaibah bukan di Yatsrib, melainkan di Mekah. Akhirnya, ia pun mengangguk, “Baiklah, kuizinkan ia pergi.”

Dengan amat gembira, Al Muthalib mengajak keponakannya itu pulang. Syaibah duduk membonceng unta di belakang pamannya.

Ketika mereka tiba di Mekah, orang-orang menyangka bahwa anak yang duduk di belakang Al Muthalib adalah budaknya.

“Abdul Muthalib (Budak Al Muthalib)! Abdul Muthalib!” panggil mereka kepada Syaibah.

“Celaka kalian! Dia bukan budakku, dia anak saudaraku, Hasyim!” kata Al Muthalib.

Namun, orang-orang telanjur menyebutnya demikian sehingga akhirnya nama Syaibah pun terlupakan. Setelah itu, dia dikenal dengan nama Abdul Muthalib. Dia kelak menjadi kakek Nabi Muhammad ï·º. (Bersambung)

-----

Artikel Bagian 4: Abdul Muthalib Mencari Mata Air Sumur Zamzam

Artikel Bagian 2: Awal Mula Penyembahan Berhala di Mekah

Artikel Bagian 1: Jazirah Arab, Letak Mekah, dan Suku Badui

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama