-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 11 Januari 2022
Ketika
Diksi Puisi Mahrus Andis Digugat
Oleh:
Anwar Nasyaruddin
Saya tiba-tiba tertarik
untuk mengomentari sebuah diskusi menarik, Jumat, 09 Juli 2021 di grup WA
FOSAIT, Makassar. Topik diskusinya yaitu tentang diksi puisi dalam sebuah
kalimat “...aku menolong-Mu.”
Kalimat ini adalah
penggalan puisi berjudul “Sesaat Menyelam”, karya sastrawan Mahrus Andis yang
dikutip dari buku kumpulan puisi “Testimoni di Kandang Sapi”, terbitan Prabu
Dua Satu-Malang, 2021.
Saya merasa terlibat
dalam diskusi itu. Mengapa? Ketika kumpulan puisi tersebut akan diterbitkan
menjadi sebuah buku, penulisnya meminta saya menuliskan epilog dalam antologi
tersebut. Ketika isi buku itu sempat dimasalahkan, meskipun hanya sebait
kalimat, namun cukup esensial, maka respons saya minimal merasa wajib
memberikan tanggapan.
Sebelum mengikuti alur
diskusi dimaksud, alangkah baiknya apabila kita memahami lebih dahulu sebuah
kredo penulisan puisi di bawah ini:
“Menemukan pesan
esensial di balik
karya sastra, ibarat
kita memburu
seekor
kunang-kunang di
gelap malam. Ia
harus dihadang di
ruang hening,
disergap dengan
hati-hati dan
kemudian dinikmati
kerlap-kerlip
cahayanya.”
(Mahrus Andis).
Mari kita memulai dengan
mengutip puisi tersebut secara lengkap.
SESAAT
MENYELAM
Sekian matahari
yang gelincir dari tubir
Yang pancar jadi kabar
Yang rabun di ubun-ubun
Lalu hening
di lipatan jiwa yang
bening :
Paham sudah,
ya Allah
Kebun ini
Samudera mahaluas
Tempat aku
Menolong-Mu
(TdKS, hal. 114)
Awalnya, Dr Suradi Yasil,
seorang sastrawan asal Sulawesi Barat, penulis novel “Cinta dan Kusta”,
mengomentari puisi tersebut di atas. Doktor kebudayaan lulusan Unhas 2020 itu
menulis di WA grup sbb:
“Di bait ke dua puisi
'Sesaat Menyelam', saya tersesat (karena kebodohan aku):
' Paham sudah,/ ya
Allah /Kebun ini
/Samudera maha
luas/
Tempat aku/
Menolong-Mu"
Menolong Allah?
Bagaimana? Adakah teks Al-Qur'an atau hadits menyatakan manusia menolong-Nya?
Minta penjelasan dan pertanggungjawaban penyair atas ungkapan tersebut supaya
saya tercerahkan.
Atas gugatan itu, Mahrus
Andis, selaku penyair, membalas dengan mengambil analogi dari kisah seorang
sufi (ahli tasawuf) seperti berikut:
“Melihat judulnya saja,
yaitu Sesaat Menyelam, tentu orang yang
dekat dengan ilmu tasawuf sudah paham bahwa partikel 'Mu' (M, hurup besar) pada
larik puisi tersebut tidak bersifat imanensial. Ia menyentuh sisi terdalam
suasana transendensial seorang hamba.
Masih ingatkah kisah
seorang sufi yang bernama Imam Al Djunaid? Ketika sedang khusyuk dalam dzikir
(menyelam di lautan cinta-'hub' dan rindu- 'isyq'), tiba-tiba seseorang menarik
janggutnya. Maka spontan dia mengatakan: 'berhentilah menyentuh janggut Allah'.
Nah, sekiranya kalimat
itu ditulis dalam diksi puisi maka bunyinya begini:
Berhentilah
menyentuh
janggut-KU,"
demikian jawaban
penyairnya.
Ternyata, jawaban penyair
tersebut tidak membuat Dr Suradi Yasil tercerahkan. Bahkan ia berbalik menantang,
mengajak penyair melakukan pameran puisi bersama untuk dinilai para pembaca,
supaya jelas, apakah puisi itu sesat atau menyesatkan.
Mahrus Andis, yang juga
dikenal sebagai mubaligh dan satu-satunya kritikus sastra milik Sulawesi
Selatan, merasa tertantang oleh tanggapan Sang Doktor. Dia pun segera menjelaskan bahwa penilaian sesat dan
menyesatkan itu adalah tugas kritikus sastra, bukan tugas pembaca umum.
Namun belum berakhir di
sini. Dr Suradi Yasil pun terus melanjutkan gugatannya. Ia bilang:
“Pertama, ya, itu tugas
kritikus sastra. Tapi pendapat pembaca umum perlu juga didengar. Karena mereka
sasaran bacaan. Secara awam, akan ada yang mengatakan apa iya makhluk bisa dan
mampu menolong-Mu, menolong DIA? Dan kalau dari pelajaran itu mereka yakin,
bahaya... Jadi kritikus perlu membincangkan sesuai posisi dan kapasitas mereka.”
Mahrus Andis kemudian
menjelaskan secara konkret:
"Sastra
itu kerja
kreatif-akademis.
Di atas sudah
saya jelaskan
bahwa
puisi tersebut
bernafaskan
tasawuf. Jadi kalau
mau memahami
puisi saya, maka
gunakan
pendekatan
pragmatik yang
berkaitan dgn ilmu
tasawuf."
Selanjutnya Mahrus Andis
memberikan pemahaman bahwa seorang kritikus sastra tidak boleh bicara
sembarang, harus ada dasar. Seperti juga penyair, tidak boleh asal menulis
kata-kata tanpa pertimbangan ilmu semiotika: konvensi linguistik, semantik dan
pragmatik-filosofik. Apalagi jika puisi itu ingin dipertahankan sebagai karya
sastra yang bermutu di hadapan publik.
“Diksi yang saya pilih
itu ada landasan referensinya. Ada ayatnya yang sahih,” jelas Sang Penyair,
kemudian mengemukakan dalil naqli dari Al-Qur’an, Surat Muhammad, ayat 7 yang
berbunyi:
“YAAA AYYUHALLAZIINA AAMANUUU
ING TANGSURULLAAHA YANGSURKUM WA YUSABBIT AQDAAMAKUM”
Artinya: “Wahai orang-orang
yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, nisacaya Dia akan menolongmua
dan meneguhkan kedudukanmu.”
Menurut Mahrus Andis, di
dalam ayat Al-Qur’an tersebut, tidak ada kata “Addiin” (agama). Karena itu,
pada salah satu komentarnya (yang belum sempat dijawab oleh Dr Suradi Yasil
hingga saat ini) ia menanyakan:
“Siapa yang menambah kata (Agama, dalam
kurung) pada terjemahan ayat tersebut?”
Pertanyaan retoris ini
dijawab sendiri oleh Mahrus Andis dengan logika hujjah sebagai berikut:
“Jika di ayat Allah tersebut tidak tercantum
kata 'Addiin' (yang harusnya berbunyi: Ingtansuru-ddiini-llaaha...), maka
pembaca puisi pun wajib memahami bahwa maksud kalimat “...aku menolong-Mu” itu
ialah “menolong (Agama)-Mu.”
Artinya, si aku-lirik
(penyair) akan taat menolong serta menegakkan nilai-nilai ajaran agama Allah di
atas bumi-Nya. Nah, konsep diri dalam memahami agama seperti ini tidak layak
disebut sesat, apalagi menyesatkan.
Demikian argumentasi
filosofis Mahrus Andis, seorang sastrawan dan kritikus, mantan birokrat
pemerintahan, yang juga dikenal sebagai muballihg di daerahnya, Bulukumba.
Dari kronologi diskusi
inilah kita bisa melihat, sebuah puisi, antara sesama sastrawan saja bisa
berbeda pemahaman. Namun, tentunya penulis puisi (penyairnya sendiri) tersebut
yang paling sanggup memahaminya. Sementara penikmat bisa berbeda memaknainya
sesuai kadar intelektualitas dan ketajaman pisau batin miliknya.
Saya melihat bahwa dalam
diskusi yang menarik itu, ada perbedaan pendekatan antara penyair dan penikmat.
Penyair menggunakan
pendekatan dari sisi hakikat ketika menulis puisi tersebut, sementara penikmat
ketika membacanya menggunakan pendekatan syariat.
Dengan kata lain, ada
pendekatan kontekstual dan ada pendekatan tekstual. Karena itu, kedua-duanya
benar, sekali lagi, sesuai kadar konsep pemikiran masing-masing. Di sini pula
dapat dipahami bahwa menafsir makna semiotik sebuah puisi tidak tergantung pada
tinggi-rendahnya status keilmuan seseorang. Di dalamnya, terdapat campur tangan
Tuhan yang disebut “Al Hidayah”, kata Mahrus Andis dalam suatu diskusi di meja
kopi.
Saya kira inilah
kesimpulan diskusi para sastrawan di Grup WA FOSAIT (Forum Sastrawan Indonesia
Timur) yang tentu patut dicerna karena sangat bermanfaat dari segi wawasan
kreativitas berpuisi. Salam Sastra.
-Mks, 12 Juli 2021-
(Penulis Anwar Nasyaruddin adalah pengamat sastra dan penulis cerpen “Parakang”, alumni Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas)Makassar, tinggal di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan)
-----
Baca juga:
Kegembiraan Mahrus Andis Saat Tak Sengaja Bertemu Wartawan dan Penulis
Film “Ati Raja” Jauh dari Bayangan Saya