------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 24 November 2021
CERPEN
Status
di Grup WA Yang Membuat Detak Jantungku Berdebar Kencang
Karya:
Asnawin Aminuddin
“Akhirnya dia tumbang
juga,” tulis adik saya di grup WhatsApp (WA) saudara, pada Ahad pagi.
Yang dia maksudkan
sebenarnya ialah mobilnya yang terpaksa masuk bengkel dan setelah diperbaiki,
dia harus merogoh isi kantongnya sekitar Rp1 jutaan.
Meskipun yang dia
maksudkan adalah mobilnya, saya justru menangkap isyarat lain dari kalimat
pendek itu. Detak jantung saya tiba-tiba berdebar agak kencang. Saya berupaya
menenangkan diri dan berupaya membuang dugaan yang tidak baik.
Tiba waktu adzan magrib,
seseorang yang nomornya tidak terdaftar menelpon saya. Saya mengangkat telpon
tersebut dan ternyata dari mertua perempuan adik saya.
Beliau mengabarkan bahwa
adik saya dibawa masuk ke rumah sakit karena tiba-tiba pingsan saat menyetir
mobil.
Setelah shalat magrib,
saya bersama istri meluncur naik motor ke rumah sakit. Dan di sana adik saya
sudah terbaring di IGD dalam keadaan tidak sadarkan diri dan diberi alat
bantuan pernafasan.
Istri dan anaknya, serta
beberapa anggota keluarga tampak menangis sedih di tepi tempat tidur. Sebagian
lainnya di luar ruangan.
Tentu saja saya kaget dan
detak jantungku pun langsung bergerak cepat, apalagi setelah menyaksikan bahwa
adik saya juga diberi alat bantu tambahan berupa pipa yang dimasukkan ke dalam
mulutnya. Pipa itu ternyata berfungsi untuk menyedot cairan muntah dan darah
apabila ia tersedak.
Saya pun langsung
teringat status adik saya ini tadi pagi di grup WA. Mungkin inilah jawaban dari
perasaan saya yang tidak enak setelah membaca statusnya tadi pagi itu.
“Ya Allah, jangan engkau
ambil nyawa adik saya. Kami belum siap berpisah dengannya. Terlalu cepat Ya
Allah. Isterinya masih membutuhkannya. Anaknya pun demikian. Ya Allah, tolong
selamatkan nyawanya. Berilah dia kesempatan kembali berkumpul dengan kami,”
do’a saya dalam hati.
Saya memotret adik saya dengan
kamera handphone dan kemudian mempostingnya di beberapa grup WA keluarga. Saya
meminta semua anggota keluarga mendo’akan, semoga adik saya ini diberi kekuatan
dan kesembuhan.
Maka do’a-do’a pun
mengalir dari anggota keluarga yang tersebar di beberapa daerah, termasuk dari
provinsi lain.
Kami pun bergantian masuk
ke ruangan IGD untuk melihat perkembangannya. Kami menanyakan kepada dokter,
dan dokter mengatakan pembuluh darah di otaknya pecah.
Kami menanyakan apa tindakan
terbaik yang bisa dilakukan, dan dokter mengatakan operasi bedah syaraf, dan
harus dirujuk ke rumah sakit besar yang siap menerimanya.
Kami langsung mengiyakan,
tapi ternyata tak ada satu pun rumah sakit yang siap menerima. Alasannya,
pendarahan di syaraf bagian belakang otaknya sudah melebar dan menyentuh syaraf
pernafasan. Tidak transportabel untuk dibawa ke rumah sakit lain, karena
dikhawatirkan masih dalam perjalanan di mobil ambulans, pasien sudah keburu
meninggal.
Keputusan terakhir pun
diambil yakni dipindahkan ke ruang ICU di lantai dua rumah sakit itu. Saat tiba
ruangan ICU, ternyata tempat tidur dan peralatannya belum siap.
Lantai ruangan pun belum
disapu dan saya agak memaksa meminta sapu untuk menyapu lantai, tapi mereka
bilang gampang itu soal membersihkan lantai, karena katanya yang paling penting
segera diangkat pasien dari tempat tidur IGD ke tempat tidur ruangan ICU.
Proses memindahkan pasien
ternyata butuh waktu sekitar sepuluh menit dan itupun melibatkan beberapa orang
laki-laki dewasa, karena adik saya yang tinggi badannya sekitar 176 cm, cukup
berat timbangan badannya. Mungkin berkisar 90 kg.
Setelah dipindahkan ke
tempat tidur ruangan ICU, semua yang turut membantu diminta keluar, kecuali
saya karena hanya diperbolehkan satu orang anggota keluarga menemani pasien.
Perawat pun bergerak
cepat memasang alat-alat, termasuk dua botol cairan infus. Namun baru saja alat
pendeteksi pernafasan menyala, tiba-tiba adik saya tampak sudah tidak bernafas
lagi. Saya memeriksa matanya, tidak ada lagi kehidupan di sana.
Di layar monitor juga
terlihat garis-garisnya yang tadinya naik turun, kini terlihat bergerak datar.
Saya dan perawat
sama-sama berteriak memanggil dokter, dan dokter pun datang bersama dua
perempuan perawat. Mereka langsung mengambil peralatan dan memompa dada adik
saya dengan dua telapan tangan. Di layar monitor, garis-garis terlihat bergerak
naik turun.
Saya juga menelpon istri
saya yang berada di lantai satu untuk mengajak semua anggota keluarga naik ke
lantai dua ke ruangan ICU.
Mereka pun berdatangan dan beberapa di antaranya terdengar terisak. Kami pun menyaksikan dokter dan perawat bergantian memompa, namun akhirnya mereka menyerah dan mengatakan adik saya “sudah tidak ada.” (bersambung)