PEDOMAN KARYA
Senin, 07 Februari 2022
Kritik
Sastra “Puji-pujian” Cenderung Tidak Mendidik
Oleh: Mahrus Andis
(Kritikus Sastra)
Hamdan eSA, seorang penulis
puisi, dosen di salah satu kampus dan saat ini merampungkan gelar doktornya di
UIN-Makassar. Lelaki asal Kendari ini mengirimkan pesan ke WA saya. Dia
perkenalkan diri, kemudian meminta kesediaan saya untuk menulis Kritik Sastra
atas buku puisinya yang akan terbit.
Permintaan itu saya
tolak. Saya katakan, mohon maaf, saya tidak biasa menulis Kritik Sastra di
halaman rancangan buku yang belum terbit. Yang sering saya lakukan adalah
menulis Pengantar Apresiasi Sastra pada buku yang sudah siap cetak.
“Justru saya mau
puisi-puisi saya
dikritik di halaman
buku itu, Pak”, jawab Hamdan seraya
menjelaskan bahwa dirinya terlalu sering
membaca Apresiasi Puisi yang isinya hanya puji-pujian kepada penulisnya.
“Saya minta tolong,
Pak. Kritiklah puisi
saya. Biar tahu
di sisi mana letak
kelemahannya,
sehingga saya bisa
memperbaiki,” lanjut Hamdan.
Sejenak saya merenung.
Baru pertama kali saya bertemu orang yang seperti ini. Dia memohon dikritik
puisinya dan meyakinkan saya bahwa dirinya siap menerima semua konsekuensi
kritik itu: manis atau pun pahit.
Didorong rasa tanggung
jawab moral, saya pun memenuhi harapannya. Saya menulis kritik atas antologi
puisinya yang berjudul “Sketsa Sepi Alisa”, kurang lebih dua halaman. Tentu
sebentar lagi akan terbit buku kumpulan puisi Hamdan eSA yang, di dalamnya,
memuat kritik saya berjudul;
“Sketsa Sepi Alisa:
Janin Menanti
Kelahiran.”
***
Apa yang dilakukan Hamdan
eSA itu, bagi saya, sebuah kesadaran baru yang bangkit dari kejenuhan
psikologis sebagian masyarakat sastra.
Boleh jadi, Hamdan
sebagai pencinta dan peminat karya sastra, mewakili kondisi batin penulis di
lingkungannya yang selama ini masih bingung membedakan mana karya sastra yang
bermutu dan mana pula yang tidak.
Untuk menilai karya
sastra, apakah ia bermutu atau tidak, itulah tugas utama Kritikus Sastra.
Terlepas, apakah para sastrawan mau menerima atau menolak hasil kritik atas
karyanya, itu persoalan “siapa” dan “mengapa”: Lebih cenderung bersifat otonomi
pribadi.
Tidak dapat disangkali
bahwa Kritik Sastra adalah salah satu cabang disiplin Ilmu Sastra yang
diajarkan di bangku perguruan tinggi. Menurut para ahli, fungsi Kritikus Sastra
adalah menjelaskan kualitas suatu karya melalui berbagai pendekatan ilmu, dan
memotivasi para sastrawan untuk lebih kreatif berkarya. Karena itu, harus
dibedakan antara istilah Apresiasi Sastra dengan Kritik Sastra.
Hamdan meminta saya untuk
mengkritik puisinya. Artinya, penyair ini menginginkan adanya pembahasan serius
dari berbagai dimensi penilaian atas proses kreatif yang dia hasilkan.
Di sinilah akan lahir
hasil pertimbangan nilai-nilai yang boleh jadi berupa pujian atas kekuatan
penyair dalam membangun diksi, imaji dan bahasa figuratif puisinya. Selain itu, kemungkinan pula pada
karya tersebut ditemukan kelemahan penyair dari dimensi tipografi, tema, rasa
atau nada dan suasana puisinya.
Dalam Apresiasi Puisi,
kadang-kadang tidak ditemukan pertimbangan nilai-nilai seperti itu. Apresiasi,
umumnya, lebih fokus pada sisi tematik atau moral yang menjadi pesan- pesan
penyair di dalam puisinya. Esai Apresiasi Puisi banyak kita temukan di halaman
pengantar atau penutup buku puisi (biasa disebut prolog dan epilog).
Kritik Sastra hanya mampu
dilakukan oleh seorang kritikus, sedangkan Apresiasi Sastra, bisa dilakukan
oleh siapa saja, terutama yang memiliki minat tulis seni sastra; termasuk
wartawan, redaktur media, dan para sastrawan itu sendiri.
***
Ada pandangan kritis di
kalangan masyarakat bahwa Kritik Sastra, dewasa ini, cenderung hanya
memuji-muji tanpa ikhtiar menunjukkan sisi kelemahan sebuah karya. Jika asumsi
itu benar maka bisa menjadi ancaman bagi perjalanan kreativitas sastra di
negeri ini.
Kritikus Sastra yang,
secara sadar, hanya memuji-muji karya orang tanpa berupaya mengangkat sisi
kelemahannya dari dimensi yang lain, maka itikad baiknya perlu digeledah.
Sebab, tidak menutup kemungkinan, ada Kritik Sastra yang lahir dari sikap
tenggang rasa atas dasar “pertemanan.”
Kritik semacam inilah
yang sesungguhnya tidak mendidik. Memuji suatu karya yang memang layak dapat
pujian adalah kehormatan bagi Sastrawan dan Kritikus. Namun, memuji-muji suatu
karya yang didasari oleh subjektivitas tenggang rasa (mungkin karena sahabat
akrab) adalah sebentuk kemunafikan sastrawi.
Perilaku Kritikus Sastra
sejenis ini tidak boleh mendapat tempat di dunia literasi. Ia “pendatang haram”
yang hanya berhasil mengail dosa-dosa batiniah dari keterampilan “retorika
puji-pujian.”
Akibat buruk dari Kritik
Sastra semacam ini pun berdampak pada psikologi si pembuat karya. Ia terbiasa
merasa yakin bahwa Kritik Sastra atas karyanya itu adalah benar-benar jujur dan
objektif. Bahkan, bisa jadi kritik itu dianggap sebuah pengukuhan resmi atas
dirinya sebagai pengarang, dan telah melahirkan karya-karya sastra, semisal
puisi, yang berkualitas: sempurna dari seluruh dimensi puitikanya.
Di tataran inilah sebuah
Kritik Sastra terpental dari bautnya yang khas. Ia menggelinding tanpa ruh yang
jelas. Sarat oleh muatan puji-pujian dan cenderung tidak mendidik. Wallahu a’lam.