-------
PEDOMAN KARYA
Senin, 29 November 2021
Mike
Turusy, Nama dan Kebaikanmu Selalu Ada di Ingatan dan Hatiku
Oleh:
Ridwan Demmatadju
(Seniman, tinggal di
Kolaka, Sulawesi Tenggara)
Nama Mike Turusy di jagat seni
rupa Indonesia tentunya sudah tercatat sebagai pelukis realis, meski ia kini
berdiam di antara dua kota, Makassar dan Tana Toraja, sebagai tempatnya berkarya.
Di Tana Toraja pula ia tutup usia pada Ahad sore, 28 November 2021.
Sebagai kawan, sahabat,
sekaligus tempatku berguru soal seni lukis, rasa duka dan kehilangan sosoknya
begitu dalam kurasakan, sejak Ahad sore saat kubaca postingan status Mas Halim
HaDe di akun FB-nya.
Seketika itu, ingatan
yang masih membekas bersama Mike Turusy terus bermunculan di lintasan kenangan.
Pertama kali saya bertemu dan kenal dengannya di sebuah cafetaria kampus
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) IKIP Ujungpandang, di Parang
Tambung, Makassar.
Saat itu lagi berlangsung
pameran seni rupa dan ia hadir atas undangan pantia. Usai pembukaan dan melihat
sejumlah lukisan yang dipamerkan, Mike bersama salah satu dosen seni rupa, Pak
Dicky Tjandra, terlihat berjalan masuk di cafetaria yang letaknya pas berhadapan
gedung pameran dan memesan kopi.
Saya sudah lebih dulu
ngopi di satu meja panjang tempat dia dan Pak Dicky duduk. Keduanya, asyik
bercerita soal ide dan konsep lukisan yang dipamerkan, tentu sebagai mahasiswa
minor seni rupa, perbincangan kedua orang hebat ini tentu saja menarik dan saya
menyimaknya secara saksama.
Bukan Mike Turusy kalau
tidak ada perdebatan dalam setiap dialog dengan siapa saja, asalkan berkaitan
soal idealisme sebagai seniman lukis di Makasaar.
Begitulah, yang terjadi
saat pertama kali saya melihat Mike dengan Pak Dicky beradu argumentasi sambil
ngopi.
Sembari saya menyimak
perbincangan mereka berdua, saya suka dengan gaya berpakaiannya yang nyentrik.
Di jemari tangannya terlihat cincin tengkorak terbuat dari besi putih, di
lehernya terjulur kalung unik, di jaket jeans lusuh yang dia kenakan saat itu
dipadukan celana jeans sobek dilutut, sepatu jungle boots selalu ia pakai
sampai akhir hayatnya.
Sebagai seniman tentu
rambutnya gondrong dan berjangut dan membawa tas rajutan suku dayak. Yang pasti
American style-ya tetap konsisten sampai akhir hayatnya.
Saat pertama kali saya
bertemu dan ngopi satu meja dengannya, sengaja saya tak mau bertanya atau sekadar
agar dia memperkenalkan diri, karena nama Mike Turusy sudah lama saya dengar
dari mahasiswa seni rupa yang lebih senior dari saya.
Toh akhirnya keyakinan
saya itu terjawab semua saat saya jadi salah satu penghuni sebuah art gallery
di bilangan Jalan Cendrawasih, Makassar, milik Wawan Darmawan. Di situlah
terjalin rasa akrab dan bersahabat sampai sekarang, sampai ia telah berpulang
kembali kepada Pemilik Alam Semesta.
Dari Mike Turusy-lah saya
belajar hidup sebagai seniman lukis, meski saya merasa ada rasa ragu jika harus
total hidup dengan sandaran sebagai pelukis. Karena saat itu, karya seni lukis
belum begitu diminati oleh masyarakat, kolektor lukisan belum ada yang berani
membeli lukisan dengan harga yang pantas.
Rasa ragu itu, memang
cukup beralasan bagi saya yang belum punya nama dan kualitas karya masih jauh
untuk dihargai secaran pantas. Bedalah dengan karya-karya Mike yang sudah
terjual dengan harga yang fantastis di kala itu, dengan pembelinya kebanyakan
pengusaha dan warga negara asing.
Seingat saya, ada banyak
karyanya diboyong ke Belanda dan Amerika. Belum lagi undangan pameran tunggal
di luar negeri sampai terakhir 2007, pameran tunggal di Jepang.
Dari pengalaman yang dia
ceritakan itu, saya jadikan pemicu untuk terus mengasah kemampuan seni lukis
sampai sekarang saya masih terus belajar. Pesan yang saya dapat dari Mike
Turusy selama saya berkawan adalah ia tak pernah berhenti belajar.
Sosok Mike Turusy di mata
saya adalah manusia yang begitu bersahaja sebagai seniman seni rupa yang
dikarunia kemampuan lebih, serta berpikiran merdeka dengan wawasan yang jauh
melintasi ruang dan waktu.
Saya bisa merasakan itu,
setiap kali kami berdialog sembari ia tetap pegang kuas lukis. Begitulah saya
belajar dengannya, duduk di sampingnya yang lagi melukis, sesekali dia menghadap
ke saya lalu bercerita atau sekadar menjawab pertanyaanku, tentu di sela itu
selalu ada gelak tawanya, karena kelucuan dan selera humor tinggi yang dia
miliki.
Perjalanan dan karyanya
kini, harus terhenti lantaran Sang Pencipta telah memanggilnya pulang. Tugasnya
sebagai manusia yang penuh inspirasi telah selesai. Mike Turusy sebagai
seniman, sekaligus maestro seni lukis di Sulawesi Selatan, telah meninggalkan
nama yang terbaik untuk jadi kenangan yang sulit dilupakan bagi orang-orang
yang pernah dan mengenal dekat dengan pelukis kelahiran Masamba, Luwu Utara ini.
Kolaka, 28 November 2021