------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 22 Oktober 2021
KALAM
Menyikapi
Perbedaan Pendapat tentang Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Wakil Ketua Majelis
Pustaka dan Informasi Muhammadiyah Sulsel)
Sudah kodratnya manusia
berbeda-beda satu sama lain, mulai dari perbedaan warna kulit, perbedaan bahasa,
hingga perbedaan pendapat. Perbedaan tersebut telah disebutkan Allah dalam
Surah Al-Hujurat, surah ke-49 dalam Al-Qur’an, ayat ke-13.
“Wahai
manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha
Teliti.”
Meskipun berbeda, bukan
berarti kita harus berselisih, bukan berarti kita harus berperang satu sama
lain. Sebaliknya, perbedaan itu seharusnya membuat kita saling kenal, saling
akrab, dan saling bergandengan tangan satu sama lain.
Sayangnya, perbedaan itu
kerap menonjol, antara lain dalam menafsirkan suatu amalan agama. Salah satu
perbedaan yang kita hadapi sebagai sesama umat Islam yaitu peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW.
Ada yang menganggap acara
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW atau peringatan hari kelahiran Rasulullah
SAW, sebagai bentuk kecintaan kita kepada Rasulullah SAW.
Ada pula yang berpendapat
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai sesuatu yang diada-adakan dan masuk
dalam kategori bid’ah, karena tidak ada tuntunannya, tidak pernah diadakan pada
zaman Nabi, tidak pernah diadakan pada masa Khulafaur Rasyidin, dan juga tidak
pernah diadakan pada masa tabi’in, dan tabi’ut tabi'in.
Empat imam mahzab pun
tidak ada yang merayakannya, mulai dari Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’i, sampai Imam Ahmad. Dengan demikian, kalau memang tidak ada dasarnya,
mengapa kita mengadakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Maka sejak zaman
Rasulullah hingga saat ini, di Arab Saudi, tidak ada acara peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW. Lalu mengapa di banyak negara, termasuk di Indonesia, banyak
orang yang mengadakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW?
Ini terjadi karena berangkat
dari alasan atau pandangan yang berbeda, maka timbullah perbedaan pendapat.
Pertanyaannya, bagaimana kita menyikapi perbedaan pendapat itu?
Allah berfirman dalam
Surah An-Nisa, Surah ke-4 dalam Al-Qur’an, ayat ke-59:
“Wahai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Kalau terjadi perbedaan
pendapat, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. Carilah dalil-dalilnya
dalam Al-Qur’an. Carilah dalil-dalilnya dalam hadits.
Kalau ternyata tidak ada
dalilnya, tidak ada perintahnya, tidak disunnahkan, maka sebaiknya jangan
diadakan, tapi kalau tetap mau diadakan dengan alasan peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW adalah bentuk kecintaan kepada Rasulullah, maka silakan diadakan.
Jangan karena perbedaan
pendapat itu, lalu kita berselisih. Jangan karena perbedaan itu, lalu saling
bermusuhan satu sama lain. Jangan karena perbedaan pendapat itu, lalu kita
tidak saling menyapa.
Tugas kita hanya
menyampaikan atau mengemukakan pendapat sesuai dalil yang kita ketahui dan kita
yakini kebenarannya. Kalau ada pendapat lain, silakan saja.
Kalau mau mengadakan
acara peringatan Maulid, silakan saja, tapi kita tetap berteman, kita tetap
bersahabat, kita tetap bersama-sama shalat berjamaah di masjid, kita tetap
bersama-sama dan akrab sebagai tetangga dalam satu kompleks perumahan.
Imam
Malik dan Imam Syafi’i
Mengenai bagaimana
menghadapi atau menyikapi perbedaan pendapat, ada satu kisah menarik yang
sangat baik untuk kita contoh. Kisah antara Imam Malik dan Imam Syafi’i. Imam
Malik adalah guru dari Imam Syafi’i. Imam Malik wafat pada tahun 179 Hijriyah,
sedangkan Imam Syafi’i wafat pada tahun 204 H.
Suatu hari, Imam Malik
menyampaikan bahwa rezeki sudah diatur oleh Allah. Rezeki bisa datang tanpa
sebab, dan manusia cukup bertawakkal dengan benar, lalu Allah akan memberinya
rezeki.
“Lakukan yang menjadi
bagianmu, selanjutnya biarkan Allah mengurus yang lainnya,” ujar Imam Malik.
Bukan tanpa landasan,
pendapat Imam Malik tersebut berdasarkan hadits Rasulullah, “Andai kalian
bertawakkal kepada Allah sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Allah akan berikan
rezeki kepada kalian, sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung yang
pergi dalam keadaan lapar lalu pulang dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad).
Namun ternyata Imam
Syafi’i, sang murid, memiliki pendapat lain. Menurutnya, seandainya burung
tersebut tidak keluar dari sangkar, niscaya ia tidak akan mendapat rezeki.
Menurut Imam Syafi’i, untuk
mendapat rezeki, dibutuhkan usaha dan kerja keras. Ia mengatakan, rezeki tidak datang
sendiri, tapi harus dicari.
“Wahai guru, seandainya
seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan
mendapatkan rezeki?” demikian sanggahan Imam Syafi’i.
Keduanya tetap pada
pendapat masing-masing, tapi tak nampak rasa kesal dan benci satu sama lain
karena perbedaan pandangan tersebut.
Pada suatu hari, Imam
Syafi’i berjalan-jalan. Ia melihat sekelompok orang tengah memanen buah anggur.
Tanpa diminta, Imam Syafi’i berinisiatif membantu mereka. Setelah selesai, ia
diberikan beberapa ikat anggur sebagai imbalan.
Kejadian ini mengingatkan
Imam Syafi’i tentang pendapatnya seputar rezeki. Pendapatnya terbukti dengan
dirinya yang berinisitif membantu sekelompok orang tadi. Jika ia tidak berusaha
membantu, tentu ia tidak akan mendapat beberapa ikat anggur.
Imam Syafi’i senang bukan
main. Ia lantas bergegas menemui sang guru. Hendak membenarkan pendapatnya
tersebut.
Kemudian dijumpainya Imam
Malik yang tengah duduk santai. Sambil menaruh seluruh anggur yang didapatnya,
ia menceritakan kisahnya barusan. Dan keduanya pun makan anggur bersama-sama.
Imam Safi’i mengatakan, “Seandainya
saya tidak keluar pondok dan melakukan sesuatu, tentu saja anggur itu tidak akan
pernah sampai di tangan saya.”
Mendengar ujaran
tersebut, Imam Malik hanya tersenyum. Ia kemudian menimpali, “Seharian ini aku
tidak keluar pondok dan hanya mengambil tugas sebagai guru, dan sedikit
membayangkan alangkah nikmatnya jika di hari yang panas ini, aku bisa menikmati
anggur. Tiba-tiba engkau datang sambil membawa anggur untukku. Bukankah ini juga
bagian dari rezeki yang datang tanpa sebab?”
“Cukuplah dengan tawakkal
yang benar, niscaya Allah akan memberikan rezeki. Lakukan yang menjadi
bagianmu, selanjutnya biarkan Allah yang mengurus lainnya,” tambah Imam Malik
sambil tersenyum.
Keduanya lantas tertawa
bersama. Masing-masing Imam Malik dan Imam Syafi’i dapat membuktikan
pendapatnya.
Jadi kalau kita berbeda
pendapat, kita sudah kemukakan pendapat masing-masing, kita sepakat saja untuk tidak
sepakat, dan selanjutnya kita ketawa-ketawa saja bersama-sama. Tidak perlu
berselisih, tidak perlu bermusuhan. Kita ngopi dan ngobrol sama-sama lagi
seperti biasa.