Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dirilis Juni 2019, terungkap bahwa terdapat 2,3 juta pelajar dan mahasiswa yang pernah mengkonsumsi narkoba. Bahkan di masa pandemi Covid-19, penyalahgunaan narkoba malah mengalami peningkatan. Hal ini dibenarkan oleh BNN, sebab hingga Februari 2021, telah tercatat lebih dari 1 ton narkotika jenis sabu-sabu telah mereka sita.
-------
PEDOMAN KARYA
20 Mei 2021
Sabu-sabu dalam Regulasi dan Sains
Oleh: Muhammad Anugerah Alam Waris & Ray Anah Shad
Siapa yang tidak
menginginkannya? Namun apa yang terjadi jika mimpi dan harapan tak seindah
kenyataan?
UNODC (United
Nations Office on Drugs and Crime) telah mencatat bahwa Indonesia termasuk
dalam jajaran “segitiga emas” perdagangan narkoba bersama Jepang, Australia,
Selandia Baru, dan Malaysia.
Faktanya adalah
Indonesia menempati urutan ke-3 dalam penyalahgunaan narkoba setelah Meksiko
dan Kolumbia.
Berdasarkan hasil
survei yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dirilis Juni 2019, terungkap bahwa terdapat
2,3 juta pelajar dan mahasiswa yang pernah mengkonsumsi narkoba.
Bahkan di masa
pandemi Covid-19, penyalahgunaan narkoba malah mengalami peningkatan. Hal ini
dibenarkan oleh BNN, sebab hingga Februari 2021, telah tercatat lebih dari 1
ton narkotika jenis sabu-sabu telah mereka sita.
Narkoba jenis
sabu-sabu merupakan senyawa amfetamin dan turunannya, ataupun dalam bentuk
garamnya. Awal mulanya narkoba jenis ini diselundupkan dari luar Indonesia,
namun mirisnya, dewasa ini telah diproduksi di dalam negeri.
Sejatinya,
Amfetamin tergolong ke dalam Psikotropika golongan I berdasarkan Undang-Undang
No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Namun setelah terbitnya Undang-Undang
No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Amfetamin kemudian dimasukkan ke dalam
golongan Narkotika golongan I.
Hal ini didasari
pada fenomena tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang
dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih,
didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan
korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Wajar jika Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas
tindak pidana tersebut.
Sebagaimana yang
tertuang dalam pasal 12 ayat (1) UU No. 35 tahun 2009, narkotika golongan I
dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam
jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Proses pengawasan
produksi narkotika Golongan I untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara ketat oleh
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Pada sisi
pengembangan ilmu pengetahuan, lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan
dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh
pemerintah ataupun swasta, dapat memperoleh, menanam, menyimpan, dan
menggunakan narkotika untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah
mendapatkan izin Menteri Kesehatan.
Amfetamin pertama
kali ditemukan oleh Barger dan Dale pada tahun 1910. Molekul Amfetamin pertama
kali disintesis oleh ahli kimia GA Alles pada tahun 1927 sebagai pengganti
efedrin yang lebih murah dan lebih mudah disintesis.
Amfetamin
didaftarkan pertama kali menggunakan nama dagang Benzedrine®. Pada
tahun 1935 oleh perusahaan farmasi Smith, Kline dan French, memasarkan Benzedrine®
sebagai pengobatan untuk narkolepsi, depresi, parkinson pasca – ensefalitis dan
berbagai gangguan lainnya.
Amfetamina (Amphetamine),
senyawa dengan rumus molekul C9H13N, juga dikenal dengan
nama α-metil-fenetilamina, β-fenil-isopropilamina, atau benzedrin.
Bila ditinjau dari
rumus strukturnya, amfetamin merupakan senyawa hidrokarbon rantai siklik
golongan aromatik dengan rantai induk berupa cincin benzen dan memiliki gugus
-NH2.
Struktur kimia amfetamin
berperan penting dalam menentukan efek farmakologisnya. Rantai samping
merupakan penentu dari sifat fisiko-kimia substrat kompetitif untuk transporter
reuptake monoamin.
Selain itu, isomer
amfetamin juga memiliki kesamaan struktur dengan neurotransmitter katekolamin,
noradrenalin, dan dopamin. Alasan utama dilakukannya sintesis terhadap
amfetamin adalah strukturnya memiliki kesamaan dengan struktur bilogis aktif
dari efedrin.
Rumus Struktur Amfetamin
Kesamaan struktur dengan neurotransmitter katekolamin, noradrenalin, dan dopamine menjadi dasar cara kerja amfetamin. Amfetamin menyebabkan pelepasan monoamin melalui sitosol neuronal dari NET (Transporter Noreadrenalin), DAT (Transporter Dopamin), dan SERT (Transporter 5-HT) atau Serotonin Transporter.
Mekanisme
transportasi monoamine atau amfetamin ke saraf presinaptik terminal adalah
dengan cara satu molekul dari neurotransmitter monoamine atau amfetamin
berasosiasi dengan dua Na+ dan satu Cl-. Kompleks molekul
yang dihasilkan secara aktif akan diangkut ke terminal presinaptik oleh
transporter monoamin yang relevan.
Berdasarkan hasil
beberapa penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa mengkonsumsi amfetamin
dalam dosis yang besar, dapat meningkatkan pembentukan spesies oksigen reaktif,
sehingga menyebabkan aktivitas dopamin meningkat, terjadinya stres oksidatif
yang berujung pada kerusakan sel di dalam sitosol.
Hal ini memicu
terjadinya defisit persisten dari fungsi neuro dopaminergik. Akibatnya
kerusakan otak jangka panjang karena terdapat banyak sekali daerah kaya dopamin
dibagian penting otak, khususnya area yang mengatur gerakan, belajar, dan
memori tidak dapat dihindari.
Penggunaan
amfetamin dapat menimbulkan gangguan pada sistem saraf otonom berupa hipertensi,
takikardia, hipertermia, takipnea, dan vasokonstriksi.
Efek lain yang
ditimbulkan dari penggunaan amfetamin adalah euforia, meningkatnya energi dan
kewaspadaan, meningkatkan libido dan kepercayaan diri, meningkatnya kapasitas
fisik dan mental, dan peningkatan produktivitas.
Penggunaan dosis
yang tinggi secara terus-menerus akan menyebabkan efek euforia berkurang akan
tetapi efek toksiknya meningkat. Pemutusan penggunaan amfetamin dapat menimbulkan
gejala seperti disforia, depresi, mudah marah, cemas, sulit konsentrasi,
hipersomnia, kelelahan, paranoid, akatisia, dan keinginan yang kuat untuk
Kembali menkonsumsi amfetamin.
Overdosis akibat
penggunaan amfetamin dapat pula terjadi. Ciri-cirinya antara lain demam tinggi
disertai kemerahan pada wajah, nyeri kepala dan dada, gangguan berjalan, kaku
otot, tremor, spasme, kejang, panik, gelisah, sulit bernapas, serta gangguan
status mental.
Di balik bahaya
penggunaan amfetamin yang dapat menyebabkan ketergantungan ternyata terdapat
beberapa manfaat dalam bidang kesehatan.
Amfetamin juga digunakan pada kasus obesitas untuk mengurangi nafsu makan dan mengontrol berat badan. Namun di Indonesia amfetamin dijual dengan kemasaan injeksi dengan merk dagang generik, dan secara ilegal digunakan untuk kesenangan (Recreational Club Drug) serta menambah kepercayaan diri.