- M. Dahlan Abubakar -
(Wartawan Senior)
-------
PEDOMAN KARYA
Senin, 07 Februari 2022
Renungan
HPN 2022: Ujaran Kebencian EM, Alpa Etika Berbahasa
Catatan
M. Dahlan Abubakar
(Wartawan Senior)
Saya tidak perlu ke
Kendari untuk ikut menyemarakkan Hari Pers Nasional (HPN) 2022 di tengah wabah
pandemi Covis-19. Presiden Joko Widodo
saja hadir secara virtual di Kendari, apalagi saya yang mungkin tidak begitu penting.
Saya bisa berkontribusi
dalam HPN melalui catatan kecil ini, yang mungkin ada manfaatnya bagi insan
pers Indonesia dalam kaitannya bertutur secara tertulis di medianya
masing-masing agar terhindar dari “hate
speech” (ujaran kebencian).
Beberapa hari terakhir
ini di media sosial ramai berbagai komponen di Kalimantan memprotes ujaran
seorang EM, yang diduga menghina dan mencederai perasaan para penghuni pulau
itu.
Protes ini bermula
setelah beredar luas ucapan yang bersangkutan (EM) melalui media sosial.
Awalnya, yang bersangkutan memprotes pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke
Kalimantan Timur. Alasannya, lahan ibu kota negara baru itu tidak strategis dan
tidak cocok untuk berinvestasi. Dia juga sempat menyebutkan istilah “tempat jin
buang anak” saat sedang membicarakan Ibu Kota Negara (IKN) baru.
Etika
Berbahasa
Salah seorang guru besar
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dalam suatu berita di media
daring menilai ucapan EM yang berkaitan dengan “tempat jin buang anak”
semata-mata menunjuk pada suatu tempat yang jauh dan tidak berkaitan dengan
ujaran kebencian.
Pandangan ini sebenarnya
tidak merujuk kepada analisis wacana yang dikenal dalam ilmu linguistik.
Sebagai seorang yang melakukan penelitian dalam kaitan dengan analisis wacana
kritis, saya kurang setuju, bahkan kecewa dengan pandangan guru besar tersebut
yang sama sekali tidak mencerminkan analisisnya sesuai latar belakang
akademiknya.
Saya justru lebih setuju
dengan salah seorang pakar Forensik Bahasa Universitas Nasional (Unas), Wahyu
Wibowo, dalam perbincangan dengan EDITOR.ID.
Wahyu Wibowo meskipun
tidak merujuk kepada teori linguistik, namun dia menilai pernyataan tersebut
merupakan bentuk provokasi hingga penistaan. Dia menilai masyarakat di lokasi
yang disebut sebagai ‘tempat jin buang anak’ bisa marah.
“Jadi suatu masyarakat,
di mana pun itu, itu punya kaitan dengan tanah kelahirannya yang di dalam
istilah budaya disebut sakti. Itu sesuatu yang menguasai dia. Kalau kaitan
dengan negara, namanya tumpah darah,” ujar Wahyu.
Dia melanjutkan, “Nah ketika
masyarakat tersebut dibilang tempatnya dia tempat jin buang anak, tersinggung
nggak, marah nggak? Iya.”
Sebagai pakar forensik
bahasa, Wahyu mengatakan ‘tempat jin buang anak’ dipakai untuk menggambarkan
wilayah yang sepi, terkucil, seram, sehingga orang tidak mau datang.
Nah, menurutnya, hal ini
bertolak belakang dengan lokasi pemindahan IKN di Kalimantan yang disebut EM
“Jin buang anak itu kan
maksudnya sepi, terus terkucil, seram, orang nggak datang. Lihat dulu dong
tempatnya, oke tuh. Oke banget. Saya sudah berapa kali ke sana. Kan tuannya
ada, orang se-Kalimantan. Kalau dia bicara begitu kan jadinya memecah belah
rasa persatuan dan kesatuan. Kejadian kan,” ujarnya.
Menurut Wahyu, seharusnya
pemindahan ibu kota negara ini tidak usah dipersoalkan lagi karena sudah
dibahas dalam proses yang panjang dan telah disetujui pemerintah bersama DPR.
Publik harusnya
mendukung, bukan malah mengeluarkan pernyataan yang justru menimbulkan polemik,
apalagi sampai memecah belah persatuan dan kesatuan.
“Jadi kalau dia asal
bunyi begitu, berarti itu provokasi. Jadi pikirannya liar, cuma tidak kritis
karena tidak berpijak pada pemikiran yang holistik. Dia asal ngomong, asbun,”
ucapnya.
“Dari segi bahasa itu
provokasi, ngompor-ngomporin orang. Kedua dia penistaan terhadap pemerintah RI.
Satu lagi dia bilang itu (IKN) dikerjakan oleh oligarki, artinya sekelompok
orang yang berkuasa. Nah itu yang mana? Nggak ada bukti. Kalau dia kritik, dia
harus kasih data. Namanya kritik. Ini kan nggak ada,” sambungnya.
Dia berharap kasus ini
juga bisa jadi pelajaran bagi siapa pun agar berpikir dulu sebelum. Apalagi di
ruang publik.
“Jangan mudah minta maaf,
pikir dulu sebelum ngomong. Dijaga etika berbahasa kita. Jangan sudah
menimbulkan perpecahan di mana-mana, baru minta maaf.Inilah pentingnya bahasa.
Dia tidak memahami etika berbahasa,” jelas Wahyu Wibowo.
Menurut saya, munculnya
protes seperti ini karena penutur atau pengguna bahasa lalai terhadap etika
berbahasa, yakni yang berkenaan dengan perilaku atau tingkah laku dalam
bertutur.
E.K.M Masinambouw, doktor
bidang etnolinguistik Universitas Indonesia (1976) dengan disertasi berjudul “Konvergensi
Etnolinguistik di Halmahera Tengah”, dalam salah satu bukunya (1984)
menyebutkan, sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsung suatu
interaksi manusia di dalam masyarakat. Ini berarti di dalam tindak laku
berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku di dalam budaya itu.
Clifford Geertz, ahli
antropologi San Francisco, California, Amérika Serikat, kalahiran tahun 1926,
pun menyebut sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya itu
disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa.
Etika berbahasa berkaitan
dengan norma-norma sosial dan sistem budaya yang berlaku di dalam masyarakat.
Sejatinya, etika berbahasa ini “mengatur” kita dalam hal apa yang harus
dikatakan kepada seseorang lawan tutur atau khalayak pada waktu dan keadaan
tertentu dengan status sosial dan budaya masyarakat itu.
Dikaitkan dengan
pandangan Geertz maupun Maninambouw tersebut, praktik berbahasa yang dilakukan
EM melabrak norma-norma sosial budaya masyarakat, tempat yang menjadi konten
ujarannya dalam berwacana.
Yang bersangkutan bisa
saja berkelit dengan mengatakan “tempat yang jauh”, tetapi dia sedang berbicara
mengenai pemindahan ibu kota negara dengan lokus Pulau Kalimantan. Jika hanya
menyebut pemindahan IKN itu cukup dengan frasa “tidak cocok”, mungkin tidak
bermasalah. Tetapi ada tambahan klausa “tempat jin buang anak”, itulah yang
menjadi pemicu lahirnya protes.
J.L. Austin, seorang guru
besar di Universitas Harvard pada tahun 1956 memperkenalkan teori istilah dan
teori “tindak tutur” yang merupakan materi kuliah, kemudian dibukukan oleh
J.O.Umson (1962) dengan judul “How to do Thing with Word.”
Teori itu menjadi
terkenal setelah Searle, J. R. menerbitkan buku berjudul “Speech acts: An essay
in the philosophy of language” (1969).
Baik Austin maupun para
filsuf dan para bahasawan menyebutkan bahwa tindak tutur adalah tuturan atau
ujaran dari seseorang yang bersifat psikologis dan yang dilihat dari makna
tindakan dalam tuturannya itu. Serangkaian tindak tutur akan membentuk suatu
peristiwa tutur (speech event).
Di dalam kasus ujaran EM,
peristiwa tutur yang dilahirkannya adalah reaksi psikologis terhadap
tuturannya, yang sama sekali tidak pernah dia prediksi sebelumnya.
Tindak tutur yang
bersangkutan tidak dapat dikategorikan yang di dalam kajian wacana disebut
sebagai tindak tutur lokusi. Yakni tindak tutur yang menyatakan sesuatu
sebagaimana adanya (The Act of Saying Something).
Ujaran tersebut
berpotensi menjadi tindak perlokusi, yakni tindak tutur yang mempunyai pengaruh
atau efek terhadap lawan tutur atau khalayak yang juga disebut sebagai “The Act
of Affective Someone”.
Klausa “tempat jin buang
anak” dapat dikategorikan sebagai tindak tutur perlokusi karena ada relasinya
dengan lokasi pemindahan IKN. Lokasi pemindahan IKN dianggap tidak cocok karena
siapa yang mau berinvestasi di sana yang lokasinya jauh dan ditimpali dengan
klausa yang “tempat jin buang anak” itu.
Jika kita analisis dari
segi analisis wacana kritis (critical discourse analysis), ini relevan dengan
variabel relasional dan variabel sosial dalam teori analisis wacana kritis
William C.Fairclough.
Fairclough (1992:110-12)
mengemukakan bahwa analisis wacana kritis sebuah teks harus melalui tiga tahap
yaitu deskripsi, interpretasi hubungan antara teks dan interaksi, dan
penjelasan hubungan interaksi dan konteks sosial.
Kita mengambil hubungan
antara teks dan interaksi dan penjelasan hubungan interaksi dengan konteks
sosial. Teks dari ujaran EM berbunyi “tempat jin buang anak” yang disampaikan
dalam suatu forum dan ditayangkan secara luas melalui kanal youtube (media sosial).
Ujaran itu merujuk pada
lokus, tempat IKN dipindahkan, yakni Kalimantan Timur. Dari segi relasi sosial,
ujaran tersebut menohok kepada aspek sosial budaya penghuni Kalimantan Timur,
meskipun EM berkelit yang dia maksud itu adalah “tempat yang jauh”. Tetapi dia
berbicara dengan sangat semangat menyoal pemindahan IKN, bukan tempat yang jauh
tanpa nama.
Ujaran tersebut di dalam
analisis wacana juga dapat dikategorikan sebagai implikatur, yakni adanya
keterkaitan antara ujaran dari seorang penutur dan lawan tutur (khalayak).
Hanya saja, keterkaitan itu tidak tampak secara lateral (ada di sebelah sisi),
tetapi dapat dipahami secara tersirat. Pemahaman secara tersirat di dalam
ujaran EM adalah kaitan antara “tempat jin buang anak” dengan lokus IKN.
Saya kira, kesantunan
berbahasa menjadi sangat penting bagi siapa pun yang melontarkan wacana. Sudah
terlalu banyak kasus ujaran kebencian ini menggaduhkan situasi dan kondisi
kondusif di tanah air.
Bahasa setelah diucapkan
sudah menjadi milik orang lain yang tentu saja akan memiliki persepsi dan
interpretasi tersendiri terhadap ujaran tersebut. Berbahasa di negara yang
pluralistik dengan beragam sistem sosial budaya macam Indonesia memerlukan
etika berbahasa.
Kita harus betul-betul
memikirkan apa yang hendak kita ucapkan agar tidak menabrak rambu-rambu suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA). Wassalam. (*).
------
(Penulis, penyandang UKW
Utama No.183/WU-DP/XI/2011, dan Tokoh Pers versi Dewan Pers, doktor dalam
bidang lingusitik dengan kajian analisis wacana kritis bahasa jurnalistik, Universitas
Hasanuddin, Makassar)