Selasa, 18 Januari 2022
Catatan
dari Diskusi Puisi “Pada Sebuah Reuni” (1):
Terselip
di Antara Para Pendekar Sastra, Penyair, dan Cerpenis
Oleh: Asnawin Aminuddin
(Wartawan)
Dari kiri ke kanan, Asia Ramli Prapanca, Mahrus Andis, dan Aslan Abidin. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA) |
Terselip di antara para pendekar sastra, penyair puisi, cerpenis, dan kritikus sastra. Begitulah yang saya rasakan ketika hadir pada Diskusi Puisi “Pada Sebuah Reuni” Karya Aslan Abidin, di Kafebaca, Jl Adhyaksa Makassar, Sabtu, 15 Januari 2022.
Saya tidak masuk dalam
daftar sastrawan di Sulawesi Selatan. Juga tidak masuk dalam daftar penyair,
cerpenis, apalagi kritikus sastra yang memang tergolong “makhluk langka” di
Sulawesi Selatan.
Saya hadir dan terselip
di antara para sastrawan, penyair, cerpenis, dan kritikus sastra yang diadakan
oleh Forum Sastra Indonesia Timur (Fosait) itu, atas undangan Kak Mahrus Andis,
sang kritikus sastra, melalui jaringan WhatsApp (WA).
“Ada diskusi puisi nanti
di Kafebaca, Sabtu, 15 Januari 2022, jam 15.00 Wita. Datangki, dinda. Pasti
seru,” tulis Mahrus Andis.
“Wah, pasti seru, he..he..he…
Iye, insya Allah,” balas saya.
Maka pada hari yang
disebutkan itu, saya pun hadir dan rasanya saya benar-benar terselip di antara
para pendekar sastra, penyair, cerpenis, dan kritikus sastra.
Juga hadir Badaruddin
Amir (penyair dan cerpenis asal Kabupaten Barru yang diundang khusus dan membuat juga membuat khusus tulisan untuk mengkritisi puisi "Pada Sebuah Reuni"), Yudhistira Sukatanya (nama aslinya Eddy Thamrin, salah satu
pendiri Sanggar Merah Putih Makassar, serta penulis puisi, drama, cerpen, esai,
artikel), Dr Suradi Yasil (penulis, penyair, dan seniman asal Mandar, Sulawesi
Barat).
Juga ada Tri Astoto
Kodarie (penulis dan penyair asal Kota Parepare), Bahar Merdu (dikenal dengan
tokoh fiktif Petta Puang, penyair, penulis naskah drama, sutradara), Anwar
Nasyaruddin (cerpenis, penulis), Ishakim, Muhammad Amir Jaya, Andi Wanua
Tangke, Andi Ruhban, Idwar Anwar, Rusdin Tompo, Syahril Daeng Nassa, Rahman
Rumaday, Fadli Andi Natsif, Agus K Saputra, dan beberapa mahasiswa, serta
sejumlah peminat sastra.
Aslan
Abidin
Dan tokoh utama dalam
pertemuan tersebut yaitu Aslan Abidin. Maka nama pertemuannya pun adalah Diskusi
Puisi “Pada Sebuah Reuni” Karya Aslan Abidin.
Dr Aslan Abidin adalah
sastrawan yang juga sempat menjadi wartawan Harian Pedoman Rakyat (Makassar)
atas ajakan almarhum Asdar Muis RMS, serta wartawan di Harian Parepos
(Parepare), dan di Harian Tribun Timur (Makassar).
Dosen Universitas Negeri
Makassar (UNM) ini juga Ketua Masyarakat Sastra Tamalanre (MST) dan pendiri
Institut Sastra Makassar (ISM).
Pria asal Kabupaten
Soppeng, kelahiran 31 Mei 1972, banyak menulis puisi, esai, cerpen, dan
karya-karyanya dimuat Majalah Sastra Horison, Harian Kompas, Harian Republika,
Harian Media Indonesia, Koran Tempo, dan sejumlah media lainnya.
Karya-karyanya juga sudah
banyak yang dibukukan, antara lain Napas
Kampus (1994), Temu Penyair Makassar
(1999), Sastrawan Angkatan 2000 (2000),
Tak Ada Yang Mencintaimu Setulus Kematian
(2004), Tongue in Your Ear (2007), Whats Poery? (2012), Puisi Terakhir dari Laut (2013), Serumpun Kata Serumpun Cerita (2013), Gelombang Puisi Maritim (2013), Antologi Puisi Indonesia (2017).
Buku tunggalnya diberi
judul Bahaya Laten Malam Pengantin (Ininnawa, 2008), dan diterbitkan ulang
dengan judul Orkestra Pemakaman (Penerbit KPG, 2018).
Aslan menyelesaikan studi
S1 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, S2 Ilmu
Budaya di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta), serta S3 Ilmu Linguistik
di Fakultas Ilmu Budaya Unhas Makassar. (bersambung)