-------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 21 November 2021
Kisah Nabi Muhammad SAW (41):
Umar
Meminta Rasulullah Berdakwah Secara Terang-terangan
Penulis: Abdul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi
Berdakwah
Terang-terangan
Keesokan harinya, Umar
mengingat-ingat siapa yang paling keras memusuhi Rasulullah. Jawabannya pun
langsung ditemukan, “Abu Jahal!” Tanpa membuang waktu, Umar pergi mengetuk
pintu rumah Abu Jahal.
Abu Jahal keluar dan
menyambut Umar, “Selamat datang, wahai kemenakanku! Kabar apakah gerangan yang
engkau bawa?”
“Aku datang untuk
memberitahukan kepadamu bahwa aku telah memercayai ajaran-ajaran Muhammad!”
jawab Umar.
Wajah Abu Jahal pucat.
Sambil membanting pintu, ia berseru lantang, “Mudah-mudahan tuhan mengutukmu.
Alangkah buruknya kabar yang engkau bawa!”
Tidak berhenti sampai
disitu, di sepanjang jalan, Umar memberi tahu setiap orang bahwa ia telah
memeluk Islam.
Setelah itu, Umar pergi
ke Ka’bah dan mengumumkan ke-Islam-annya. Rasa takut bercampur benci semakin
membengkak di hati orang-orang Quraisy yang masih kafir.
Setelah masuk Islam, Umar
bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran mati maupun
hidup?”
Ketika Rasulullah
membenarkannya dengan tegas, Umar meminta agar Rasulullah dan kaum Muslimin
keluar secara terang-terangan. Rasulullah menyetujui hal itu.
Beliau dan umatnya pun
keluar ke jalan-jalan Kota Mekah dalam dua barisan menuju Masjidil Haram.
Barisan sebelah kanan Rasulullah dipimpin oleh Hamzah dan barisan di sebelah
kiri dipimpin oleh Umar bin Khattab. Sejak itulah Umar digelari Al Faruq (sang
pembeda kebenaran dan kebathilan).
Islam
Mengajarkan Kebaikan
Islam kemudian menjadi
bahan diskusi hangat di Kota Mekah. Mereka yang penasaran terus bertanya kepada
temannya yang Muslim. Sementara itu, mereka yang benci tidak henti-hentinya
menjelekkan agama ini.
“Apa yang diajarkan agama
baru ini? Katakan kepadaku, sobat. Biar aku paham mengapa kamu begitu mudah
meninggalkan agama nenek moyang kita,” kata seseorang kepada sahabatnya.
“Engkau tahu bahwa
hidupku sangat sulit,” jawab teman muslimnya, “Setiap kali kulihat orang-orang
kaya mengendarai kuda-kuda istimewa, mengenakan pakaian mewah, dan memasuki
rumah megah, aku jadi bertanya, untuk apa sebenarnya Tuhan menciptakan aku ini?
Aku tidak bisa menikmati hidup kecuali bekerja keras untuk makan sehari-hari.
Aku tidak tahu setelah aku mati akan ke mana aku pergi. Sungguh sulit rasanya
menjadi orang yang berharga dan mulia.”
Sang muslim menoleh dan
melihat wajah temannya itu tampak bersungguh-sungguh, kemudian ia melanjutkan, “Namun
kemudian, Islam datang dan mengajarkan bahwa kemuliaan bukan terletak pada
tumpukan emas dan perak kita, akan tetapi pada sebanyak apa kebaikan yang telah
kita buat. Islam tidak melarang perdagangan dan orang menjadi kaya, tetapi
Islam mengajarkan bahwa nilai cinta kasih, persaudaraan, tolong-menolong, dan
kebersamaan berada jauh di atas nilai setumpuk harta.”
Ia terdiam sejenak, lalu
melanjutkan, “Tahukah engkau, setelah datangnya Islam, aku merasa menjadi yang
lebih berarti daripada sebelumnya.”
Sang teman
mengangguk-angguk.
“Lebih dari itu,” lanjut
si Muslim, “Islam mengenalkan aku kepada siapa sebenarnya Pencipta alam yang
patut disembah: bukan berhala yang tidak bisa apa-apa, melainkan Allah. Melalui
Rasulullah, Allah menurunkan perkataan-Nya buat kita. Coba dengarkan beberapa
ayat berikut ini. Engkau akan tahu bahwa tidak seorang penyair pun yang mampu
menandingi keindahan bahasanya apalagi kebenaran isinya.”
Kemudian, beberapa ayat
Al-Qur’an mengalun dari mulut si Muslim dan langsung menembus hati temannya
yang kini kian larut dan kian dekat pada kebenaran.
Kesaksian
Musuh
Bahkan para musuh
Rasulullah pun tidak dapat mengingkari kejujuran Rasulullah. Tirmidzi
meriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib bahwa Abu Jahal pernah berkata kepada
Rasulullah, “Sesungguhnya kami tidak mendustakanmu, tapi kami mendustakan apa
yang engkau bawa.”
Utusan
Quraisy
Apa yang terjadi dengan
Muslim yang berhijrah ke Habasyah?
“Kita tidak bisa
membiarkan mereka berlindung di Habasyah!” seru seseorang pembesar Quraisy, “Dengan
perlindungan yang diberikan Raja Najasyi, aku khawatir mereka akan bertambah
kuat dan membahayakan kita!”
“Kirim utusan kepada Najasyi!”
sambut pembesar yang lain, “Bujuk dia, katakan apa saja agar dia memulangkan
para pengikut Muhammad itu!”
Amr bin Ash dan Abdullah
bin Abi Rabi’ah diutus menemui Raja Habasyah, Najasyi. Tiba di Habasyah, mereka
mempersembahkan hadiah-hadiah berharga untuk raja dan para pembesarnya.
“Paduka Raja,” kata
mereka, “Kaum Muslim yang datang ke negeri Paduka ini adalah budak-budak kami
yang tidak punya malu. Mereka meninggalkan agama bangsanya dan tidak pula
menganut agama Paduka. Mereka membawa agama yang mereka ciptakan sendiri yang
tidak kami kenal dan tidak juga Paduka kenal. Kami diutus kepada Paduka oleh
pemimpin-pemimpin masyarakat mereka, oleh orangtua-orangtua mereka, paman
mereka, dan keluarga mereka sendiri, agar Paduka sudi mengembalikan orang-orang
itu kepada kami. Kami lebih mengetahui betapa orang-orang itu mencemarkan dan
memaki-maki tuhan-tuhan kami.”
Sebenarnya, kedua utusan
tersebut telah menyogok para pembesar istana untuk membantu meyakinkan raja.
Namun, Najasyi adalah raja yang bijaksana. Dia sama sekali tidak terpengaruh
hadiah-hadiah yang dibawa kedua utusan Quraisyi.
Dia tidak mau mengusir
kaum Muslimin kembali sebelum ia mendengar sendiri apa alasan mereka pergi
meninggalkan Mekah.
“Bawa para pengungsi itu
ke hadapanku!” perintah Najasyi.
Seluruh kaum Muslimin menghadap, Raja bertanya, agama apa ini yang sampai membuat tuan-tuan meninggalkan masyarakat tuan sendiri, tetapi tidak juga tuan-tuan menganut agamaku atau agama lain?” (bersambung)
Kisah sebelumnya: