Setelah beristirahat beberapa hari, mulailah para pedagang menuju ke pasar. Walaupun ini adalah pengalaman pertama, Muhammad sama sekali tidak bingung dengan tugasnya. Maisarah tercengang melihat kelihaian Muhammad mengambil keputusan, pikirannya yang tajam, serta kejujurannya. Semua barang yang mereka bawa laku terjual dengan jumlah keuntungan yang belum pernah didapatkan Khadijah sebelum itu. (int)
--------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 09 Oktober 2021
Kisah
Nabi Muhammad SAW (21):
Khadijah
Pilih Muhammad sebagai Pemimpin Kafilah Dagangnya
Penulis:
Abdul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi
Pada musim semi tahun 595 Masehi, para pedagang Mekah
kembali mulai menyusun kafilah perdagangan musim panas mereka, untuk membawa
barang dagangan ke Syria. Khadijah juga sedang mempersiapkan barang
dagangannya, tetapi ia belum menemukan seseorang untuk menjadi pemimpin
kafilahnya. Beberapa nama diusulkan orang, namun, tidak satu pun yang berkenan
di hatinya.
Mendengar itu, Abu Thalib mendatangi Khadijah dan
menawarkan kepadanya Muhammad, keponakannya yang baru berusia 25 tahun, untuk
menjadi agen Khadijah. Abu Thalib tahu bahwa Muhammad belum cukup
berpengalaman, tetapi ia sangat yakin bahwa Muhammad lebih dari sekadar mampu.
Sebagaimana penduduk Mekah yang lain, Khadijah pun
telah mendengar nama Muhammad. Satu hal yang Khadijah yakin adalah kejujuran
Muhammad. Bukankah orang Mekah menjulukinya “Al Amin” atau “Orang yang bisa
dipercaya.”
Maka, Khadijah menyetujui tawaran Abu Thalib. Bahkan
ia hendak memberi imbalan dua kali lipat kepada Muhammad dari yang biasa
diberikan kepada orang lain. Oleh karena itu, Abu Thalib pulang dengan gembira.
Segera saja Abu Thalib dan Muhammad menemui Khadijah
yang kemudian menerangkan tentang seluk beluk perdagangan. Otak Muhammad yang
cerdas bekerja dengan tangkas. Ia segera memahami semuanya. Tidak satu
penjelasan pun yang ia minta untuk diterangkan ulang.
Maka, kafilah pun disiapkan dengan suara riuh rendah.
Khadijah menyertakan seorang pembantu laki-lakinya yang terpercaya, Maisarah,
untuk mendampingi Muhammad di perjalanan.
Diantar Abu Thalib dan paman-pamannya yang lain,
Muhammad datang pada hari yang telah ditentukan. Mereka disambut seorang paman
Khadijah yang sedang menanti mereka dengan surat-surat perdagangan.
Pemimpin kafilah membunyikan tanda dan semuanya segera
berangkat. Pada musim panas, kafilah Mekah berangkat menjelang senja dan terus
berjalan pada malam hari. Mereka beristirahat pada siang hari karena perjalanan
siang akan sangat melelahkan semua orang.
Maka, berangkatlah Muhammad menempuh jalur yang pernah
ditempuh bersama pamannya 13 tahun yang lalu.
Imbalan
untuk Muhammad
Imbalan yang diberikan Khadijah untuk seorang agen
adalah dua ekor unta. Akan tetapi, Abu Thalib minta empat ekor unta. Maka,
Khadijah pun menjawab, “Kalau permintaan itu bagi orang yang jauh dan tidak
kusukai saja akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan kusukai.”
Berdagang
ke Syam
Dalam perjalanan, Muhammad mengenali bahwa Maisarah
adalah teman yang baik. Dengan senang hati, Maisarah menunjukkan dan
menceritakan sejarah berbagai tempat menarik yang mereka lewati. Muhammad juga
menemui bahwa anggota kafilah yang lain sangat ramah dan akrab terhadapnya.
Setelah satu bulan berjalan, tibalah mereka di Syria. Setelah
beristirahat beberapa hari, mulailah para pedagang menuju ke pasar. Walaupun
ini adalah pengalaman pertama, Muhammad sama sekali tidak bingung dengan
tugasnya.
Maisarah tercengang melihat kelihaian Muhammad
mengambil keputusan, pikirannya yang tajam, serta kejujurannya. Semua barang
yang mereka bawa laku terjual dengan jumlah keuntungan yang belum pernah
didapatkan Khadijah sebelum itu.
Setelah itu, Muhammad membeli barang-barang
berkualitas yang akan dibawa pulang ke Mekah untuk dijual dengan harga tinggi.
Di Syria, setiap orang yang berjumpa dengan Muhammad
pasti sangat terkesan olehnya. Penampilan Muhammad sangat mempesona, ramah, dan
sangat besar perhatiannya pada setiap orang.
Di tengah-tengah kesibukan itu, Maisarah melihat bahwa
Muhammad selalu memanfaatkan setiap waktu senggang untuk menyendiri dan
berpikir. Ini benar-benar tidak lazim bagi Maisarah. Ia tidak menyadari bahwa
tuan mudanya ini memang sangat terbiasa meluangkan waktu untuk memikirkan nasib
umat manusia.
Muhammad juga amat heran melihat perpecahan berbagai
kelompok Nasrani di Syria. Setiap masing-masing dari mereka memiliki jalan dan
pendapat sendiri, padahal seharusnya mereka bergabung dalam satu kelompok.
Manakah yang paling benar dari semuanya itu. Pikiran-pikiran seperti ini
membuat mata Muhammad selalu terbuka pada saat orang-orang lain terlelap tidur.
Akhirnya, waktu untuk pulang pun tiba. Oleh-oleh untuk
handaitaulan pun dibeli dan semua barang dikemas. Waktu pulang adalah waktu
yang paling menggembirakan karena mereka akan berjumpa lagi dengan orang-orang
tercinta di kampung halaman. Mereka tidak sabar lagi mendengar tawa ria
anak-anak mereka saat kembali nanti dan mereka sadar jika waktu itu tiba, tidak
akan kuat lagi mereka menahan air mata.
Hari
Jum’at
Hari Jum’t pada zaman jahiliyah adalah hari bersuka
ria di seluruh jazirah. Semua orang sibuk di pasar.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa, pernah terjadi, khutbah Jum’at Rasulullah hampir terganggu, karena saat itu datang kafilah membawa barang dagangan. Pada hari Jum’at, semangat berdagang mengaliri darah semua orang pada saat itu. (bersambung)
Kisah Nabi Muhammad (22):
Pernikahan Muhammad dengan Khadijah Binti Khuwailid
Kisah sebelumnya: