---------
PEDOMAN KARYA
Senin, 22 November 2021
KULTUM
Hati-hatilah
dalam Menerima dan Meneruskan Informasi
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Wakil Ketua Majelis
Pustaka dan Informasi Muhammadiyah Sulsel)
Kita sekarang hidup di
era teknologi informasi. Kita semua punya hape (handphone) atau ponsel (telepon
genggam), bahkan tidak sedikit di antara kita yang memiliki dan selalu membawa
lebih dari satu hape.
Bukan hanya kita yang
sudah dewasa, anak-anak pun umumnya sudah kita bekali hape, karena proses
belajar mengajar di sekolah kini sudah banyak menggunakan perangkat hape,
apalagi selama masa pandemi Covid-19.
Melalui hape, kita dapat
mencari, menemukan, mengolah, dan meneruskan informasi, bahkan tidak dicari pun, kita
selalu menerima informasi melalui jaringan media sosial yang ada di hape kita,
seperti WhatsApp (WA), Facebook (FB), Instagram (IG), Twitter, dan beberapa media
sosial lainnya.
Maka bersyukurlah kita
yang mendapati era teknologi informasi, karena dapat dengan mudah mencari dan
menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan melalui jaringan internet di hape.
Kita juga bersyukur,
karena tanpa mencari pun, kita akan selalu menerima informasi melalui jaringan
media sosial di hape kita.
Yang jadi masalah, tidak
semua informasi yang kita terima itu memang benar sesuai fakta. Tidak semua
informasi yang kita terima itu baik dan bermanfaat. Sebaliknya, boleh jadi, informasi
yang kita terima itu sebagian atau seluruhnya merupakan hoax atau bohong.
Boleh jadi, informasi
yang kita terima itu sama sekali tidak bermanfaat, bahkan kemungkinan akan
mencelakakan diri kita atau mencelakakan orang lain apabila informasi itu diteruskan.
Mengapa? Karena tidak
semua orang yang membuat dan menyebarkan informasi itu memang benar-benar
berniat baik dan dengan tujuan untuk kebaikan.
Bisa saja orang yang
membuat dan menyebarkan informasi itu adalah orang-orang fasik yang sengaja
menyebar informasi bohong untuk mencelakakan orang lain, untuk menyesatkan
pikiran orang lain.
Tentang hal ini, Allah
SWT memperingatkan dalam Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat, surah ke-49, ayat 6, “Wahai
orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa
suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu
kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu
itu.”
Jika ada ulama yang
ditangkap, dipenjara, diusir, atau lari dari negaranya, lalu kemudian
diinformasikan bahwa ulama itu melawan atau tidak mau bekerja sama dengan pemerintah,
janganlah kita langsung mempercayai informasi tersebut, apalagi sampai turut
menghakimi dan mengutuk ulama tersebut.
Imam
Syafi’i dan Imam Bukhari
Imam Syafi’i misalnya.
Salah satu imam mashab ini pernah dituduh sebagai pendukung Syi'ah oleh
pendengkinya, yakni Mutharrif bin Mâzin.
Mutharrif bin Mâzin memprovokasi
Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menangkap Imam Syafi`i dan orang-orang alawiyin.
Maka diutuslah Hammad al-Barbari untuk menangkap Imam Syafi`i dan orang-orang
alawiyin.
Imam Syafi`i bersama
orang alawiyin dirantai dengan besi dan dibawa dari Yaman hingga Raqqah,
kediaman Harun Ar-Rasyid. Bayangkan, betapa sengsaranya dirantai dengan besi
dari Yaman hingga Baghdad. Itu terjadi karena raja mempercayai laporan dan hasutan
seorang fasik bernama Mutharrif bin Mâzin.
Contoh lain yaitu Imam
Bukhari. Orang yang banyak meriwayatkan hadits ini terpaksa pergi dari
negerinya karena “berusaha disingkirkan” oleh Penguasa Dhahiriyah di Bukhara
saat itu, yakni Khalid bin Ahmad al-Dzuhali.
Penyebabnya, Imam Bukhari
menolak permintaan Khalid untuk mengajar kitab “al-Jâmi`” dan “al-Târîkh” di
rumah sang penguasa. Bukhari beralasan, seharusnya yang butuh ilmulah yang
mendatanginya, bukan ulama yang mendatangi orang yang butuh ilmu. Karena
perbedaan pendapat itulah dan demi keselamatan dirinya, maka Imam Bukhari pergi
meninggalkan negerinya.
Jalaluddin
Rumi dan Guru Syams Tabrizi
Contoh lain yaitu kisah
yang dialami Jalaluddin Rumi dan gurunya, Syams Tabrizi. Jalaluddin yang
bernama asli Jalāl ad-Dīn Mohammad Rūmī yang hidup pada abad ke-13 (lahir 30
September 1207, dan wafat pada 17 Desember 1273), adalah seorang penyair sufi
Persia, seorang teolog, dan seorang ulama.
Suatu hari, Jalaludin
Rumi ketika masih muda, mengundang gurunya, Syams Tabrizi ke rumahnya. Sang guru
pun memenuhi undangan tersebut dan mendatangi kediaman Rumi. Setelah makanan
sudah siap, Syams Tabrizi lalu mengatakan sesuatu pada muridnya itu.
“Apakah kau bisa
menyediakan arak untukku?” kata sang guru.
Rumi cukup kaget
mendengarnya, “Memangnya Anda juga minum (arak)?”
“Iya”, jawab Syams.
Rumi masih terkejut,
“Maaf, saya tidak mengetahuinya.”
“Sekarang kau sudah tahu.
Maka sediakanlah,” kata Syams
Rumi pun masih bertanya,
“Di waktu malam seperti ini, dari mana aku bisa mendapatkan arak?”
“Perintahkan saja salah
satu pembantumu untuk membelinya,” sang guru menimpali.
Karena merasa wibawanya
bisa jatuh, Rumi pun mengelak, “Bagaimana mungkin. Kalau itu saya lakukan, maka
kehormatanku di hadapan para pembantuku akan hilang.”
“Kalau begitu, kau
sendiri pergilah keluar untuk membeli minuman itu,” kata sang guru.
“Seluruh kota ini
mengenalku. Bagaimana bisa aku keluar membeli minuman?” Rumi masih merasa ragu.
Sampai disini sang guru
mulai tegas, “Kalau kau memang muridku, kau harus menyediakan apa yang aku
inginkan. Tanpa minum, malam ini aku tidak akan makan, tidak akan berbincang,
dan tidak bisa tidur.”
Karena kecintaannya kepada
Syams, gurunya, akhirnya Rumi memakai jubahnya, menyembunyikan botol di balik
jubah tersebut. Ia pun lalu berjalan ke arah pemukiman kaum Nasrani.
Sebelum Rumi masuk ke
pemukiman tersebut, tidak ada yang berpikir macam-macam terhadapnya. Namun
begitu ia masuk ke pemukiman kaum Nasrani, beberapa orang yang melihat terkejut
dan akhirnya menguntitnya dari belakang.
Mereka melihat Rumi masuk
ke sebuah kedai arak. Ia terlihat mengisikan botol minuman kemudian ia
sembunyikan lagi di balik jubah.
Setelah keluar dari kedai
arak itu, ia diikuti terus oleh orang-orang yang jumlahnya semakin banyak.
Hingga sampailah Rumi di depan masjid tempat dimana ia menjadi imam bagi
masyarakat kota.
Tiba-tiba salah seorang
yang mengikutinya berteriak sambil menyingkap jubah Rumi: “Ya ayyuhan naas,
Syeikh Jalaluddin Rumi yang setiap hari jadi imam shalat kalian baru saja pergi
ke perkampungan Nasrani dan membeli minuman.”
Orang-orang akhirnya
melihat botol yang dipegang Rumi. “Orang yang mengaku ahli zuhud dan kalian
menjadi pengikutnya ini membeli arak dan akan dibawa pulang, orang itu kembali
menambah perkataannya.
Orang-orang kemudian silih
berganti meludahi muka Rumi dan memukulinya hingga sorban yang ada di kepalanya
lengser ke leher.
Melihat Jalaluddin Rumi
yang hanya diam saja tanpa melakukan pembelaan, orang-orang semakin yakin bahwa
selama ini mereka ditipu oleh kebohongan Rumi dan ajarannya. Mereka benar-benar
tanpa belas kasihan terus menghajar Rumi, bahkan ada yang berniat membunuhnya.
Kemudian Syams Tabrizi
tiba-tiba datang ke kerumunan itu sambil berkata, “Hai orang-orang yang tak
tahu malu. Kalian telah memfitnah seorang alim dengan tuduhan minum arak.
Ketahuilah bahwa botol itu hanya berisi cuka untuk memasak.”
Namun beberapa di antara
orang-orang itu tetap mengelak. Akhirnya Syams mengambil botol tersebut dan
membuka tutupnya. Dia menuangkan isi dari botol itu di tangan orang-orang.
Ternyata botol itu memang benar berisi cuka.
Akhirnya mereka sangat
menyesal dan mulai memukuli kepala mereka sendiri. Orang-orang bersimpuh di
kaki Rumi. Mereka menangis dan saling berdesakan untuk meminta maaf kepada alim
tersebut dan menciumi tangan sang sufi. Kemudian mereka pun pergi satu per
satu.
“Ya Syaikh malam ini
engkau telah menyebabkan aku terjerumus dalam permasalahan yang besar.
Kehormatan dan nama baikku menjadi ternoda. Mengapa kau melakukan semua ini?”
tanya Rumi pada gurunya.
“Supaya kau paham bahwa
wibawa itu hanyalah khayalan semata. Selama ini mungkin kau berpikir kalau
penghormatan dari orang-orang seperti mereka adalah sesuatu yang abadi. Sekarang
bisa kau lihat sendiri bukan?” kata sang guru.
Tabrizi kembali
melanjutkan, “Padahal, hanya karena dugaan satu botol minuman saja, semua
penghormatan itu sirna dan mereka jadi meludahimu, memukuli kepalamu, dan
hampir saja membunuhmu. Inilah kebanggaan yang selama ini kau perjuangkan dan
akhirnya lenyap dalam sesaat. Bersandarlah pada yang tidak tergoyahkan oleh
waktu dan tidak terpatahkan oleh perubahan zaman.”
Telitilah
Kebenaran Setiap Informasi
Dari tiga kisah ini,
kiranya kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa tidak semua informasi yang kita
terima itu benar, tidak semua baik, dan tidak semua bermanfaat.
Maka sesuai peringatan
Allah SWT dalam Surah Al-Hujurat, surah ke-49, ayat 6, telitilah setiap
informasi yang datang atau kita terima. Jika tidak yakin akan kebenaran dan
manfaatnya, maka janganlah diteruskan informasi tersebut.
Karena boleh jadi,
informasi yang kita percayai dan kita teruskan itu akan mencelakakan diri kita,
mencelakakan orang lain, bahkan boleh jadi akan mencelakakan suatu kaum, akibat
kebodohan atau kecerobohan kita, yang akhirnya kita menyesalinya di kemudian
hari.
Serin membaca kisah2 diatas tp tetap masih menyentuh hati. Jazaakallahu khair ustadz. Syukran 🙏🙏
BalasHapus