PEDOMAN KARYA
Rabu, 26 Januari
2022
Catatan
dari Diskusi Puisi “Pada Sebuah Reuni” (9-habis):
Puisi Lahir dari Intuisi Penyair, Bukan dari Tuntutan
Zaman
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Wartawan)
Forum Sastra Indonesia Timur
disingkat Fosait, dibentuk oleh beberapa sastrawan dan seniman di Sulawesi
Selatan pada tahun 2019. Ide pembentukannya berasal dari “kegelisahan” beberapa
penyair yakni Muhammad Amir Jaya, Anwar Nasyaruddin, Ishakim, Suradi Yasil, dan
Daeng Mangeppek.
Kelimanya kemudian meminta
masukan dari penyair senior dan kritikus sastra Mahrus Andis, dan mereka pun intens berdiskusi, lalu lahirlah nama
Forum Sastra Indonesia Timur disingkat Fosait.
“Kami sejak awal memang selalu
mengajak Pak Mahrus untuk berdiskusi, tapi karena beliau menetap di Bulukumba,
maka beliau hanya sekali-sekali ikut berdiskusi kalau kebetulan datang ke
Makassar,” ungkap Muhammad Amir Jaya.
Fosait kemudian membentuk grup
WA (WhatsApp) yang juga diberi nama FOSAIT dan Muhammad Amir Jaya mengajak
puluhan penyair, seniman, budayawan, dan juga wartawan bergabung di grup itu.
Mahrus Andis yang belakangan
punya banyak waktu berada di Makassar setelah ia dan istrinya memasuki masa
purnabakti sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), kemudian intens bertemu dan
berdiskusi dengan para penggagas pembentukan Fosait.
“Pak Mahrus sering mengajak
diskusi untuk membicarakan berbagai hal dan selalu menyebut pertemuan itu meja
solusi. Pak Mahrus selalu bilang, ayo kita bicarakan di meja solusi, akhirnya
kami pun akrab dengan istilah meja solusi,” kata Amir Jaya sambil tersenyum.
Ide pembentukan Fosait, kata
Amir Jaya, berawal dari semacam kegelisahan dirinya dan beberapa penyair
lainnya yang melihat forum-forum sastrawan lebih banyak berada di Pulau Jawa
dan perhatian orang juga selalu ke Jawa.
Amir Jaya ingin di Makassar
juga ada forum sastrawan yang menjadi wadah berkumpulnya para sastrawan di
Sulawesi Selatan dan Indonesia bagian timur. Dengan wadah itu, akan banyak hal
yang bisa dilakukan untuk para sastrawan dan untuk pengembangan dunia sastra di
Sulawesi Selatan dan Indonesia bagian timur.
Salah satu yang dilakukan
Fosait yaitu mengadakan “Diskusi Puisi ‘Pada Sebuah Reuni’ Karya Aslan Abidin”, di Kafebaca, Jl
Adhyaksa Makassar, Sabtu, 15 Januari 2022.
Diskusi puisi membahas puisi
‘Pada Sebuah Reuni” karya Aslan Abidin, menghadirkan langsung Aslan Abidin,
Mahrus Andis sang kritikus sastra sebagai pembicara, Asia Ramli Prapanca yang
akrab disapa Ram Prapanca sebagai moderator, serta puluhan penyair, seniman,
wartawan, dan peminat sastra.
Terasa Berbau Akademis
“Luar biasa ini Fosait, mampu
menghadirkan dua orang penting di dunia sastra, Aslan Abidin, penyair nasional
sekaligus dosen ilmu sastra di berbagai kampus, dan Mahrus Andis, seorang
kritikus sastra, penulis banyak buku dan mantan birokrat di dunia pemerintahan,”
kata Ram Prapanca.
Ram Prapanca yang juga
seorang penyair, dramawan, sutradara, dan akademisi, kemudian melanjutkan, “Dari
keduanya, kita dapat berbagi ilmu dan mencerahkan hati yang sedang berlumut.”
Ram mengatakan, Diskusi Puisi
‘Pada Sebuah Reuni’ karya Aslan Abidin, yang dihadiri para seniman, penyair,
penulis, wartawan, dan peminat sastra, terasa berbau akademis, karena pembicara,
Mahrus Andis, menggunakan teori sastra yang serius.
“Tapi ini luar biasa.
Seandainya saya memiliki hak kebijakan akademik, saya tarik forum semacam ini
untuk masuk menghidupkan kampus-kampus, seperti yang pernah terjadi di tahun
1970-an. Sayangnya, saya hanya seorang dosen biasa, masih berlepotan dengan
kerja klasik Teater ‘Kondobuleng’ alias cerita rakyat,” kata Ram Prapanca sambil
tersenyum.
Pembicaraan dan gagasan yang berkembang
dalam diskusi puisi itu, kata Ram, akan dirangkum oleh Fosait menjadi
lembaran-lembaran wacana kesastraan untuk diwariskan kepada anak cucu kita di
Negeri Republik Puisi ini.
Menyenangi Kritik
Aslan Abidin yang puisinya
dibahas dalam pertemuan itu dan menerima banyak kritikan dan masukan dari
peserta diskusi, menyampaikan terima kasih untuk semua pandangan forum atas
puisi karyanya, “Pada Sebuah Reuni.”
“Saya memang menyenangi kritik.
Saya selalu mencatat peristiwa penting dalam hidup saya,” kata Aslan.
Dari kritik dan rekontemplasi
itulah, ia mengaku puisi-puisinya kadang diedit dan diubah, meskipun sudah
pernah dimuat di halaman media.
“Saya juga biasa mengubah atau
mengedit puisi-puisi saya jika ada yang perlu diubah atau diedit, sebelum
dibukukan, dan ini juga yang menjadi proses pembelajaran bagi mahasiswa, baik
di kampus-kampus maupun di lingkup komunitas saya,” ungkap Aslan.
Ia mengakui karakteristik
puisinya memang cenderung melihat sisi terdalam nilai kemanusiaan, bahkan ia terbiasa
memanfaatkan organ subtil manusia sebagai wujud ekspresi menghormati konsep
pemikiran leluhur, khususnya di Bugis-Makassar.
“Saya pun masih konsisten
memelihara polarisasi perpuisian, termasuk bentuk-bentuk puisi lama, seperti
rima pada pantun dan syair,” papar Aslan.
Pada kesempatan itu, ia juga
mengemukakan bahwa dirinya pun kerap menulis sajak bertema kematian, dan ia
berpendapat bahwa menulis sajak kematian sebaiknya dilakukan pada puncak
kehidupan kita, bukan pada saat menjelang kematian.
“Kalau sudah menjelang
kematian, itu bukan pada potensi terkuat dari sajak yang kita buat,” kata Aslan.
Tugas Kritikus Sastra
Mahrus Andis dalam diskusi
puisi itu juga mengungkapkan kegembiraannya dengan mengatakan, “Satu hal yang
patut dicatat dari forum ini ialah hadirnya para sastrawan kreatif dan para
penulis yang selama ini tak henti mewarnai kanvas persastraan di Sulawesi
Selatan.”
Di akun Facebook-nya Mahrus
menyebutkan nama-nama yang hadir, yakni Yudhistira Edy Thamrin Sukatanya,
Suradi Yasil, Muh. Amir Jaya, Anwar Nasyaruddin, Ishakim Arts, Bosnario Bahar
Merdu, Tri Astoto Kodari, Syahril Daeng Nassa, Badaruddin Amir, Andi Ruhban,
Idwar Anwar, Rusdy Embas, Asnawin Aminuddin, Andi Wanua Tangke, dan puluhan
penulis lainnya serta peminat sastra di Makassar.
“Kendati suasana forum
bernuansa ‘pengadilan’, namun skenario dialog berjalan lurus. Tak ada protes,
apalagi berteriak-teriak mengatasnamakan teori nenek moyangnya. Aslan Abidin,
penyair sebagai ‘terdakwa’, juga hadir. Saya berperan selaku ‘Jaksa Penuntut’ (pembicara),
dan Asia Ramli Prapanca menjadi ‘Hakim Ketua’ (moderator) yang kadang-kadang
terpeleset menjadi provokator (maaf, salah tulis. Maksud saya, motivator),”
kata Mahrus, seraya menambahkan bahwa suasana persidangan berlangsung damai,
adem dan humanis.
Dalam diskusi itu, Andi
Wanua Tangke mengatakan, tidak
gampang membahas satu buah puisi dalam forum sebesar itu. Mahrus menilai apa yang diungkapkan Andi Wanua
Tengke sebagai sebentuk kekaguman.
Kekaguman bahwa puisi ‘Pada
Sebuah Reuni’ karya Aslan Abidin termasuk puisi berkualitas, karena bisa
dibahas panjang lebar oleh kritikus yang
memiliki ilmu pengetahuan yang
dalam, pengalaman yang
luas, dan hati yang terbuka.
“Benar
yang dikatakan Andi Wanua Tangke, bahwa tidak gampang membahas
satu puisi dalam forum besar seperti ini. Dan saya harus lakukan itu sebagai
tanggung jawab moral seorang kritikus
sastra,” tandas Mahrus.
Ia kemudian mengutip buku “And
Introduction to the study of literature”,
karya W.H. Hudson (1961),
yang mengatakan peran kritikus ialah memperjelas dan
memotivasi.
Juga sesuai
pendapat Sapardi Djoko Damono bahwa modal utama seorang
pengamat sastra ialah ilmu
pengetahuan yang
dalam, punya pengalaman yang luas
(pengalaman makro dan microkosmos), dan
memiliki hati yang
terbuka (berani mengakui baik atau tidak baiknya suatu karya).
“Kritikus sastra harus bisa
dan tugasnya memang memperjelas dan memotivasi,” tegas Mahrus.
Menanggapi pertanyaan peserta
diskusi bahwa masih banak puisi lain yang berkualitas, tapi Mahrus Andis
memilih puisi ‘Pada Sebuah Reuni’ untuk dibahas, Mahrus mengatakan, itu berarti
puisi yang tidak dibahas itu tidak memanggil dirinya.
“Puisi itulah yang mencari
saya. Kalau ada puisi yang memanggil saya (untuk dibahas dan dikuliti, red),
itu berarti puisinya berkualitas,” kata Mahrus.
Tentang pernyataan Yudhistira Sukatanya yang menanyakan apakah puisi
sepanjang ‘Pada
Sebuah Reuni’
itu masih dibutuhkan di era teknologi yang serba cepat ini, Mahrus mengatakan, puisi
tidak harus mengikuti kemauan zaman.
“Puisi
itu lahir dari intuisi penyair sebagai desakan infulse untuk menyuarakan hasil
perenungan atas alam sekitar. Karena itu, panjang atau pendek sebuah puisi
harus diukur dari kualitasnya, bukan dari tuntutan zaman di mana dia lahir,” kata Mahrus.
Untung Memilih Birokrasi
Di luar konteks diskusi puisi,
Andi
Wanua Tangke, dalam diskusi itu sempat
mengungkapkan perasaannya yang menyayangkan Mahrus Andis memilih terjun ke
dunia birokrasi, padahal sebenarnya ia lebih cocok jadi akademisi.
“Andaikan
Bung (Mahrus Andis) memilih tetap di kampus, maka Bung sudah guru besar (profesor). Kasihan almamater kita,
sepi dari dunia sastra. Untung,
Bung masih peduli karya teman-teman,”
kata Andi Wanua Tangke.
Menjawab pernyataan tersebut, Mahrus Andis menjawab, “Untung saya memilih birokrasi, Bung. Karena selama ini alumni Fakultas Sastra diremehkan bahwa itu hanya jurusannya orang-orang pasandiwara, dan tidak diterima di dunia pemerintahan, hehe…” ***
-----
Artikel sebelumnya: