------
Ahad, 26 Desember 2021
Buku
“Maharku: Pedang dan Kain Kafan” Ajarkan Kekuatan Berpikir Positif
Tiga pembahas buku, dari kiri ke kanan, Indramini, Muhammad Amir Jaya, dan Lily Rachim, (ist)
“Buku ini punya suatu rahasia yang jadi
keistimewaannya. Buku ini layaknya novel, dengan gaya bahasa populer. Tinggal
karakter tokoh utamanya diolah biar lebih kuat. Ini kisah nyata, unik dan penuh
misteri,” kata penulis buku dan sastrawan, Muhammad Amir Jaya, saat tampil
sebagai salah satu pembahas dalam acara Bazar Bedah Buku “Maharku: Pedang dan
Kain Kafan”, di Figor Cafe, Sabtu, 25 Desember 2021.
Amir Jaya yang sudah menulis banyak buku
mengatakan, fungsi buku sangat beragam, salah satunya bisa dijadikan sebagai
medium untuk berdakwah sebagaimana buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan”, yang
ditulis Rahman Rumaday, founder Komunitas Anak Pelangi (K-Apel).
Buku tentang kisah pernikahan Bang Maman
-begitu dia akrab disapa- dengan istrinya, Heliati Eka Putri atau biasa
dipanggil Esti ini, bahkan dinilai sarat dengan pembelajaran.
“Dalam buku ini tidak pernah lepas dari
diksi Tuhan. Setiap pembuka bab selalu mengajak pembacanya untuk mengingat
Tuhan, untuk berzikir. Buku ini adalah dakwah bagi kita semua,” kata Amir Jaya.
Dari kiri ke kanan, Indramini, Rahman Rumaday, Lili Rachim, dan Rusdin Tompo.
----
Amir Jaya disandingkan dengan Indramini,
S.Pd, M.Pd, dosen Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, dan Lily Rachim,
pegiat keadilan gender, sebagai pembicara. Moderator diskusi buku yang
dilaksanakan oleh Himpunan Pelajar Mahasiswa Batuatas Makassar (HIPMASKAR)
adalah Novian.
“Seorang penulis itu punya dimensi yang
tidak dimiliki orang lain, yakni kebeningan hati, sehingga setiap kali kita
menulis, perlu dimulai dengan niat dan ikhtiar yang tulus,” kata Amir Jaya.
Lily Rachim, melihat buku ini dari sudut
pandang egalitarianisme. Contoh tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan
dalam buku ini, tampak pada tokoh Esti yang digambarkan sebagai tokoh yang
mandiri, bukan saja terkait ekonomi tapi juga d pengambilan keputusan.
Sebagai pegiat isu gender, dia melihat
bahwa keputusan untuk menikah itu dilakukan setara. Bila prosesnya tidak
setara, justru posisi laki-laki dan perempuan sama-sama dirugikan.
Di dalam masyarakat patriarki, tidak
banyak perempuan yang punya posisi sosial seperti Esti. Pernikahan itu
sejatinya kasih sayang, dan esensi mahar itu, berdasarkan teori-teori,
sesungguhnya adalah kasih sayang.
“Buku ini layak sebagai hadiah kepada
teman-teman yang belum menikah, bahkan kepada orang yang berlainan agama agar
paham tentang konsep taaruf,” terang aktivis yang bergabung di Solidaritas Perempuan
Anging Mammiri (SP-AM).
Dalam buku ini juga pembaca memperoleh
pemahaman terkait ta’aruf (pendekatan, red). Ta’aruf itu justru membuktikan
bahwa kedua orang yang akan menikah, punya independensi bukan intervensi.
Soal mahar, dia menyebut mahar itu
kontekstual. Esti meminta mahar pedang dan kain kafan, merupakan sesuatu yang out
of the box, yang tidak terjebak pada materialisme.
Indramini, yang mengkaji dari sisi bahasa,
melihat mahar yang tidak biasa itu membuktikan ketangguhan Maman sebagai
seorang lelaki.
Menurutnya, yang menarik dalam buku ini,
karena ada proposal pra pernikahan. Selain itu, buku ini juga dianggap mudah
dipahami oleh siapa saja karena bahasanya sederhana.
“Pesan-pesan spiritual dan moralnya mudah
dipahami oleh pembaca,” papar Indramini yang tengah menyusun disertasi tentang
pernikahan adat Makassar dari segi bahasa ini.
Rahman Rumaday sempat memperlihatkan
pedang yang dijadikan mahar kepada peserta diskusi, yang terdiri dari
mahasiswa, aktivis, akademisi, penulis, sastrawan dan kalangan media.
“Pedang itu sempat ditahan polisi di bandara
saat akan dibawa ke Bogor, lokasi pernikahan kami,” ungkap Rahman Rumaday.
Selaku editor, Rusdin Tompo, mengaku aspek
perspektif gender memang dijaga dalam proses pengeditan buku ini. Pegeditannya
juga mempertimbangkan konteks sosial kisah ini dan suasana kebatinan
penulisnya. (rt)