------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 22
Januari 2022
Catatan
dari Diskusi Puisi “Pada Sebuah Reuni” (5):
Aslan Abidin Sangat Menjaga Karya-karyanya dari Kebanyakan
Puisi
Gampangan
Oleh: Asnawin Aminuddin
(Wartawan)
Jika “Diskusi
Puisi ‘Pada Sebuah Reuni’ Karya Aslan Abidin”, di Kafebaca, Jl
Adhyaksa Makassar, Sabtu, 15 Januari 2022,
dapat diibaratkan sebagai sebuah pementasan drama, maka saya curiga, Ram
Prapanca-lah sutradaranya.
Bukan hanya sebagai sutradara,
Ram Prapanca atau Asia Ramli Prapanca bahkan turut bermain dalam “pementasan
drama” itu sebagai moderator.
Salah satu tugas sutradara
yaitu memilih pemain, pemeran, atau aktor yang akan bermain dalam pementasan
drama.
Pemeran yang bermain dalam
pementasan “Diskusi Puisi” itu antara lain Mahrus
Andis (penyair, kritikus sastra yang
berperan sebagai pembicara), Aslan Abidin (penyair yang puisinya didiskusikan), Badaruddin
Amir (penyair, cerpenis), Yudhistira Sukatanya (penyair, pemain drama,
cerpenis), Dr Suradi Yasil (penulis, penyair), Tri Astoto Kodarie (penulis,
penyair), Bahar Merdu (penyair, penulis naskah drama, sutradara).
Penyair, cerpenis, dan penulis lain yang
hadir, antara lain Anwar Nasyaruddin, Ishakim,
Muhammad Amir Jaya, Andi Wanua Tangke, Andi Ruhban, Idwar Anwar, Rusdin Tompo, Syahril
Daeng Nassa, Rahman Rumaday, Fadli Andi Natsif, Agus K Saputra, serta beberapa
mahasiswa dan peminat sastra (termasuk
saya dan rekan Rusdy Embas yang sama-sama berprofesi sebagai wartawan,
he..he..he..).
Kecurigaan saya bahwa Ram
Prapanca adalah sutradara dalam pementasan “Diskusi Puisi” itu berasal dari
pengakuan penyair dan cerpenis asal Kabupaten Barru, Badaruddin Amir, saat
diberi kesempatan berbicara.
“Ram
Prapanca, moderator kita pada ‘pertemuan
kecil’ ini, kemarin malam melalui inbox, meminta saya menulis
tentang Aslan Abidin dengan pesan: biar diskusi kita tidak monoton, karena
pembahas utamanya hanya satu orang yaitu kritikus
sastra Sulsel,
Bung Mahrus Andis,” ungkap
Badaruddin.
Ia mengaku tidak
menyanggupi permintaan Ram Prapancas, karena
dirinya tidak memahami dengan
baik teori-teori sastra, khususnya puisi sekuat dengan yang dipahami Bung
Mahrus Andis yang memang dikenal
sebagai kritikus sastra di samping
penulis puisi dan esais.
“Tapi
saya bukan tidak punya kedekatan emosional dengan penyair Aslan Abidin. Bahkan
pada suatu kesempatan di tahun 1999,
kami pernah berkompetisi menulis puisi tingkat provinsi yang diselenggarakan
oleh Dewan Kesenian Sulawesi Selatan. Sudah saya ramalkan bahwa Aslan Abidin akan
keluar sebagai juara. Dan ramalan saya tidak meleset: Aslan Abidin keluar
sebagai juara satu dengan puisinya yang berjudul ‘Dance
With The Angle Trance’, saya sebagai juara kedua dengan puisi
berjudul ‘Nina Bobo Bagi Madame Srie’,
dan Jurlan Em Saho'as sebagai juara ketiga dengan puisi balada berjudul ‘Guru
Kholid’. Dan salah satu dewan juri pada lomba
tersebut adalah moderator kita Ram Prapancha juga,” tutur Badaruddin.
Penyair dan cerpenis yang juga
seorang pendidik (guru) kemudian mengungkap sebuah
petikan dari salah satu puisi Aslan Abidin yang menggunakan judul bahasa
Perancis “Homme Statute”, yang artinya kira-kira “status manusia” atau “status pria.”
aku
dan seorang kawan -yang
bersumpah
namanya tak ingin disebut dalam sajak yang
buruk-
melewatkan malam pada pangkal sebuah tiang
listrik
di tengah lapangan karebosi kami berdebat tentang
patung
besar tak bernama yang menyambut kami di gerbang
utara
“Patung
yang dimaksud dalam puisi ini tentu saja sudah tidak ada sekarang. Tapi itu
tidak penting. Aslan Abidin sudah mencatatnya dalam sebuah puisi. Dan kelak
anak-cucu kita akan mengetahui melalui puisi ini, bahwa dulu pernah ada patung
karya SA Jatimayu yang mengangkang di gerbang utara lapangan karebosi,
menyambutmu bila kau datang,” papar
Badaruddin.
Yang ingin ia tonjolkan dengan nukilan di atas,
adalah “sumpah” penyair--bersama
temannya-- untuk namanya tak ingin disebut dalam sajak yang buruk.
“Dan
hingga saat ini kita memang mengenal Aslan Abidin bukanlah penyair dengan
sajak-sajak yang buruk. Entah temannya yang tak disebutkan namanya dalam puisi
itu,” kata Badaruddin.
Aslan Abidin, katanya, kita kenal sebagai salah seorang penyair
Sulsel yang baik. Meski harus diakui ia tidak terlalu produktif, namun sangat menjaga
karya-karyanya untuk tidak tergelincir pada kebanyakan puisi gampangan, sebagaimana yang
banyak dijumpai pada halaman-halaman facebook
saat ini.
Mungkin itu pulalah sebabnya sangat jarang
Aslan Abidin mengikuti antologi-antologi bersama, yang menawarkan tema tertentu dan
terpaksa ditulis meski tidak sesuai dengan nurani dan bentuk ekspresi
perpuisian kita.
Misalnya Aslan Abidin tidak tertarik untuk
menulis “puisi esai”, meski dengan bayaran
yang tinggi dari pembuat proyek. Apalagi antologi-antologi yang sebaliknya:
penyairnya yang diminta membayar!
“Setahu saya, Aslan hanya mengikuti beberapa antologi penting yang diadakan dalam rangka sebuah momentum sastra seperti: Mimbar Penyair Abad 21, Sastrawan Angkatan 2000, Kitab Puisi Horison Sastra Indonesia, Tak Ada yang Mencintaimu Setulus Kematian, dan beberapa antologi berbahasa asing. Antologi-antologi ini adalah antologi-antologi puisi bebas yang tak mengungkung kreativitas penyair pada hanya satu tema,” tutur Badaruddin.
Ia mengakui tak
ada catatan yang ia simpan mengenai
awal kepenyairan Aslan Abidin, tapi ia
ingin mengandaikan bahwa Aslan mulai debut memuisi sekitar
tahun 1993,
atau lebih awal pada tahun 1992.
“Itu
terlihat pada manuskrip yang pernah diberikan pada saya yang diberinya judul ‘Memoranda Perkabungan’
dan tak pernah menjadi judul kumpulan
puisinya yang terbit,” sebut
Badaruddin.
Karena yang terbit kemudian, lanjutnya, justru berjudul “Bahaya
Laten Malam Pengantin” (Ininnawa, 2008) sebagai
kumpulan puisi pertamanya yang diterbitkan pada salah satu penerbit indie, dan baru
sepuluh tahun kemudian terbit kumpulan puisi keduanya berjudul “Orkestra
Pemakaman” yang ditangani oleh
penerbit mayor (Kepustakaan Populr Gramedia, 2018) dengan peredaran yang lebih
luas.
Aslan Abidin menyelesaikan kuliah sastra
Indonesia di Universitas Hasanuddin pada tahun 1997. Sementara empat tahun
sebelumnya, yakni pada tahun 1994,
Anil
Hukmah telah mengeditori sebuah buku antologi puisi berjudul “Nafas
Kampus” (Identitas, 1994), yang mustahil jika
saat itu Aslan Abidin sudah menulis puisi dengan sajak-sajak yang baik
sebagaimana “sumpahnya” pada “Homme Statute”, terlewatkan oleh Anil.
Padahal puluhan penyair yang kurang bagus,
bahkan banyak yang sudah hilang jejak sekarang --termuat juga dalam antologi
penting dari kampus Unhas itu.
Badaruddin mengatakan, Aslan
Abidin baru muncul pada antologi
“Jejak
Waktu: Sastra Indonesia Unhas” (yang dieditor Muhary
Wahyu Nurba, 1996),
dan “Ininnawa”
(Masyarakat Sastra Tamalanrea,1997) yang boleh juga disebut berasal dari kampus
Unhas, Tamalanrea, tempat Aslan dan teman-temannya berkubang di Masyarakat
Sastra Tamalanrea.
“Mengenai Antologi puisi Ininnawa, pernah saya bahas dalam buku saya berjudul ‘Karya Sastra sebagai Bola Ajaib’ yang diterbitkan Nalacipta Litera, tahun 2008, yang masih beredar sekarang di Tokopedia,” kata Badaruddin. (bersambung)
------
Artikel sebelumnya:
Puisi “Pada Sebuah Reuni” Hadirkan Imaji Konkret, Indah dan Enak Dibaca
Mahrus Andis: Puisi “Pada Sebuah Reuni” Perlu Ditarik ke Ranah Inklusif