Gangguan Ummu Jamil dan Abu Lahab semakin menjadi jadi. Setiap kali Rasulullah ﷺ berjalan untuk menemui para pengikutnya, setiap itu pula beliau menemukan duri-duri bertebaran di jalan. Perlahan dan berhati-hati, Rasulullah ﷺ melangkah agar duri tidak menembus kakinya. Namun, hampir setiap kali pula dalam keadaan itu, kotoran dan batu melayang ke arah beliau.
-------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 04 November 2021
Kisah
Nabi Muhammad SAW (32):
Abu
Lahab Berupaya Menyakiti Rasulullah dan Keluarganya
Penulis:
Abdul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi
Dahsyatnya
Iman
Abu Thalib memanggil
Rasulullah dan berkata, “Muhammad, orang-orang Quraisy kembali datang padaku
dan mengatakan, 'Wahai Abu Thalib, engkau adalah orang terhormat dan terpandang
di kalangan kami. Oleh karena itu, kami meminta baik-baik kepadamu untuk
menghentikan keponakanmu itu, tetapi tidak juga engkau lakukan. Ingatlah, kami
tidak akan tinggal diam terhadap orang yang memaki nenek moyang kita, tidak
menghargai harapan-harapan kita, dan mencela berhala-berhala kita. Suruh diam
dia atau kami lawan dia hingga salah satu pihak nanti binasa!”
Abu Thalib memandang
wajah keponakannya lekat-lekat, hampir seperti memohon, lalu katanya, “Jagalah
aku, nak. Jaga juga dirimu. Jangan Aku dibebani dengan hal-hal yang tidak dapat
kupikul.”
Rasullullah tertegun.
Beliau tahu, pamannya seolah sudah tidak berdaya lagi membelanya. Pamannya
hendak meninggalkan dan melepasnya.
Sementara itu, kaum
muslimin masih lemah dan belum mampu membela diri. Namun, semua diserahkan pada
kehendak Allah. Rasullullah bertekad untuk terus berdakwah. Lebih baik mati
membawa iman daripada menyerah atau ragu-ragu.
Oleh karena itu, dengan
seluruh kekuatan jiwa, Rasulullah berkata, “Paman, demi Allah, kalau pun mereka
meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku
meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan. Biar nanti Allah yang
akan membuktikan apakah kemenangan itu ada di tanganku atau aku binasa
karenanya.”
Begitulah kedahsyatan
iman Rasulullah. Abu Thalib sampai tertegun dan gemetar mendengar tekad keponakannya
itu. Rasulullah pergi sambil menitikkan airmata, tetapi Abu Thalib memanggilnya
kembali sambil berkata, “Anakku katakanlah sekehendakmu. Aku tidak akan
menyerahkan engkau apa pun yang terjadi.”
Utsman
dan Ruqayyah
Sore itu, Rasulullah
pulang ke rumah dengan hati yang sangat sedih. Seharian, beliau melihat para
pengikutnya disiksa.
Betapa berat penderitaan
orang-orang Muslim saat itu. Khadijah menghampiri suaminya tercinta. Dihibur
dan dikuatkannya kembali diri Rasulullah .
Tiba-tiba, pintu terbuka.
Ruqayyah, putri kedua Rasulullah, tiba-tiba masuk sambil menangis. Ruqayyah
mendekap pangkuan ibunya sambil menangis tersedu-sedu.
“Ada apa, sayang?” tanya
Khadijah begitu lembut, menutupi kekhawatirannya sendiri akan berita buruk yang
dibawa putrinya itu.
“Suamiku menceraikan aku,
bunda. Ayah mertuaku, Abu Lahab, menyuruh suamiku menceraikan aku dan suamiku
menurut. Ia dijanjikan akan dinikahkan kembali dengan putri bangsawan,” isak
Ruqayyah.
Rasulullah dan Khadijah
saling bertatapan sedih. Sudah sekejam itu Abu Lahab bertindak untuk menyakiti
Rasulullah dan keluarganya.
“Ummu Jamil, ibu
mertuaku, merobek-robek bajuku,” lanjut Ruqayyah pilu.
Dia melanjutkan, “Abu
Lahab memukuliku. Abu Lahab, Ummu Jamil, dan suamiku, Utbah, bersumpah tidak
akan menerima lagi kehadiranku selama ayah masih tetap mendakwahkan Islam.”
Seberapa pun tabahnya
Khadijah, akhirnya air matanya menitik juga melihat putrinya yang kini menjadi
orang terusir. Dengan lembut, Rasulullah memeluk putrinya itu dan menghapus air
mata di pipinya.
“Aku lebih sayang ayah
dan bunda daripada siapa pun di dunia ini,” bisik Ruqayyah kepada Rasulullah.
Dengan hati pilu,
Rasulullah pergi menemui Abu Bakar. Rasulullah menceritakan kejadian yang
menimpa Ruqayyah.
“Ya Rasulullah,” kata Abu
Bakar dengan lembut, “Sebenarnya, dari dulu, Utsman bin Affan sudah menaruh
hati pada Ruqayyah, tetapi Utbah mendahuluinya. Utsman sangat menyesal tidak
dapat menyunting putri Anda.”
Mendengar penuturan Abu
Bakar, Rasulullah pun kemudian menikahkan Utsman dengan Ruqayyah. Untuk
sementara, berakhir satu kesedihan.
Masih banyak lagi cobaan
dan ujian lain yang akan mendera Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya.
Duri-duri
di Jalan
Gangguan Ummu Jamil dan
Abu Lahab semakin menjadi jadi. Setiap kali Rasulullah ﷺ berjalan untuk menemui
para pengikutnya, setiap itu pula beliau menemukan duri-duri bertebaran di
jalan.
Perlahan dan
berhati-hati, Rasulullah ﷺ melangkah agar duri tidak menembus kakinya. Namun,
hampir setiap kali pula dalam keadaan itu, kotoran dan batu melayang ke arah
beliau.
Suara tawa melengking
terdengar jika Rasulullah ﷺ tengah sibuk menghindari lemparan batu dan kotoran.
Sambil menghapus kotoran yang melekat di pakaian, Rasulullah menoleh ke arah
suara tawa.
Ummu Jamil dan Abu Lahab
kelihatan begitu menikmati penderitaan Rasulullah ﷺ. Ummu Jamil berpakaian
mencolok dan selalu menatap Rasulullah ﷺ dengan tatapan menghina.
“Lihat!” lengking Ummu
Jamil, “Inilah Muhammad, anak gembel yang berani membawa agama baru! Agama yang
dikiranya dapat menyamakan kedudukan para bangsawan dan budak!”
Rasulullah ﷺ tidak
berkata apa-apa untuk membalas. Beliau hanya balik menatap dengan tatapan yang
tajam.
“Percuma kamu banyak
berkata, istriku! Telinganya sudah tuli!” sembur Abu Lahab. Setelah itu, ia
berteriak kepada para budaknya, “Hai, para budak! Lanjutkan kesenangan kalian!”
Seketika itu juga, budak-budak kuat bertubuh besar milik Abu Lahab dan Ummu Jamil kembali melempari Rasullulah ﷺ dengan batu, kotoran, dan pasir. Diperlakukan seperti itu, Rasulullah ﷺ tidak membalas sedikit pun. Beliau hanya menghindar, menahan sakit, seraya bersabar dan terus bersabar. (bersambung)
Kisah sebelumnya: