----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 17 Maret 2022
Kisah
Nabi Muhammad SAW (102):
Peristiwa
Ar Raji, Penghianatan Bani Hudzail kepada Rasulullah
Penulis:
Abdul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi
Peristiwa
Ar Raji
Rasulullah ﷺ selalu siap mengirim para sahabatnya
untuk mengajarkan Islam kepada setiap suku yang memerlukan. Karena itu, dengan
prasangka baik Rasulullah memenuhi permintaan Bani Hudzail.
Saat itu utusan Hudzail berkata, “Muhammad, di
kalangan kami ada beberapa orang Islam, kirimkanlah beberapa orang sahabat Tuan
bersama kami yang kelak akan dapat mengajarkan hukum Islam dan Al-Qur’an kepada
kami.”
Enam orang sahabat besar diutus dan pergi bersama
rombongan penjemput dari Hudzail. Penghianatan
terjadi ketika mereka sampai di pangkalan air Ar Raji milik Bani Hudzail, Enam
orang sahabat itu dikepung. Begitu sadar bahwa mereka masuk dalam perangkap,
keenam dai itu mencabut pedang. Hanya senjata itu yang mereka bawa namun di
wajah mereka tidak terlihat terasa gentar sedikit pun.
Orang-orang Hudzail berkata, “Demi Tuhan, kami tidak
ingin membunuh kalian. Kalian akan kami jual kepada penduduk Mekah sebagai
tawanan. Kami berjanji atas nama Tuhan kami, bahwa kami tidak bermaksud
membunuh kalian, karena itu menyerahlah.”
Keenam sahabat itu saling berpandangan mereka
menyadari bahwa apabila mereka dibawa ke Mekah sebagai tawanan, mereka pasti
akan disiksa habis-habisan dan dibunuh. Itu berarti penghianatan besar yang
lebih berat daripada pembunuhan biasa.
Setelah saling sepakat dalam hati, salah seorang
sahabat menjawab, “Kami tidak akan menyerah, lakukan apa yang kalian mau, kami
sudah siap bertarung membela kehormatan agama dan nabi kami.”
Maka orang-orang Hudzail yang jauh lebih banyak
jumlahnya itu pun menyerang. Keenam sahabat itu bertarung dengan gigih, pedang
mereka ayunkan dengan tangkas untuk menebas hujan panah atau menangkis tusukan
tombak. Pertarungan tidak seimbang itu pun berakhir, tiga orang syahid dan tiga
orang lagi berhasil ditangkap hidup-hidup.
Mereka yang ditangkap itu adalah Abdullah bin Thariq,
Zaid bin Adatsinah, dan Khubaib bin Adiy. Kemudian mereka segera dibelenggu
dengan kuat dan dibawa ke Mekah. Namun di tengah jalan Abdullah bin Thariq
berhasil melepaskan diri dari pengikat.
“Harus ada yang memberitahu Rasulullah ﷺ tentang
penghianatan ini!” demikian pikir Abdullah, “Aku harus berusaha meloloskan diri
sekarang, namun jika gagal aku sudah siap menyusul ketiga temanku yang lain ke
akhirat.”
Zaid
Bin Adatsinah
Abdullah bin Thariq menyerang seorang pengawal dan
berhasil merebut pedangnya. Dengan pedang itu ia berusaha merebut seekor kuda,
namun orang-orang Hudhail segera pulih dari rasa terkejutnya.
Mereka mengambil batu dan melempari Abdullah dari
belakang. Batu-batu sebesar kepalan tangan menghantam tubuh dan kepala sahabat
mulia itu. Abdullah jatuh bersimbah darah dan gugur dalam keadaan yang sangat
diimpikan setiap muslim. Syahid membela agama.
Kedua tawanan yang lain terus dibawa ke Mekah dan
dijual. Zaid bin Adatsinah dijual kepada Shafwan bin Umayyah.
“Aku akan membunuhnya sebagai balasan terbunuhnya
ayahku di tangan mereka,” geram Safwan dengan mata menyala-nyala.
Ayah Shafwan, Umayyah bin Khalaf dibunuh Bilal bin
Rabah dalam Perang Badar.
“Nastas,” panggil Shafwan keras-keras.
Seorang Budak berbadan tegap datang.
“Siksa dan bunuh orang ini,” perintah Shafwan kepada
Nastas.
“Bawa dia ke tempat di mana semua orang bisa melihatnya!”
ujar Shafwan.
Zaid pun diseret-seret melalui jalan-jalan di Mekah.
Sebagian orang menyoraki dan mencemoohnya. Sebagian lain menaruh kagum, dalam
hati melihat ketabahan Zaid. Tak terlihat sedikit pun rasa takut di wajah Zaid.
Di tengah siksaan itu, Zaid tetap tampak berwibawa dan
teguh seperti Bukit Cadas. Di tempat Zaid akan dibunuh, Abu Sufyan datang
mendekat.
“Zaid, orang segagah engkau tidak pantas mati begini,”
ujar Abu Sufyan, “Bersediakah engkau memberikan tempatmu itu pada Muhammad? Dia-lah
yang harus dipenggal lehernya, sedang kau dapat kembali kepada keluargamu!”
Zaid menatap
Abu Sufyan seakan heran dengan pertanyaan itu.
“Tidak,” jawab Zaid, “Seandainya Rasulullah ﷺ di
tempatnya sekarang ini akan menderita karena tertusuk duri sekali pun, sedang
aku ada di tempat keluargaku, aku tidak akan rela!”
Abu Sufyan terpana sambil menggeleng kagum. Ia
berkata, “Belum pernah aku melihat seorang begitu mencintai sahabatnya
sedemikian rupa seperti sahabat-sahabat Muhammad mencintai Muhammad.”
Zaid pun dipenggal. Ia gugur sebagai syahid yang
memegang teguh amanat Rasulullah.
Diriwayatkan oleh Tabrani dari Ibnu Abbas, Rasulullah ﷺ bersabda sekuat-kuat ikatan iman adalah persaudaraan karena Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, cinta karena Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dan membenci karena Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى. (bersambung)
-----
Kisah sebelumnya: