-------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 01 Februari 222
Spot
Light Literasi:
Kritik
Sastra Hanya untuk Karya Bermutu
Oleh:
Mahrus Andis
(Kritikus Sastra)
Tulisan ini hadir sebagai
refleksi atas sebuah pertanyaan di sebuah Grup WA: “Di era digital ini, masihkah
diperlukan Kritik Sastra?”
Untuk menjawab pertanyaan
itu, penting saya kutip pendapat ahli, WH Hudson, dalam bukunya “An
Introduction to the study of literature” (Narudin: 2019). Hudson berkata bahwa
peran penting seorang kritikus sastra ialah “memperjelas” dan “memotivasi.”
Memperjelas, tentu
dimaksudkan sebagai upaya mempertimbangkan secara logis nilai-nilai kemanfaatan
suatu karya sastra. Dan memotivasi, artinya meniupkan semangat kreatif kepada
seorang sastrawan sebagai respons atas karya-karya yang dihasilkannya.
Dari pemahaman di atas,
dapat disimpulkan bahwa seorang kritikus sastra memikul tanggung jawab besar
terhadap perjalanan kreativitas dan peningkatan kualitas karya sastra di tanah
air.
Adanya pandangan miring
yang berujung pertanyaan di atas, itu sebentuk kegelisahan sepihak dari para
penulis sastra (baca: puisi, cerpen, dan novel).
Umumnya mereka adalah
aktivis literasi yang sudah maling, eh, malang-melintang di berbagai komunitas
penulis dan bergaul dengan tokoh-tokoh sastra di tingkat nasional, namun ia
merasa teralineasi di lingkungannya sendiri.
Boleh jadi karya-karyanya
yang selama ini dianggapnya bagus (karena pernah dimuat di koran-koran, bahkan
sudah dibukukan) belum pernah tersentuh oleh kritik. Atau mungkin juga karyanya
sudah pernah dibahas dalam forum kritik sastra, namun ia tidak puas atas hasil
kritik itu karena nihil dari gemuruh puji-pujian.
Yang demikian itu tentu
dimaklumi. Sebab, tak seorang pun penulis di negeri ini yang merasa senang
apabila karyanya dinilai tidak berkualitas.
Secara jujur, kritik sastra
itu memang hadir untuk menilai tingkat kualitas sebuah karya. Minimal hasil kritik itu berujung pada
puncak penilaian terhadap struktur bentuk (fisik) dan isi (batin) sebuah karya
sastra: Apakah karya itu bermanfaat isinya (memiliki nilai perenungan batin)
dan digarap secara sempurna sesuai
prinsip-prinsip etika, logika, dan estetika, atau tidak?
Di posisi inilah seorang kritikus
sastra harus tampil jujur dan cerdas berbicara. Tentu, dengan perangkat teori
dan wawasan pengetahuan multidemensi yang dimilikinya.
Karena itu, apabila di
era digital ini kembali dimunculkan pertanyaan tentang masihkah diperlukan
kritik sastra, maka jawabnya: masih, dan akan terus diperlukan selama ada karya
sastra yang bermutu.
Filosofinya, kritik sastra hanya dilakukan terhadap karya-karya yang dinilai bermutu (baik fisik maupun batin) dan penting dibicarakan manfaatnya. ***
-----
Baca juga: