“Muhammad, tegakah engkau melihat para pengikutmu pergi meninggalkan Tanah Air-nya ke Habasyah yang begitu jauh? Ini benar-benar keterlaluan! Aku harus membunuh Muhammad sekarang juga! Meski aku harus berhadapan dengan Hamzah, aku akan membunuhmu dan membuat Mekah kembali seperti dulu!”
--------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 17 November 2021
Kisah
Nabi Muhammad SAW (38):
Umar
bin Khattab Bertekad Membunuh Muhammad
Penulis:
Abdul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi
Ke
Habasyah
Gangguan terhadap kaum
Muslimin semakin berat dari hari ke hari, bahkan beberapa orang gugur karena
disiksa terlalu keras. Berdasarkan wahyu dari Allah, Rasulullah pun
memerintahkan agar mereka berhijrah.
“Wahai Rasulullah, ke
mana kami akan pergi?” tanya kaum muslimin kepada Rasulullah.
Rasulullah menasehati
agar mereka pergi ke Habasyah yang rakyatnya menganut agama Kristen.
“Tempat itu diperintah
oleh seorang raja dan tidak ada orang yang dianiaya di situ. Itu bumi yang
jujur, sampai nanti Allah membukakan jalan buat kita semua,” demikian sabda
Rasulullah.
Mematuhi perintah
Rasulullah, berangkatlah rombongan pertama kaum Muslimin ke Habasyah pada bulan
Rajab, tahun ke lima kenabian. Rombongan itu terdiri atas 12 orang pria dan 4
perempuan.
Dengan sembunyi-sembunyi,
mereka meninggalkan Mekah, menyeberangi laut ke Benua Afrika, dan tiba di pantai
Habasyah. Seperti yang dikatakan Rasulullah, Najasyi, Raja Habasyah itu,
memberi mereka perlindungan dan tempat yang baik.
Kelak, ketika mendengar
bahwa orang Quraisy tidak lagi menyiksa kaum Muslimin, mereka kembali pulang.
Namun, ternyata berita itu tidak benar.
Di Mekah, keadaan justru
semakin buruk bagi kaum Muslimin. Mereka pun berangkat kembali ke Habasyah,
kali ini dengan jumlah rombongan yang lebih besar, terdiri atas 83 orang pria
dan 18 wanita dipimpin oleh Ja’far bin Abu Thalib.
Habasyah
Saat itu Habasyah adalah
negara yang meliputi bagian selatan Mesir, Erytrea, Ethiopia, dan Sudan. Habasyah
artinya ‘persekutuan’. Dahulu Habasyah bersekutu dengan kerajaan Saba atau
Himyar. Kaum Muslimin berangkat dari Teluk Syu'aibah, sebelah selatan Jeddah.
Amarah
Umar
Umar bin Khattab duduk
termenung di rumahnya. Di seluruh Mekah, tidak ada seorang pun yang mampu
melunakkan hati Umar. Ia begitu cepat naik pitam dan garang. Ia tidak pernah
luluh oleh rayuan gadis-gadis penghibur setiap kali ia mendatangi para penjual
khamr.
Ia tidak pula pernah
terbujuk ikut bergabung dengan para pejalan malam yang suka bergerombol di
pelataran rumah sambil mendengarkan para penabuh rebana.
Segalanya tidak mampu
melembutkan kekerasan hatinya yang suka bertindak garang dan menakutkan. Namun
kini, ia tengah duduk termenung sendiri.
“Hamzah, apa yang terjadi
padamu? Engkau menaklukkan dan mempermalukan Abu Jahal, temanmu sendiri! Apa
yang membuatmu jadi seperti ini? Bahkan, engkau berani meninggalkan agama nenek
moyang kita dan bergabung dengan Muhammad! Ini jelas akan membuat pengikut
agama baru ini jadi sombong dan besar kepala!” pikir Umar.
Lamunannya berlanjut, “Hamzah,
bukankah engkau, Abu Jahal, Khalid bin Walid, dan aku telah bersama membuat
Quraisy jadi suku paling disegani? Semua itu berkat kerja keras dan keuletan
kita berempat. Suku-suku yang lain iri kepada Quraisy karena Quraisy memiliki
kita. Ini semua gara-gara Muhammad! Hamzah tidak lagi mau minum-minum
bersamaku. Betapa sepinya malam-malam tanpa Hamzah!”
“Muhammad, engkau membuat
pusing kepala orang-orang miskin, para budak, buruh kasar, dan para perempuan
lemah! Engkau membuat mereka berani menentang para majikan! Apa yang engkau
sampaikan pasti sebuah sihir.”
“Muhammad, tegakah engkau
melihat para pengikutmu pergi meninggalkan Tanah Air-nya ke Habasyah yang
begitu jauh?”
“Ini benar-benar
keterlaluan! Aku harus membunuh Muhammad sekarang juga! Meski aku harus berhadapan
dengan Hamzah, aku akan membunuhmu dan membuat Mekah kembali seperti dulu!”
Setelah berpikir begitu,
Umar bin Khattab mencabut pedangnya. Amarahnya dengan cepat naik ke ubun-ubun.
Dengan langkah-langkah yang tidak bisa dirintangi, Umar berjalan cepat menuju
Darul Arqam. Matanya mengandung api dan pedangnya membara! Tidak seorang pun
bisa menghalangi Umar jika ia sudah bertekat dengan sungguh-sungguh!
Duka
Umar
Ummu Abdillah adalah
seorang perempuan tua. Ia juga tetangga Umar bin Khattab. Setelah ia sekeluarga
memeluk Islam, Umar suka mengganggunya, padahal sebelum itu, Umar cukup hormat
dan bahkan menyayanginya.
Saat itu, Ummu Abdillah
tengah membereskan barang-barang untuk dibawa hijrah ke Habasyah. Tiba-tiba,
hatinya berdebar. Ia melihat Umar bin Khattab melangkah dengan pedang terhunus!
Karena tidak ada waktu lagi untuk lari ke dalam rumah, Ummu Abdillah
bersembunyi di balik barang-barangnya. Hatinya berdebar tidak karuan. Tanpa
sadar, ia menahan napas ketika Umar semakin mendekat.
Akan tetapi, Umar
melihatnya dan berhenti, kemudian menegurnya, “Jadi engkau benar benar akan berangkat,
wahai Ummu Abdillah?”
Ummu Abdillah keluar dari
tempat persembunyiannya. Ia heran karena suara Umar tidak terdengar marah
seperti biasanya.
“Ya, demi Allah. Engkau
telah menyakitiku dan menindasku. Aku akan benar-benar pergi ke bumi Allah
hingga Allah memberikan jalan keluar bagiku,” sahut Ummu Abdillah.
Sesaat, Umar tampak
merenung, “Ini dia tetanggaku, mereka akan pergi juga meninggalkan Mekah.”
Umar berpaling, menatap
wajah tua Ummu Abdillah dan berkata dalam hati, “Begitu jauh jalan yang akan
ditempuh orang tua ini, begitu sedikit barang yang bisa dibawanya.”
Akhirnya Umar melangkah
pergi sambil berkata parau, “Semoga Allah senantiasa menyertaimu.”
Ummu Abdillah terpana.
Belum pernah Umar berlaku selembut ini sejak mereka memeluk Islam.
“Tidakkah engkau melihat
kelemahlembutan dan kedukaan Umar terhadap kita?” tanya Ummu Abdillah kepada
putranya.
“Apakah ibu berharap ia akan memeluk Islam?” tanya sang putra, “Dia tidak akan pernah memeluk Islam sebelum keledai bapaknya juga masuk Islam!” (bersambung)
Kisah sebelumnya: