BACA PUISI. Founder Komunitas Anak Pelangi (K-Apel), Rahman Rumaday (kanan), membaca puisi bersama Bu Suriati Tube, berjudul “Kuntu Tojeng”, pada Acara Peringatan Hut ke-11 K-Apel,
--------
Kamis, 30 September 2021
Panggung
Puisi di Perayaan ke-11 Tahun Komunitas Anak Pelangi
MAKASSAR,
(PEDOMAN KARYA). Puncak peringatan 11 Tahun K-Apel (Komunitas
Anak Pelangi) Terus Berbagi Cinta, bertema “Lahirkan Generasi Julehah yang
Berbudaya dan Ramah Terhadap Lingkungan”, menjadi ajang pembacaan karya sastra,
khususnya puisi.
Anak-anak, ibu-ibu,
wartawan, hingga penyair tampil membaca puisi dalam perayaan yang dipusatkan di
Lorong Jalan Daeng Jakking, Parang Tambung, Makassar, Ahad, 26 September 2021.
Founder Komunitas Anak
Pelangi (K-Apel), Rahman Rumaday, bahkan membaca puisi sebelum memberi
sambutan. Bang Mamang, begitu dia disapa, membaca puisi bersama Bu Suriati
Tube, berjudul “Kuntu Tojeng.”
Ide puisi dua bahasa, Bahasa
Makassar dan Bahasa Indonesia itu, muncul ketika dia tengah melintas di depan Gedung
DPRD Kota Makassar, Jl AP Pettarani.
“Saya dapat ide menulis
puisi ini saat lewat di depan Kantor DPRD Kota Makassar,” kisah Bang Maman.
Wartawan dari media daring,
Arwan Daeng Awing, juga didaulat membaca
puisi. Dia memang terlihat membawa pena dan selembar kertas folio, saat berada
di lokasi acara. Dia lalu mencari tempat yang cukup nyaman di pojok depan rumah
salah seorang warga untuk menggoreskan puisinya.
Hasilnya, lahir puisi
berjudul “Anda Kapan Saudaraku?” Sebelum puisi itu dia bacakan, dia terlebih
dahulu mengajak Bang Maman naik di atas panggung. Puisi yang menggugat dan
menggugah itu cukup menghibur penonton.
“Tuhan telah menciptakan
pelangi untuk mewarnai langit, dan Tuhan menciptakan wanita untuk mewarnai
perjalanan hidupmu,” begitu sebagian kutipan puisi Arwan Daeng Awing.
Masih ada lagi dari
kalangan ibu-ibu, yang tampil membaca puisi, yakni Bu Jawari dan Bu Rostina.
Keduanya membaca puisi dua bahasa berjudul, “11 Tahun Bersamamu”. Puisi
persembahan untuk K-Apel itu dibaca penuh haru, sedangkan Bu Hamriana dan Bu
Rahmatia membaca puisi berjudul “Lakekimae” karya Syahrir Patakaki Daeng Nassa.
Puisi ini dimuat dalam buku Sanja Mangkasara “Attayang Ri Masunggua.”
Dua anak binaan K-Apel,
Putra dan Uga, juga dengan lantang membaca puisi “Panggil Aku Daeng” karya
Rusdin Tompo. Puisi tentang pentingnya menjaga nilai budaya Sulawesi Selatan
dan jati diri sebagai orang Makassar itu, mampu dibawakan keduanya dengan baik.
Putra dan Uga tampil dengan mengenakan pakaian adat Sulawesi Selatan.
“Selama ini, puisi
Panggil Aku Daeng dibawakan oleh orang dewasa. Ternyata, dibacakan oleh
anak-anak juga cocok,” ujar Rusdin Tompo, aktivis dan penggiat literasi dari
Komunitas Puisi (KoPi) Makassar, yang hadir di antara undangan.
Penyair Syahrir Patakaki
Daeng Nassa, yang diundang untuk membaca sanja Mangkasara, mengaku senang
melihat penampilan warga membaca puisi.
Hari itu, lelaki
berkacamata yang hobi mengenakan topi itu, membaca puisi karyanya berjudul “Pakkallik”
atau “Benteng”. Puisi ini, katanya, akan dimasukkan ke buku keduanya, yang tak
lama lagi bakal diterbitkan.
Rosita Desriani dan
Muhammad Naafi Ramadhan, merupakan dua pembaca puisi yang juga sengaja diundang
tampil dalam acara yang dihadiri oleh Lurah Parang Tambung, Isvan Qadar
Djachrir, dan anggota DPRD Kota Makassar, Yeni Rahman.
Rosita Desriani membaca
puisi “Pestaku Dukaku Sendiri” karya Aliem Prasasti, sedangkan Muhammad Naafi
Ramadhan membaca puisi karya Ram Prapanca berjudul, “Sukmaku di Tanah Makassar.”
Undangan yang hadir dalam
acara peringatan 11 tahun K-Apel ini, tampaknya cukup terhibur dengan sajian
parade pembacaan puisi ini. Mereka menyimak saat puisi dibacakan, dan memberi
aplaus begitu selesai dibacakan.
Para undangan, antara
lain, Ketua LPM Barombong, Syamsul A Mansyur Daeng Ngawing, pustakawan Dinas
Perpustakaan Kota Makassar, Tulus Wulan Juni, serta pustakawan Dinas
Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulsel, Zahir Juwana.
Selain itu, hadir Kabag
Pengelolaan Limbah dan Sampah DPLH Sulsel, Dra Rahmawaty MSi, Kabag Umum KPPN
Makassar II, Gunawan Setiono, dan wartawan senior M Rusdy Embas.
“Banyak ibu-ibu yang mau
tampil baca puisi. Cuma waktunya dibatasi, jadi hanya beberapa yang tampil,”
ungkap Rahman Rumaday. (rt)