Haedar Nashir
(Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah)
----------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 04 September 2021
Pidato Kebangsaan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1):
Masalah-masalah
Kebangsaan pada HUT ke-76 Republik Indonesia
Oleh:
Haedar Nashir
(Ketua Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah)
Pengantar:
Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir menyampaikan pidato kebangsaan yang disiarkan
secara langsung TvMu Channel, CNN Indonesia, dan streaming di kanal YouTube, Senin,
30 Agustus 2021, mengusung tema “Indonesia Jalan Tengah, Indonesia Milik
Bersama.”
Pidato kebangsaan Haedar Nashir
tersebut kami muat secara bersambung dengan judul berbeda-beda pada setiap
bagian. (Redaksi)
***
Judul “Pidato Kebangsaan”
yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Malang bekerjasama dengan beberapa
PTM, yakni Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Muhammadiyah Makassar,
Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
dan para pihak pada tanggal 30 Agustus 2021 ini ialah “#IndonesiaJalanTengah, #IndonesiaMilikBersama”.
Diksi yang dipakai
menggunakan narasi hastag atau tagar dalam literasi media sosial. Harapan
utamanya agar sebanyak mungkin para elite dan warga bangsa dapat menjadikan
kedua isu penting tersebut sebagai masalah bersama untuk menjadi rujukan
bersama!
Ketika bangsa Indonesia
memperingati 76 tahun kemerdekaan, di tubuh negeri ini masih terdapat sejumlah
masalah kebangsaan. Antara lain suasana keterbelahan sesama anak bangsa, masalah
“radikalisme-ekstremisme” yang pro-kontra dalam pandangan dan penyikapan,
korupsi dan perlakuan terhadap koruptor yang dianggap memanjakan, praktik
demokrasi transaksional, kesenjangan sosial, menguatnya oligarki politik dan ekonomi.
Juga kehadiran media
sosial yang memproduksi persoalan-persoalan baru, masalah utang luar negeri dan
investasi asing, serta kehidupan kebangsaan yang semakin bebas atau liberal
setelah dua dasawarsa reformasi. Secara khusus tentu masalah pandemi Covid19
dengan segala dampaknya yang menambah masalah kebangsaan semakin berat.
Narasi atas
masalah-masalah bangsa tersebut tentu tidak mengurangi apresiasi atas
kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam kehidupan kebangsaan dari periode ke
periode.
Ketika menghadapi
masalah-masalah besar tersebut maupun dalam menilai capaian kemajuan,
berkembang keragaman pandangan dan orientasi sikap sesuai sudut pandang dan
posisi setiap pihak di negeri ini.
Pada situasi yang krusial
inilah maka diperlukan refleksi semua pihak bagaimana mengelola
perbedaan-perbedaan itu untuk ditemukan titik temu dalam spirit Persatuan
Indonesia demi keutuhan dan kelangsungan hidup Indonesia.
Indonesia
Moderat
Kemerdekaan yang
melahirkan Negara Republik Indonesia saat ini berdiri tegak di atas pondasi
kokoh Pancasila. Soekarno memosisikan Pancasila sebagai “philosophische grondslag”
atau “Weltanschauung” yaitu sebagai “fundamen, filsafat, pikiran yang
sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan
gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”
Pancasila yang perumusannya
mengalami proses dinamis sejak Pidato Soekarno 1 Juni 1945, Piagam Jakarta 22
Juni 1945, dan rumusan final 18 Agustus 1945 merupakan konsensus nasional dari
seluruh golongan bangsa Indonesia yang berlatar belakang majemuk menjadi
Bhinneka Tunggal Ika.
Menurut sejarawan Furnivall
(2009), bangsa majemuk pada dasarnya nonkomplementer laksana “air dan minyak”.
Tetapi bangsa Indonesia yang majemuk itu dapat bersatu karena ada nilai yang mempersatukan
yaitu Pancasila (Nasikun, 1984).
Konsensus seluruh komponen
bangsa untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara dihasilkan dari jiwa
kenegarawanan para pendiri negara.
Peran krusial Ki Bagus
Hadikusumo bersama tokoh Islam lain dalam konsensus yang bersejarah itu sangatlah
besar, dengan kesediaan melepas “tujuh kata” Piagam Jakarta dikonversi menjadi
sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Menurut Menteri Agama
Alamsjah Ratu Perwiranegara, itulah “hadiah terbesar dari umat Islam”.